Konten dakwah Islam moderat harus mendominasi ruang media sosial. Hal itu karena perang narasi di era media baru justru terjadi di dunia maya. Media baru telah membawa banyak perubahan dalam kondisi sosial kita saat ini. Hal ini diperkuat dengan adanya gejala penyebaran informasi yang kian masif.
Informasi kini telah membanjiri linimasa kita, sebagai pengguna aktif internet. Mulai dari penyebaran konten di YouTube, website, ataupun lewat platform media sosial. Yang terakhir inilah yang paling dekat dengan kita. Media sosial menjadi tempat bagi kita untuk mengekspresikan diri. Kita bebas mem-follow akun-akun yang menurut kita penting dan menikmati konten yang sesuai kemauan kita.
Sayangnya, hal itu tidak terjadi dengan seideal kita. Disadari jika algoritma yang diterapkan di media baru saat ini memungkinkan konten-konten yang tidak kita follow pun akan lewat di linimasa kita.
Hal itu kerap terjadi ketika kita melakukan explore sehingga segala konten yang dianggap oleh mesin berhubungan dengan ketertarikan kita pun muncul. Bahkan, konten yang direkomendasikan justru semakin jauh. Bukannya mengikuti keinginan kita, malah kitalah yang jadi mengikuti tren.
Nah, dengan sifat algoritma di atas, kuantitas konten jadi lebih diutamakan ketimbang memerhatikan kualitas dari konten. Jumlah menjadi ukuran sebuah akun sosmed aktif atau tidak sekaligus untuk mengukur kesuksesan sebuah konten.
Hal ini berlaku untuk semua jenis konten, termasuk konten pengetahuan seperti pengetahuan agama. Yang harus kita sadari pula jika konten informasi memiliki daya pengaruh (influence) yang kuat bagi penikmatnya. Apalagi dalam konteks konten keagamaan yang berbicara soal keimanan serta praktek ibadah.
Oleh sebab itu, konsumsi konten keagamaan yang keliru dapat menyebabkan cara pikir serta tindakan yang keliru pula. Pada konteks ini, konten keagamaan yang keliru itu dimaksudkan kepada konten intoleransi, ekstrimis, eksklusif, serta yang memuat propaganda politik.
Dengan kesadaran itu, dakwah Islam moderat wajib untuk disebarluaskan di media sosial. Makna moderat di sini mewakili cara pikir Islam yang rasional serta sikap yang toleran. Model moderat inilah yang harus membanjiri linimasa umat.
Ulil Abshar Abdalla Mengajak Menyebarkan Konten Islam yang Toleran
Beberapa akademisi termasuk akun dakwah Islam moderat ini sebenarnya cukup aktif di media sosial. Salah satunya ialah Ulil Abshar Abdalla.
Kyai muda NU yang akrab disapa dengan Gus Ulil itu sangat aktif melakukan dakwah Islam moderat di media sosial. Ia aktif di Facebook, Instagram, dan Twitter. Bahkan, Ia juga membuat pengajian virtual Ihya ‘Ulumuddin dan karya Imam al-Ghazali lainnya.
Meskipun begitu, Gus Ulil menyadari jika narasi Islam konservatif memang cukup membanjiri linimasa di media baru ini.
Dalam diskusi bedah buku Inilah Mazhabku di Paramadina pada Jumat (16/12/22) lalu, Ulil Abshar Abdalla yang tampil sebagai salah satu narasumber mengungkapkan jika narasi politik perpecahan Sunni-Syiah justru dilontarkan oleh kelompok Salafi-Wahabi.
Baginya, kelompok itu merupakan kelompok yang minor dan tak bisa mewakili umat Islam. Namun disebabkan penyebarannya di media sosial, kelompok yang minor itu justru terkesan besar dan mendapatkan perhatian di ruang publik digital.
Memang konten propaganda selaras dengan gejala sosial di media baru saat ini, yakni lebih dapat menarik perhatian secara emosional.
Selain itu, cara pikir keagamaan yang konservatif juga menjadi gejala populer belakangan ini. Identitas agama menjadi dasar bagi orang-orang memilih atau mendukung sesuatu.
Oleh sebab itu dengan kesadaran akan gejala konservatif yang kian menyebar ini, seharusnya dakwah Islam moderat ditingkatkan di media sosial. Seperti jargon yang sering terucap belakangan ini, Islam yang tampil di linimasa haruslah wajah Islam ramah bukan marah, Islam yang merangkul bukan memukul.
Ada tuntutan untuk tampil di ruang publik digital agar bisa menyapa luasnya pengguna aktif internet. Mayoritas tak bisa lagi diam (silent majority) karena gejala konservatif ini kiat meningkat.
Setidaknya, kita bisa memulai dengan membagikan konten Islam moderat di media sosial kita. Dengan begitu, lambat laun model Islam yang toleran bisa naik ke panggung utama linimasa sekaligus menyadarkan umat jika inilah wajah Islam yang sesungguhnya. [NH]