Mengapa Allah Menggunakan Kata Ganti Maskulin dalam Al-Quran?

Mengapa Allah Menggunakan Kata Ganti Maskulin dalam Al-Quran?

Kita meyakini Allah tidak punya deskripsi gender. Mengapa dalam al-Qu’an, Allah selalu dirujuk menggunakan kata ganti maskulin?

Mengapa Allah Menggunakan Kata Ganti Maskulin dalam Al-Quran?
Tafsir Surat Ali Imran (foto: Fera/Islamidotco)

Jika kita cermat mengamati ayat-ayat yang mengandung kata ganti (dhamir) zat Allah Swt. dalam al-Qur’an, kita akan menemukan sebuah fakta bahwa semua kata ganti untuk Allah Swt. dalam al-Qur’an berbentuk maskulin atau mudzakkar. Mungkin sudah banyak yang menyadari akan hal ini, namun apakah kesadaran itu dibarengi dengan keingintahuan? Jika iya, tulisan ini akan menjawab rasa penasaran itu.

Allah, dalam al-Qur’an, tidak sekalipun menggunakan kata gan­ti bentuk feminin (mu’annats). Kata ganti Tu­han selalu huwa (maskulin), tidak per­nah menggunakan hiya (feminin). Tentu di sini tidak menunjukkan bahwa Tuhan berjenis kelamin laki-laki. Bukan juga untuk melegitimasi superioritas kaum laki-laki. Allah Swt. Maha Adil dan tidak pernah membedakan kelas-kelas dalam masyarakat termasuk kelas gender.

Ada dua alasan setidaknya mengapa kata ganti Tuhan dalam al-Qur’an selalu maskulin. Pertama adalah karena tradisi. Penggunaan bentuk mudzakkar pada kata ganti Tuhan semata-mata mengikuti tradisi ba­hasa Arab yang memang selalu menggunakan kata ganti mudzakkar dalam merujuk Tuhan.

Dhamir ghaib (kata ganti orang ketiga) dalam kaidah bahasa Arab selain huwa adalah huma, hum, hiya, hunna, dan yang menunjukkan ‘jumlah yang satu’ hanya huwa dan hiya. Jika Allah Swt. menggunakan selain kedua itu, jelas tidak masuk akal karena Allah selalu menegaskan sifat ke-Esa-anNya dalam kitab suci.

Lebih jauh lagi, sejak dahulu kala, orang Arab selalu menggunakan kata ganti maskulin ‘huwa’ untuk kata ‘Allah’ (Tuhan semesta alam). Maka selain sudah jadi naluri bahasa, itu sudah jadi naluri akal sehat mereka bahwa Tuhan lebih tepat menggunakan dhamir huwa dan bukan hiya. Maka, kalau Allah menggunakan hiya, bukan saja akan membingungkan secara gramatikal arab tapi juga secara naluri akal sehat mereka. Karena kalau kita mengacu pada tulisan Allah sendiri (اَللهُ), ia secara otomatis akan mengacu pada isim mudzakkar karena tidak diakhiri dengan ta’ marbutah atau alif dan ta’.

Alasan tersebut secara tersirat menjelaskan bahwa selain memperhatikan kondisi sosial-budaya, Allah Swt. juga memperhatikan kaidah kebahasaan masyarakat di mana al-Quran diturunkan. Maka, menjadi tidak relevan ketika semua harus mengacu kepada budaya Arab dalam beragama dan berkehidupan sosial di Indonesia. Allah bisa jadi menyiratkan nilai-nilai kontekstual dalam beragama melalui pemilihan kata ganti ini. Maka tidak heran jika muamalah kita selaku Muslim Indonesia akan sedikit berbeda dengan daerah asal turunnya al-Qur’an karena perbedaan kultur sosial budaya.

Kembali lagi kepada persoalan kata ganti Allah yang maskulin. Dalam Islam, kita meyakini bahwa Allah tidak menyerupai siapapun atau apapun, artinya Allah tidak memiliki deskripsi gender. Jika Allah mempunyai jenis kelamin, laki-laki atau perempuan, artinya Allah menyerupai makhluk-Nya dan bertentangan dengan aqidah kita.

Kedua, mengapa Allah Swt. menggunakan kata ganti huwa atau he dalam bahasa Inggris, adalah karena satu-satunya dhomir dalam kaidah bahasa Arab yang bisa digunakan bagi Allah Swt. adalah huwa. Kenapa bukan hiya?

Dalam kaidah bahasa Inggris, gender dibagi menjadi tiga, male (he), female (she), dan neuter (it). Dalam kaidah bahasa Arab gender hanya dibagi dua, huwa dan hiya. Lebih lanjut, dalam gramatikal Arab, ada kriteria-kriteria khusus agar sesuatu bisa berjenis kelamin wanita atau feminin. Pertama, jika ia bersifat feminin secara alami, seperti ummun  (ibu), ukhtun (saudara perempuan), maka menjadi wanita atau feminin. Allah secara sifat tidak bersifat feminin, maka Allah tidak bisa disebut feminin.

Dalam arti lain, bisa dikatakan bahwa semua neuter noun (it) atau makhluk yang tidak diketahui gendernya, dalam bahasa Arab, masuk ke dalam kategori mudzakkar (maskulin), kecuali jika ia punya tanda-tanda muannats (feminin) atau punya sebab tertentu sehingga dia dianggap muannats, atau memang sudah lazimnya diperlakukan sebagai muannats sehingga bisa menggunakan dhomir muannats (syamsun, naarun, ardhun).

Kedua, sesuatu disebut feminin ketika berpasangan. Seperti yadun (tangan), ainun (mata), maka ia bersifat feminin. Allah Swt. tidak berpasangan (qul huwa Allahu ahad), maka Allah tidak bisa disebut feminin. Ketiga, suatu kata yang berakhiran tamarbutoh (ة) dan ta’ ta’nits ( (ت ا maka ia menjadi feminin. Karena lafaz Allah tidak berakhiran itu, maka Allah Swt. tidak bisa disebut feminin.

Artinya, secara regulasi gramatikal, kata ganti Allah Swt. dalam al-Qur’an secara by default atau sesuai asalnya (orisinilnya) menggunakan huwa karena kata ganti feminin bagi Allah Swt. tidak memungkinkan digunakan dan yang tersisa hanyalah huwa.

Dalam bahasa Arab, karena tidak ada jenis kelamin neuter, seperti bahasa Inggris, dan hanya ada huwa dan hiya, maka kata ganti bagi Allah Swt. secara otomatis menggunakan huwa dengan melihat pertimbangan peraturan kaidah bahasa Arab.

Tidak pernah sekalipun diwacanakan penggantian kata ganti Tuhan dari huwa menjadi hiya, atau kata gan­ti lain, dalam literatur Islam. Keberatan terhadap kata ganti tersebut juga belum pernah ditemukan dalam lintasan sejarah Islam. Hal itu disebabkan karena pemahaman te­ologi Islam tidak mementingkan mempersoalkan kata ganti Tuhan.

Namun satu hal yang pasti, yaitu penggunaan kata ganti maskulin tersebut tidak akan pernah menjadi dasar pendukung fenomena patriarki atau superioritas kaum adam dalam al-Quran. Allah Swt. Melalui al-Quran menyajikan nilai kesetaraan baik laki-laki maupun perempuan. Yang membedakan kelak di sisi Allah Swt. hanyalah nilai ketaqwaan masing-masing individu.

Wallahu a’lam bisshawab..