Mengapa Anti-Yahudi Merebak di Indonesia?

Mengapa Anti-Yahudi Merebak di Indonesia?

Mengapa Anti-Yahudi Merebak di Indonesia?

Dunia terbakar dengan ulah Donald Trump, Presiden Amerika Serikat. Jerussalem menjadi titik panas, yang menjadi kuburan doa dan air mata. Kebijakan Trump yang mendukung Jerussalem sebagai Ibu Kota Israel, serta memerintahkan pemindahan Kedutaan Besar Amerika Serikat di Tel Aviv ke Jerussalem. Politik internasional guncang, dengan manuver politik Trump.

Donald Trump selama ini dianggap sebagai Presiden Amerika, yang dekat dengan komunitas Yahudi ortodoks. Putri Donald Trump, Ivanka Trump, memeluk agama Yahudi pada 2009, sebelum menikah dengan Jared Kushner. Di ruang publik, Trump sering meneriakkan bahaya anti-semitisme, sebagai bagian dari manuver politiknya. Trump juga dengan bangga, mengungkapkan bahwa dirinya memiliki cucu Yahudi, dari pernikahan Ivanka dan Jared Kushner.

Dalam lingkaran kuasanya, Trump juga dikelilingi oleh barisan professional dan intelektual Yahudi. Di antaranya: Jason Greenblatt, David Friedman, Jared Kushner, Boris Epstheyn, Stephen Miller, Steven Mnuchin, Lewis Eisenberg, dan Michael Glassner. Greenblatt merupakan lawyer ternama, yang membantu Trump ketika menjadi pengusaha real-estate. David Friedman seorang adviser berkebangsaan Israel, yang merupakan ahli hukum yang berkarir di Kasowitz Law Firm. Kushner merupakan ahli strategi diplomasi, yang belakangan menjadi menantu Trump.

Boris Epshteyn merupakan pakar komunikasi dan strategi kampanye, ia membantu Trump dalam proses pemenangan pemilu Amerika. Stephen Miller merupakan orang yang krusial dalam lingkaran kekuasaan Trump. Ia membantu menyiapkan startegi kampanye, menyiapkan draft pidato dan menata isu yang hendak dikampanyekan Trump. Miller tumbuh dalam lingkungan Yahudi liberal di kawasan Southern California. Steven Mnuchin merupakan pengusaha, yang membantu bisnis Trump di beberapa sektor. Sementara, Glassner merupakan presiden kampanye Trump, yang ahli dalam strategi media.

“Ancaman anti-semit yang mengincar komunitas Yahudi dan pusat komunitas ini buruk sekali dan sangat meyakinkan—sebuah pengingat bahwa kita masih harus berupaya untuk meredam kebencian, prasangka, dan kejahatan,” ungkap Trump, sebagaimana dicatat CNNIndonesia (22/02/2017).

Senada dengan Trump, Antonio Guiterres, Sekjen PBB, mengungkapkan bahwa sentimen anti-Yahudi yang merebak sekarang ini, tidak bisa dibiarkan. Dalam kunjungan ke Museum Peringatan Holokos Yad Vashem di Israel, Guiterres menyampaikan betapa dirinya ingin memerangi rasisme dan fanatisme. Dalam lawatan ke Israel dan Tepi Barat, pada 28 Agustus 2017 lalu, Antonio Guiterres bertemu dengan Presiden Israel, Reuven Rivlin dan Perdana Menteri Palestina, Rami Hamdalah.

Namun, di balik manuver Trump, serta kampanye yang mengungkap meningkatnya Anti-semitisme, bagaimana melihat isu anti-Yahudi di Indonesia? Sebuah survey yang melihat anti-semitisme, menempatkan Indonesia sebagai negara dengan jumlah warga anti-Yahudi terbesar di Asia. Isu-isu anti-Yahudi berhempus kencang, seiring dengan kontestasi informasi yang beredar di negeri ini. Sebuah Sinagoge di Surabaya, dihancurkan dengan tekanan ormas-ormas yang tidak menghendaki keberadaan Yahudi di negeri ini.

Lembaga riset Yahudi, Anti-Defamation League (ADL), yang dilakukan di 102 negara, melaporkan meningkatkan anti-semitisme secara global. Survey Global ADL antara Juli 2013 hingga Februari 2014, yang dilakukan melalui 53.100 interview dengan 96 bahasa. Dalam laporan riset ini, terungka bahwa 1,09 miliar orang dewasa dunia punya paham anti-semit.

Negara Indonesia merupakan negara anti-Yahudi terbanyak keempat di Asia. Negara Malaysia, Armenia, dan Korea Selatan memuncaki daftar negara dengan penduduk anti-Yahudi terbesar di Asia. Dari laporan situs global100.adl.org, diperkirakan terdapat 75 juta warga anti-Yahudi dari 156.416.683 populasi dewasa di Indonesia. Dengan demikian, 48 persen warga dewasa di Indonesia, anti terhadap komunitas Yahudi.

Di Malaysia, data penduduk anti-Yahudi lebih tinggi lagi. Malaysia menempati urutan pertama, dengan 61 persen warga anti-Yahudi, disusul Armenia sejumlah 58 persen, dan Korea Selatan terbanyak 53 persen.

Dari survey, ada 11 pertanyaan yang menjadi instrumen kunci, yang dianggap sebagai strereotype terhadap komunitas Yahudi. Di antaranya: apakah Yahudi berkuasa terlalu besar di pasar internasional, media global dan pada pemerintahan Amerika Serikat. Lalu, apakah Yahudi hanya mementingkan diri mereka sendiri atau, apakah Yahudi bertanggungjawab atas perang-perang di seluruh dunia.

Dari mayoritas responden Indonesia, sebanyak 67 persen mengungkap kebencian terhadap Yahudi karena kelakuannya. Di sisi lain, sebanyak 62 persen, menganggap Yahudi sombong dalam kelakuannya, serta merasa lebih baik dari umat lainnya. Sebanyak 59 persen, responden Indonesia menganggap Yahudi telah menguasai pemerintah Amerika Serikat.

Riset ini, melaporkan bahwa 26 persen masyarakat dunia, mempercayai setidaknya enam dari 11 stereotype tentang umat Yahudi, atau dalam jumlah sekitar 1,1, miliar warga. Negara-negara Timur Tengah, menjadi penyumbang terbesar kebencian terbesar terhadap Yahudi. Warga negara Palestina, Irak, Yaman, Aljazair dan Libya memiliki kebencian tertinggi terhadap orang Yahudi.

Bagaimana memahami anti-Yahudi di negeri ini? Sejauh perjumpaan dan pertemaan saya dengan orang-orang Yahudi, ada beberapa mis-informasi yang bergulir. Pertama, sebagian besar warga Indonesia, memandang Yahudi sama dengan Israel. Padahal, tidak semua yang menjadi politik Israel, sejalan dengan aspirasi orang Yahudi. Dan sebaliknya, tidak semua kepentingan dan hak politik orang Yahudi, diakomodir oleh pemerintah Israel.

Kedua, selama ini, sebagian orang menganggap keturunan Yahudi, sejalan dengan garis teologi leluhurnya. Padahal, tidak semuanya demikian. Karena berbagai konteks sosial dan politik, ada orang-orang keturunan Yahudi yang memeluk Nasrani, dan bahkan Islam.

Bahwa, identitas orang Yahudi tidak tunggal. Ada warna-warna berbeda, yang jarang dilihat dalam kacamata orang Indonesia, di tengah sengkarut konflik Israel-Palestina [Munawir Aziz].