Mutakhir ini, ada kelompok yang kerap menampilkan formalisasi Islam seperti menggunakan simbol-simbol Islam di ruang publik, seruan pemberlakuan syari’at Islam, sampai ajakan pembentukan sistem khilafah untuk menggantikan Pancasila sebagai dasar negara Indonesia. Ironisnya, gerakan semacam ini juga terus menerus membuldoser kalangan Muslim moderat dengan label munafik dan tidak pro-Islam karena tidak bergabung dengan aksi-aksi mereka.
Pada dasarnya, siapapun memang mesti menaruh simpati terhadap mereka yang mampu melakukan ritual keagamaan secara ketat. Karena semarak ritualisme merupakan hak setiap pemeluk agama untuk menunaikannya secara baik dan benar. Namun, ketika agama dibawa ke ruang publik dengan tujuan memformalkan agama melalui usaha ideologisasi dan syari’atisasi Islam yang ujungnya adalah ingin mendirikan “negara Islam”, maka tentu saja hal ini menjadi problem.
Gus Dur menolak formalisasi Islam semacam itu. Bagi Gus Dur, formalisasi dan ideologisasi Islam tidak sesuai dengan perkembangan Islam di Indonesia yang dikenal sebagai negerinya muslim moderat dan toleran. Islam Indonesia menurut Gus Dur, muncul dalam keseharian kultural yang tidak berbaju formalis-ideologis. Di sisi lain, Gus Dur melihat ideologisasi Islam mudah mendorong umat Islam kepada upaya-upaya politis yang mengarah pada penafsiran tekstual dan radikal terhadap teks-teks keagamaan.
Dampak dari itu dapat menimbulkan klaim kebenaran dari kelompoknya sendiri, sehingga pemikiran keagamaan yang berbeda dianggap salah dan bertentangan dengan ajaran Tuhan. Mereka ingin memaksakan kebenaran Islam menurut tafsirannya sendiri. Monopoli tafsir kebenaran Islam seperti ini, menurut Gus Dur bertentangan dengan demokrasi.
Ongkos mahalpun harus dibayar sebagai konsekuensi atas merebaknya pandangan keagamaan semacam itu. Agama dijadikan sebagai justifikasi otoritas tertentu yang kemudian tidak berarti apa-apa jika tidak diformalisasikan dalam politik praktis.
Implikasi paling nyata dari formalisasi Islam adalah upaya-upaya sejumlah kelompok untuk menjadikan Islam sebagai ideologi politik untuk menggantikan Pancasila. Juga langkah-langkah sejumlah pemerintah daerah yang mengeluarkan peraturan daerah berdasarkan “Syari’at Islam”.
Menurut Gus Dur, upaya-upaya untuk “mengislamkan” dasar negara dan “men-syari’atkan” peraturan-peraturan daerah itu bukan saja ahistoris, tetapi juga bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Upaya syari’atisasi semacam itu termasuk dalam tahsil al-hasil (melakukan hal yang tidak perlu karena sudah dilakukan).
Sikap Gus Dur ini didasarkan pada pandangan bahwa Islam sebagai jalan hidup (syari’at) tidak memiliki konsep yang jelas tentang negara. Setidaknya menurut Gus Dur ada dua alasan. Pertama, Islam tidak mengenal pandangan yang jelas dan pasti mengenai pergantian kepemimpinan. Terbukti ketika Rasulullah wafat dan digantikan oleh Abu Bakar. Pemilihan Abu Bakar sebagai pengganti Rasul dilakukan melalui Bai’at oleh kepala suku dan umat Islam. Sedangkan pengangkatan Umar bin Khattab menggantikan Abu Bakar melalui penunjukkan, yaitu sebelum wafat, Abu Bakar menyatakan kepada umat Muslim, hendaknya Umar bin Khattab yang diangkat menggantikan posisinya.
Sementara Umar sebelum wafat meminta agar penggantinya ditunjuk melalui sebuah dewan ahli yang terdiri dari 7 orang, lalu dipilih Utsman bin Affan sebagai penggantinya secara demokratis. Selanjutnya, Utsman digantikan oleh Ali bin Abi Thalib. Pada saat itu, Abu Sufyan telah menyiapkan anak cucunya untuk menggantikan Ali. Sistem ini kelak menjadi acuan untuk menjadikan kerajaan atau marga yang menurunkan calon-calon raja dan sultan dalam sejarah Islam.
Kedua, besarnya negara yang diidealisasikan oleh Islam juga tidak jelas ukurannya. Nabi Muhammad meninggalkan Madinah tanpa ada kejelasan mengenai bentuk pemerintahan kaum Muslimin. Tidak ada kejelasan misalnya, negara Islam yang diidealkan bersifat mendunia dalam konteks negara-bangsa (national state), ataukah hanya negara kota (city-state). Dari argumen inilah Gus Dur menolak adanya “negara Islam”. Menurut Gus Dur, proses Islamisasi harus mengambil jalan dalam bentuk kulturalisasi dan bukan politisasi.
Ketidaksetujuan Gus Dur terhadap formalisasi Islam juga terlihat misalnya terhadap tafsiran Al-Qur’an yang berbunyi “Udkhuluu fi as-silmi kaffah” yang kerapkali ditafsirkan secara literal oleh kalangan Islam formalis. Jika kalangan Islam formalis menafsirkan kata “al-silmi” dengan kata “islami”, Gus Dur menafsirkan kata tersebut dengan “perdamaian”.
Menurut Gus Dur, konsekuensi dari kedua penafsiran itu punya implikasi luas. Bagi mereka yang terbiasa dengan formalisasi, akan terikat pada upaya-upaya untuk mewujudkan “sistem Islami” yang tentu saja mengabaikan pluralitas masyarakat.
Akibatnya, pemahaman seperti ini akan menjadikan warga agama lain menjadi warga negara kelas dua. Bagi Gus Dur, untuk menjadi Muslim yang baik, seorang Muslim kiranya perlu menerima prinsip-prinsip keimanan, menjalankan rukun Islam secara utuh, menolong mereka yang memerlukan pertolongan, menegakkan profesionalisme, dan bersikap sabar ketika menghadapi ujian. Konsekuensianya, mewujudkan sistem Islami dan formalisasi tidaklah menjadi syarat bagi seseorang untuk diberi predikat sebagai muslim yang taat.
Menurut Gus Dur, kejayaan Islam justru terletak pada kemampuan agama ini untuk berkembang secara kultural. Dengan kata lain, Gus Dur lebih memberikan apresiasi kepada upaya kulturalisasi daripada politisasi.
Pemikiran Gus Dur inilah yang kemudian menjadi kontribusi penting bagi generasi bangsa untuk bisa mensinergikan antara aspek keislaman dan aspek kebangsaan. Bahwa tidak ada satupun sumber hukum Islam yang memberi legitimasi kepada umat Islam untuk memformalisasikan Islam menjadi ideologi dan sistem politik yang baku. Karena Nabi Muhammad diutus bukan untuk membangun negara/kerajaan, melainkan untuk mendakwahkan nilai-nilai Islam dan kebajikan.