Make Hagia Sophia Great Again!? Ada Apa dengan Turki?

Make Hagia Sophia Great Again!? Ada Apa dengan Turki?

Untuk sementara status Hagia Sophia boleh berubah, tapi pemilih baru ini lebih menghendaki kepastian ekonomi dan pekerjaan, kebebasan berbicara, serta kebijakan yang pro-anak muda.

Make Hagia Sophia Great Again!? Ada Apa dengan Turki?
Presiden Erdogan telah mencabut status Hagia Sophia sebagai museum. (Photo: Anadolu Agency)

Dalam timbangan periode late antiquity atau purbakala akhir, yakni masa peralihan dari abad-abad awal Masehi dari kerajaan Kristen hingga awal Islam, Hagia Sophia di Konstantinopel dipandang sebagai bangunan yang paling ajaib dan terbesar di dunia. Penguasa di Kiev, Vladimir, pada abad ke-10 mengirim utusan untuk keliling mencari iman Kristen yang benar. Setiba di Konstantinopel, utusan itu terpesona dengan kehidupan di ibu kota Bizantium alias Romawi Timur dan suasana ibadah yang syahdu dan lebih indah ketimbang negeri mereka.

Sepulang ke Kiev, kini bagian dari Ukraina, kepada Vladimir mereka melaporkan pengalaman mereka di Hagia Sophia, “Kami tak tahu apakah kami di surga atau di dunia. Tak ada kemegahan dan keindahan sedahsyat itu. Kami bingung bagaimana menggambarkannya.” Meski dari masa yang berbeda, replika nyanyian Kristen ortodoks dari abad ke-13 yang didendangkan di katedral itu bisa menggetarkan iman umat Kristen.

 

Koeksistensi abadi

Pesona Hagia Sophia ini tak pernah luntur sepanjang masa, bahkan setelah Sultan Mehmed II Sang Penakluk mengubahnya menjadi masjid imperial pada 1453. Kendati ikon-ikon Kristen ditutupi, capaian arsitektural dan estetisnya turut menginspirasi para elite Usmani untuk membangun ragam masjid gigantis dengan meniru model Hagia Sophia. Menara-menara Persia ditambahkan, turut mempercantiknya sebagai hibrida peradaban yang tak tepermanai. Meski kekuasaan silih berganti, ia menjadi saksi dari pengalaman spiritual dan pencerapan seni tinggi umat manusia dari masa Kristen hingga Islam, dari zaman pramodern hingga modern.

Berkat Thomas Whittemore, seorang pakar Bizantium dari Amerika, mosaik-mosaik Kristen di Hagia Sophia mulai diungkap kembali atas persetujuan Kemal Atatürk pada awal 1930-an. Jika anda pernah mengunjungi bangunan megah ini, Anda pasti melihat warisan puluhan ikon Kristen di berbagai sudut.

Salah satu ikon yang bermakna dalam terletak di galeri sebelah selatan. Pada dinding sebelah atas, terdapat Deesis yaitu representasi tradisional dalam seni Bizantium yang melukiskan Bunda Maria dan Yohanes Pembaptis yang mengapit Yesus Kristus. Mosaik yang lembut dan hidup ini dianggap sebagai pelopor seni Bizantium masa Renaissans. Baik Bunda Maria dan Yohanes memohon kepada Kristus untuk keselamatan manusia.

Deesis merupakan perwujudan agung dari welas kasih Isa al-Masih dalam iman Kristiani. Saking detilnya seni itu terpahat di Hagia Sophia, jika anda melihat dari dekat hingga menjauh beberapa meter saja, seolah-olah mata al-Masih selalu menatap Anda dengan cinta dan kasih sayang.

Sebagai museum, Hagia Sophia bagi saya memang saksi yang menakjubkan pada capaian peradaban manusia masa lalu, baik ditilik dari sisi kesenian maupun aspirasi intelektual. Keputusan Atatürk memuseumkannya pada 1934 dipandang sebagai penetralan warisan agama masa lalu yang, dalam spirit sekularisme kala itu, ingin menjadikannya sebagai milik bersama dengan nilai universal kemanusiaan.

Penetralan ini tentu tak terlepas dari pembebasan pada beban masa lalu yang dianggap kuna. Tidak berlebihan jika selama hampir delapan puluh enam tahun berstatus museum, Hagia Sophia dipandang sebagai simbol dari koeksistensi abadi.

Dalam terang nilai universal itu, yang juga diakui akhir Juni oleh Uskup Agung Kristen ortodoks saat ini Bartholomew I, jika mau mengubah kembali Hagia Sophia sebagai tempat suci bersama, maka baik umat Kristen dan umat Muslim bisa sama-sama beribadah. Tapi penalaran rumah ibadah bersama ini hanya terwujud di dalam ruang kehidupan sekular di Barat, misalnya interfaith room di berbagai kampus di Australia, Inggris atau Amerika yang bisa dipakai bergantian oleh kaum beriman.

