Tugas ahli fikih tidak hanya sekedar menerjemahkan teks keagamaan. Tidak cukup membaca al-Qur’an, hadis, dan kitab fikih, kemudian meminta orang lain mengikuti hasil bacaannya. Dalam dari pada itu, seorang ahli fikih harus mampu mendialogkan hasil bacaannya dengan realitas yang dihadapinya. Meminjam istilah Ibn Rusyd, ulama fikih mesti mampu menegosiasikan antara teks keagamaan yang statis dengan realitas baru yang terus berkembang.
Karenanya, selain memahami ilmu yang berkaitan dengan teks, ahli fikih juga dituntut belajar memahami realita dan fakta. Andaikan dia tidak punya waktu buat belajar, minimal dia bertanya kepada orang yang lebih ahli darinya terkait realitas yang dihadapinya. Ketika menyikapi persoalan politik misalnya, semestinya ahli fikih bertanya kepada pengamat politik terlebih dahulu sebelum memutuskan hukum. Sebab kondisi politik dan ilmu politik selalu berkembang dari waktu ke waktu. Belum tentu rumusan politik dulu relevan untuk kondisi kekinian.
Begitu pula pada saat menghadapi tradisi lokal yang beredar di masyarakat, mintalah penjelasan dari tokoh adat sebelum berfatwa. Bisa jadi dalam tradisi tersebut terdapat banyak kearifan yang sebetulnya sesuai dengan prinsip dasar syariat Islam. Tetapi karena melihat bungkusnya saja dan tidak menukikkan pandangan lebih jauh pada substansi tradisi, kita anggap tradisi tersebut bertentangan dengan syariat Islam. Apalagi banyak tradisi lokal yang tidak dibahas dalam kitab kuning.
Apabila seorang ahli fikih atau pelajar fikih mau memahami realita, tidak mendahulukan ego fikihnya, dan menganggap pengetahuan di luar fikih itu juga penting, maka kemungkinan besar fatwa keagamaan yang dilontarkannya akan banyak disambut dan diterima masyarakat. Selama ini, sebagian fatwa keagamaan tidak diterima masyarakat, bahkan terkadang orang yang mengeluarkan fatwa tersebut dikritik dan dihujat banyak orang. Melihat fenomena ini, sudah saatnya kita merenung, jangan-jangan ada yang salah dalam kajian fikih kita?
Ada baiknya kita merenungi pendapat Ibnu Qayyim al-Jawziyah yang termaktub dalam I’lam al-Muwaqqi’in. Dia mengatakan, “Orang yang berfatwa dengan hanya mengandalkan kitab yang dia baca, tanpa memperhatikan budaya, tradisi, konteks, dan kondisi, maka sungguh sesat dan menyesatkan”. Bahkan menurut Ibnu Qayyim, dosa mereka lebih parah dibanding dokter yang mengobati pasien hanya berdasarkan kitab kedokteran, tanpa mendiagnosa dan memperhatikan kondisi pasien.
Pengarang kitab al-Furuq, Syihabuddin al-Qarafi berpesan, “Jangan seumur hidupmu terpaku pada kitab. Apabila ada orang yang bertanya kepadamu, tanyakan terlebih dahulu dari mana dia berasal. Berfatwalah sesuai dengan kondisi budaya dan tradisi tempat mereka berasal. Jangan keluarkan fatwa yang sesuai dengan budayamu atau berdasarkan apa yang ada di dalam kitabmu.”
Berdasarkan paparan ini, mestinya ahli fikih adalah pembaca aktif, bukan pembaca pasif. Seorang pembaca aktif, dia akan memposisikan teks setara dengan kepalanya. Dia akan mengerutkan kening ketika menemukan redaksi teks yang menurutnya tidak cocok dengan kekinian. Bahkan dia tidak segan-segan meninggalkan teks pada saat kondisinya tidak mungkin diterapkan saat ini. Hal ini tentu berbeda dengan pembaca pasif, yang meletakkan teks di atas kepalanya.
Tugas mulia ahli fikih ialah menjaga kestabilan makna teks. Bagaimana supaya teks yang dia baca shahih li-kulli zaman wa al-makan. Karenanya perlu dilakukan kontekstualisasi agar teks yang dibaca memiliki relevansi dan lebih mudah diterima masyarakat. Dalam proses kontekstualisasi, dimensi lokalitas, tradisi, budaya, atau adat perlu dijadikan bahan pertimbangan. Mengingat pentingnya pemahaman terhadap tradisi dan konteks, para ulama menjadikan pengetahuan terhadapnya menjadi salah satu syarat ijtihad. Ulama mewanti-wanti agar tidak mengeluarkan fatwa yang bertentangan dengan lokalitas, kultur, dan kondisi psikis masyarakat.
Wahbah al-Zuhayli mengatakan, “Apabila hukum yang diputuskan atau fatwa keagamaan yang dilontarkan tidak sesuai dengan kondisi dan budaya suatu masyarakat, maka dikhawatirkan akan memberikan kemudharatan dan kesulitan terhadap mereka. Implikasi ini bertentangan dengan prinsip dasar syariat Islam, yaitu kemudahan dan keringanan”. Lantaran ada perbedaan kondisi yang dihadapi para ulama, tidak mengherankan bila sebagian ulama berani berbeda pendapat dengan Imam Madzhab mereka, karena mereka tahu ada kondisi yang berbeda antara mereka dengan para founding father fikih.
Adanya perbedaan kutur-sosial antara satu orang dan orang lain; satu masyarakat dan masyarakat lain; satu negara dan negara lain itulah yang harus dimengerti ahli fikih. Besar kemungkinan fatwa keagamaan yang diputuskannya untuk suatu masyarakat tertentu, tidak dapat diterapkan untuk masyarakat lain. Pendapat fikih yang jelimet misalnya, akan lebih cocok diutarakan kepada pendengar yang sudah kuat imannya atau rajin ibadahnya. Tapi ini akan bermasalah jika disampaikan kepada orang yang masih malas dan keimananya belum terlalu kuat.
Bukankah Nabi SAW dulu juga memberlakukan hal yang sama. Beliau memutuskan hukum berdasarkan kondisi orang yang dihadapinya. Bahkan terkadang dalam satu pertanyaan yang sama, Nabi SAW memberikan jawaban berbeda tergantung situasi penanya. Nabi juga pernah menegur sahabat yang terlalu lama mengimami shalat berjamaah, sehingga ada jama’ah shalat yang komplain kepada Nabi. Nabi tidak menyalahkan dua orang sahabat yang berbeda penafsiran terkait ucapannya, selama penafsiran sahabat itu tidak merugikan dan membawa kemudharatan. Kearifan Nabi Muhammad itu menjadi gambaran betapa fleksibel dan kekiniannya Islam. Ini sekaligus menjelaskan bahwa fikih tidak sekaku yang kita bayangkan