Hagia Sofia telah menjadi masjid kembali. Begitu berita tersebut beredar luas di dunia, termasuk Indonesia, disambut dengan berbagai ungkapan kebahagiaan, tanggapan serta komentar. Beberapa tokoh yang dikenal luas, seperti Ustaz Budi Ashari dan Ary Ginanjar Agustian, merekam ungkapan mereka lewat video dang mengunggahnya di media sosial.
Nama ustaz Budi Ashari yang dikenal penceramah berlatarbelakag pakar sejarah Islam, mengungkapkan bahwa Pembebasan Hagia Sofia atau Aya Sofia adalah janji dari seorang Recep Tayyip Erdogan ketika masih menjadi Walikota Istanbul. Dia kemudian melanjutkan menjelaskan bahwa Erdogan kembali berjanji akan membebaskan masjid al-Aqsa dari penguasaan Israel.
Sedangkan Motivator dan Founder ESQ menegaskan perubahan status Hagia Sofia bukan persoalan yang biasa dalam sejarah Islam. Sebelum menjadi masjid, Hagia Sofia adalah gereja yang menjadi simbol kota Kostantinopel. Jadi ketika terjadi penaklukkan oleh kerajaan Ottoman, maka simbol tersebut diubah menjadi masjid.
Kisah tersebut kemudian dipahami oleh Ary Ginanjar sebagai satu paket dengan penaklukan yang telah dijanjikan oleh Nabi. Dalam penjelasannya pula, Ary menegaskan bahwa penaklukkan tersebut tetap menganut prinsip toleransi. Sebab, dalam istana Topkapi disebutkan ada bangunan gereja yang bernama Haya Helena.
Ary menutup pernyataannya dengan sebuah harapan. “Semoga anda menjadi al-Fatih al-Fatih muda untuk membangun bangsa, membangun keluarga, membangun Indonesia dengan semangat pantang menyerah”.
Pernyataan dua tokoh di atas hanya sebagian kecil dari dinamika perubahan status Hagia Sofia di Indonesia. Banyak pernyataan lain yang senada bisa kita temui di media sosial. Namun, gegap gempita sambutan dari sekian banyak tokoh, sebenarnya tersembunyi narasi lain yang unik dalam cerita yang disampaikan para tokoh tersebut.
Heroisme dan glorifikasi penaklukkan menjadi narasi lain yang terselip dalam persoalan Hagia Sofia baru-baru ini. Idiom penaklukkan menjelma dalam cerita Hagia Sofia yang heroik. Jika sebelumnya, cerita penaklukan Konstantinopel bernarasi sebagai bagian dari janji dalam hadis Nabi, yang menjelma menjadi sebuah simbol kemenangan umat Islam.
Namun, simbol kemenangan tersebut kemudian harus buyar gara-gara pengubahan status masjid tersebut oleh Mustafa Kemal Ataturk di tahun 1935. Keputusan Ataturk tersebut dilihat sebagai simbol kekalahan Islam dari Barat (baca: sekulerisme). Narasi inilah yang kemudian sampai di Indonesia yang semakin berkembang seturut cukup massifnya kalangan muslim Indonesia berkunjung ke Turki.
Dinamika politik Turki tidak begitu dipikirkan atau diambil sebagai sudut pandang oleh warganet Indonesia, terutama mereka yang memang sudah dari dulu mengidolakan sosok Erdogan. Presiden Turki tersebut cukup sering muncul dalam perbincangan warganet. Biasanya, dia (Erdogan) muncul dalam perbincangan terkait isu-isu Islam global.
Perlu diakui, Erdogan cukup populer di kalangan warganet Indonesia. Beberapa isu nasional pun tidak luput dikaitkan dengan Erdogan, baik keputusan atau “keberpihakannya” pada umat Islam. Permasalahan klasik warganet melihat politik Erdogan adalah gagal melihat dinamika politik dalam negeri Turki.
Kembali ke persoalan Hagia Sofia di ranah media sosial, perubahan status dari museum ke masjid disambut dengan berbagai postingan yang bisa diklasifikasi pada dua kelompok besar, yakni imaji keumatan global dan persoalan politik Islam. Walau keduanya masih memiliki nafas yang sama yaitu gelombang pasang islamisme di Indonesia.
Agar bisa memahami lebih dalam, kita sebelumnya harus memahami bahwa Islamisasi di Indonesia sedang mengalami gelombang pasang. Buktinya, keislaman yang berwajah literalis dan purifikasi cukup mendapat tempat di ranah digital.
Moeslim Abdurrahman pernah mengambarkan kondisi keislaman kita sekarang. Menurutnya, islamisasi di Indonesia sekarang dalam semangat aliran yang begitu kuat. Sehingga, memunculkan orang-orang yang saleh sektarian dalam jumlah yang cukup besar.
Apalagi, menurut Moeslim Abdurrahman, setelah sebagian orang kaya baru mulai turut mewarnai keislaman namun dalam bingkai gaya hidup. Mereka tersebut mengubah wajah keislaman Indonesia yang sekarang lebih bernuansa identitas konsumtif, karitatif, dan semiotif yang islami. Dus, kondisi muslim seperti ini menghasilkan Islam “gebyar”, jika meminjam istilah Moeslim Abdurrahman.
Keberislaman seperti ini tidak lebih baik dengan paham Islam yang sangat sektarian, bahkan dalam beberapa kasus kelompok Islam “gebyar” juga tak kalah sempit memahami kesalehan atau keimanan. Kondisi ini memang tidak asing di Indonesia sekarang.
Keberagamaan kita sangat terasa sempit karena pemahaman kita yang sangat komunal. Kita seringkali terjebak pada ritualistik dan imaji kelompok yang sempit. Begitu kondisi ini dominan di masyarakat, maka isu Hagia Sofia yang tentu turut menjadi makanan wajib warganet.
Akibatnya, Hagia Sofia dipandang sebagai narasi kemenangan kelompok Islam atas penindasan sekulerisme. Namun, dalam pandangan warganet Indonesia narasi tersebut bukan bayangan umat Islam Turki saja, namun umat Islam seluruh dunia.
Poin tersebut kita bisa lihat dalam dua postingan di atas. Tapi, yang tidak disadari adalah penanaman atau glorifikasi Islam yang sangat heroik namun sektarian yang terselip dalam narasi Hagia Sofia, yang dikobarkan dalam berbagai postingan para netizen. Islam yang memiliki kesalehan sosial pun menjadi terabaikan.
Gegap gempita penyambutan Hagia Sofia dapat mengaburkan Islam hanya sebagai sebuah bendera kelompok, ketimbang perannya sebagai “senjata” simbolis yang mampu berhadapan dan berpihak secara kritis. Berpihak kepada siapa? Ya kepada mereka yang menderita, tersingkir dan kalah, tanpa membedakan agama, ras, warna kulit atau bahasa.
Jika warganet kita masih berkubang dalam dinamika sektarian atau glorifikasi kelompok. Maka, tidak mengherankan jika kita masih terjebak pada beban Islam sebagai cita-cita ideologi besar atau impian yang terlalu ambisius untuk mengedepankan alternatif ideologi politik: Islam is Solution. Sudah saatnya kita keluar dari dua beban ini, dan menjadi Islam sebagai agama pembebas bagi siapapun.
Fatahallahu alaihi futuh al-arifin