Penalaran ini tidak berlaku atau bisa dipaksakan dalam status rumah ibadah di mana saja, khususnya Turki. Memang ada berbagai bentuk tradisi bersama antara Islam dan Kristen, seperti perayaan agama tertentu di Kapadokya atau daerah pedalaman Anatolia yang lain. Hanya saja, ini serupa tradisi mudik di Jawa yang bisa jadi milik siapa saja, atau liburan Natal dan akhir tahun. Sementara, kehidupan religius masing-masing umat tetap memiliki independensi sendiri.

 

Status non-muslim

Lantas, ketika Recep Tayyip Erdoğan pada akhirnya mengesahkan keputusan pengadilan pada 10 Juli lalu untuk mengubah kembali museum itu menjadi masjid, proposal sebagai warisan bersama itu sulit ditemui. Proposal sejenis itu lebih dekat dengan pengalaman pluralisme agama seperti misalnya di Indonesia lama dipraktekkan Budhy Munawar Rahman. Ada sejenis ajaran inklusif yang disuarakan Fethullah Gülen, tapi kini nasib gerakannya termasuk dalam daftar organisasi teroris resmi di ruang politik dan hukum Turki. Ada pula ajakan minor yang sangat politis dari Romo Sahak Marshalian dari Kristen Armenia yang ingin Hagia Sophia menjadi masjid tapi dengan membuka secuil ruang bagi umat Kristen untuk beribadah.

Pengalaman toleransi masyarakat Turki masa lalu, berbeda dengan di India atau Indonesia dengan kadar sinkretis yang tinggi, lebih bertumpu pada pengalaman imperial Usmani yang mengontrol wilayah dan umat Kristen terutama di Eropa sebelah timur dengan hukum yang meniru Pakta Umar zaman Islam awal. Yakni, pengakuan status dzimmi atau penduduk non-muslim yang terlindungi hukum dengan membayar pajak.

Meskipun ada warisan sufi yang sangat mengakar dalam tubuh masyarakat Turki, termasuk para pendukung setia Erdoğan yang berafiliasi ke Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP), gagasan dan praktek dialog spiritual antariman agak sulit diterima. Faktor utama yang menyulitkan hal ini ialah pengalaman politik ratusan tahun konflik transimperial antara elite Usmani sepanjang masa dengan berbagai imperium Kristen di Eropa yang berpuncak pada perseteruan antara imperium Usmani dan imperium Habsburg yang berpusat di Austria.

Gairah ghaza atau perang suci memperluas wilayah relatif terhenti ketika Usmani kalah dalam perang 1683 melawan Habsburg. Kendati Kristen dan juga Yahudi di bawah kontrol Usmani mendapatkan kedamaian sebagai subyek hukum, hampir sulit menemukan contoh dialog antaragama berlangsung. Perlu dicatat, ketimbang Eropa, umat Yahudi merasa lebih aman ada di bawah lindungan politik imperial Islam, hingga terjadi perubahan pada awal abad ke-20.

Status non-muslim di bawah kepemimpinan Erdoğan itu kira-kira sejalan dengan pengalaman imperial masa lalu, meski dengan konsep kewarganegaraan modern. Karena itu, sekeras apapun sulit memaksakan Hagia Sophia sebagai rumah ibadah dua agama. Toh, sepluralis apa pun para elite AKP, tidak mungkin mengenyahkan politik identitas keislaman di antara para pendukung mereka yang konservatif.

Saat menghadapi kritik dari Eropa, Erdoğan lalu menyebutkan bahwa jumlah gereja dan sinagog di Turki lima kali lebih banyak ketimbang masjid yang ada di Barat. Ia menghitung ada sejumlah 435 gereja dan sinagog yang ada di seluruh Turki. Gaya polemik dengan perbandingan itu tidak terpisah dari konsep toleransi dan keragaman yang relatif berbeda yang ingin ditunjukkan Turki sebagai negeri berdaulat dan independen. Ini mirip dengan gaya diplomatik duta besar RI di Berlin, Arif Havas Oegroseno, jika ditanyai dalam forum resmi di Eropa tentang kekerasan dan persoalan hak asasi manusia di Indonesia. Almarhum KH Hasyim Muzadi pernah punya kritik serupa dalam membaca toleransi keliru di Eropa, khususnya Swiss dan Prancis.

