Kementerian Agama beberapa tahun terakhir ini fokus pada isu moderasi beragama. Program ini menjadi agenda penting pemerintah. Ada banyak diskusi dan sosialisasi diadakan untuk memperkuat pemahaman masyarakat tentang moderasi beragama. Dilihat dari katanya, moderasi lawan dari kata ekstrem dan berlebihan. Dalam bahasa Inggris, moderasi (moderation) diartikan seimbang (balance), rata-rata (avarage), tidak berpihak (non-aligned), dan seterusnya. Sementara dalam bahasa Arab, istilah yang sering digunakan untuk menunjukkan moderasi adalah wasathiyyah.
Namun sebetulnya, istilah wasathiyyah lebih luas maknanya dibanding moderasi. Moderasi hanya salah satu unsur dari wasathiyyah. Seperti dikatakan Moh. Kamal Hassan, makna wasathiyyah dalam bahasa Arab ada tiga: keadilan, keunggulan, dan keseimbangan. Ketiga unsur ini mesti saling berkait. Tidak bisa dipisahkan antara satu dengan lainnya.
Merujuk buku Moderasi Beragama Kementerian Agama, moderasi ditamsilkan seperti bandul jam yang selalu bergerak ke tengah, tidak berhenti di kanan ataupun kiri. Moderasi beragama juga bisa digambarkan seperti wasit yang selalu berada di tengah, tidak berpihak kepada salah satu pemain, agar permainan berjalan lancar dan adil. Singkatnya, moderasi beragama adalah cara pandang, sikap, seimbang, adil, tidak ekstrim, dan berlebihan dalam beragama.
Lebih jelasnya, Kementerian Agama dalam buku di atas mengeluarkan empat indikator moderasi beragama. Keempat indikator itu adalah sebagai berikut:
Pertama, komitmen kebangsaan. Keberhasilan moderasi beragama dapat diukur dari seberapa besar penerimaan umat beragama terhadap prinsip-prinsip berbangsa yang tertuang dalam konstitusi UUD 1945 dan regulasi di bawahnya. Komitmen kebangsaan itu dapat dipahami sebagai bagian dari cinta tanah air.
Kedua, toleransi. Keberhasilan moderasi beragama juga dapat diukur dengan tingginya sikap menghormati perbedaan, memberi ruang orang lain untuk berkeyakinan, mengekspresikan keyakinannya, menyampaikan pendapat, menghargai kesetaraan, dan bersedia bekerjasama dengan orang yang berbeda, baik berbeda agama, suku, ataupun budaya.
Ketiga, anti kekerasan. Berhasil atau tidaknya moderasi beragama dapat dilihat dari seberapa besar antusias umat beragama untuk menolak tindakan kekerasan, baik fisik ataupun verbal. Tidak ada satupun agama yang melegalkan kekerasan, sekalipun dalam menyampaikan ajaran agama. Setiap umat beragama mestinya bersikap santun, lembut, dan tidak menggunakan cara kekerasan dalam melakukan apapun.
Keempat, penerimaan terhadap tradisi. Indonesia termasuk negara yang kaya budaya dan tradisi. Di antara ukuran kebarhasilan moderasi beragama adalah penerimaan terhadap tradisi. Orang yang memiliki pemahaman moderat mestinya terbuka dan menghargai tradisi yang berkembang di masyarakat, selama tradisi itu tidak bertentangan dengan nilai-nilai agama yang diajarkan.
Keempat hal ini penting diterapkan dalam kehidupan sehari-hari untuk mewujudkan masyarakat yang moderat. Kalau salah satu indikatornya hilang, yang terjadi adalah konflik dan kekacauan. Pada dasarnya, keempat nilai tersebut sudah mandarah-daging dalam tradisi masyarakat Indonesia. Indonesia terdiri dari masyarakat yang beragam, ada banyak suku, budaya, bahasa dan agama. Keragaman itu tentunya mesti dijaga dan dipertahankan. Keragaman harus dikelola agar tidak melahirkan masalah.
Moderasi beragama adalah salah satu ikhtiar untuk menjaga keragaman itu. Dalam buku Moderasi Beragama terbitan Kementerian Agama dikatakan moderasi beragama sebagai salah satu strategi kebudayaan dalam merawat keindonesiaan. Para pendiri bangsa ini, untuk meminimalisir masalah keragaman itu menyepakati untuk hidup bersama dan menjadikan Pancasila sebagai pedoman dasar dalam bernegara.
Pendiri bangsa ini menyepakati Indonesia bukan negara agama, tetapi juga tidak memisahkan agama dari kehidupan masyarakat. Tokoh agama menjadikan kebudayaan sebagai bagian dari jati diri bangsa, dan tidak mempertentangannya dengan agama. Kebudayaan dan agama berkait-kelindan di Indonesia. Ciri khas bangsa Indonesia ini perlu dipertahankan dan dirawat sampai kapanpun. Di antara cara mempertahankannya adalah dengan memastikan nalar beragama masyarakat Indosia tetap moderat. Sebab, nalar ekstremis dan radikalis, biasanya menolak keragaman dan menafikan kebudayaan.
*Artikel ini didukung oleh Protect Project, UNDP Indonesia, Uni Eropa, dan UNOCT