 

Titik Nadir

Perubahan status Hagia Sophia tak terlepas dari pailit elektoral yang menimpa partai penyokong Erdoğan. Di sini bukan jargon semacam make Hagia Sophia great again! yang ada tetapi justru ingin menyelamatkan masa depan Erdoğan dan pendukungnya sendiri. Kursi walikota Istanbul tahun lalu direbut oleh Partai Rakyat Republiken (CHP), partai yang sangat Kemalis. Kekalahan elektoral banyak terjadi di kantong-kantong besar, termasuk di Ankara. Ini yang menyebabkan Erdoğan harus berhitung cermat menuju pemilu tahun 2023. Terlebih mantan karib politiknya, seperti Ahmet Davutoğlu dengan Partai Masa Depan (Gelecek Partisi) dan Ali Babacan dengan Partai Kemajuan dan Demokrasi (DEVA) berpotensi menggerogoti masa tradisionalnya. Baik Davutoğlu dan Babacan adalah mantan kader inti AKP.

CHP sendiri kini terlihat seperti macan ompong. Logikanya, mereka secara resmi mengkritik keputusan atas perubahan status Hagia Sophia demi menjaga nilai-nilai Kemalisme. Tapi Kemal Kılıçdaroğlu, pimpinan CHP, memilih untuk tidak menentang keputusan itu dan mengenyahkan suara keberatan faksi partainya.

Setelah kudeta 15 Juli 2016, yang menjadikan kelompok Gülen sebagai organisasi teroris, baik kelompok Islam dan nasionalis berhati-hati dalam memainkan politik oposisinya. Kepala dingin Kılıçdaroğlu tentu membaca hal ini dengan baik. Jika ia secara radikal memprotes Erdoğan, ia akan kehilangan banyak kesempatan politik. Apalagi setelah salah satu partainya berhasil merebut Istanbul, ini menjadi peluang emas untuk merebut suara kelompok muslim yang konservatif. Sikap penuh pertimbangan ini dalam tiga tahun mendatang diharapkan akan banyak mendongkrak perolehan suara pada pemilu parlemen dan presiden 2023.

Justru yang kritis ialah Davutoğlu, Babacan dan juga pimpinan Partai Demokratik Rakyat (HDP). Mereka seolah sedang memainkan peluang untuk mencari celah kelemahan AKP supaya tidak terdongkrak naik, walaupun status Hagia Sophia berubah. Tetapi, perlu dicatat, kekritisan mereka tidak secara keras menguliti perubahan museum itu, sebab pihak petahana bisa memainkan simbol kesatuan nasional dengan mudahnya melalui peristiwa 15 Juli itu. CHP sendiri tidak ingin aliansi politik yang dibangunnya, hingga memenangi kursi walikota Istanbul, pecah menjelang tiga tahun ke depan.

Bagi banyak pihak, 2023 adalah tahun yang ‘sakral’ sebab ia menandai seabad republik Turki yang juga tahun peralihan kekuasaan. Di tahun ini pula, Erdoğan ingin terpilih kembali sebagai presiden, bahkan jika perlu terus-menerus menggunakan mantra politik kudeta 15 Juli sebagai kekuatannya dalam menjegal lawan. Meskipun visi Turki Baru 2023 yang dideklarasikan Erdoğan satu dekade lalu sulit terpenuhi karena rentetan krisis politik dan ekonomi, ia tampak berharap status Hagia Sophia turut mendongkrak kembali para pemilih muslim yang konservatif.

Pada awalnya visi 2023 itu sangat menjanjikan, bahkan beasiswa pemerintah Turki sejak 2011 merupakan bagian penting dalam memperlebar soft power Turki di seluruh dunia, khususnya di dunia Muslim. Infrastruktur modern di Istanbul dan Anatolia tercapai. Akan tetapi, perubahan politik cepat sejak 2013 hingga kini ditambah dengan melemahnya peran yudikatif dan semakin besarnya kekuasaan presidensial membuat defisit demokratis.

Mari kita berhitung kasar. Pemilu 2018 Aliansi Rakyat (Cumhur İttifakı) di bawah kendali Erdoğan memperoleh 27 juta pemilih (57 persen), sementara Aliansi Bangsa (Millet İttifakı) di bawah pimpinan CHP memperoleh 17 juta pemilih (31 persen), selebihnya partai lain non-aliansi keduanya. Data terbaru menunjukkan generasi Z sebanyak 13 juta cenderung memberontak pada gaya politik paternalistik Erdoğan.

Jika 13 juta ini tidak memilih AKP dan Erdoğan pada 2023, maka Erdoğan berada pada titik nadir. Untuk sementara status Hagia Sophia boleh berubah, tapi pemilih baru ini lebih menghendaki kepastian ekonomi dan pekerjaan, kebebasan berbicara, serta kebijakan yang pro-anak muda. Dari timbangan ini, status baru Hagia Sophia mungkin hanya menarik bagi generasi “kolonial” dan sebagian “milenial” yang konservatif. Orang tua menghendaki marwah bangsa dan Islam terjaga, sementara anak muda Turki punya impian lain. (AN)

Zacky Khairul Umam, Wakil kepala Abdurrahman Wahid Centre for Peace and Humanities di Universitas Indonesia; bekas kader PCI NU Turki 2012-2014