Apa yang membuat Agnesia Hari Kardyantini, seorang Katolik berusia 58 tahun, mendirikan penginapan syariah?
Agnes, jemaat Gereja Kristus Raja Baciro, duduk di teras belakang rumah, tempat ia biasa menerima tamu. Di kursi jati babon angrem yang telah berumur. Setiap gesekan kayu menimbulkan derit halus, namun tetap kokoh menopang tubuhnya seperti semangat Agnes yang tak pudar meski usia terus berjalan.
Rambut yang kini memutih jatuh lembut di sela-sela daun telinga. Gurat air mukanya tenang meski terlihat lelah. Tangan kanan yang kasar dan membengkak akibat psoriasis sesekali ia angkat untuk menopang kepala, tanda bahwa rasa sakit fisik sudah menjadi bagian dari hidup sehari-hari, namun tak meredupkan keteguhan hati.
Setiap sendi tubuhnya sudah akrab dengan rasa nyeri yang terus menyertai.
Di dinding putih yang sederhana, tergantung berbagai sertifikat yang warnanya mulai pudar dimakan waktu. Di bawahnya, di atas rak kayu, beberapa toples kaca berisi rempah-rempah vegetarian berukuran 100 gram tersusun rapi—ada lada hitam, jinten, pala, temulawak, dan lainnya.
Ada pula mesin pengering kecil yang berdiri kokoh di sudut, alat untuk mengeringkan rempah-rempah tersebut. Namun, yang paling menarik perhatian saya adalah lukisan Yesus dalam piring melamin yang tergantung di atas deretan sertifikat itu.
Sejenak saya terkesiap.
Gambar Yesus yang melambangkan keyakinan yang ia peluk seumur hidup tampak kontras dengan pilihan usaha yang kini menjadi fokus hidup Agnes. Penginapan Grha Vege Jawi Syariah, terletak di Jl. Turonggo No. 125, RT 5 Sorowajan, Banguntapan, sebab yang saya tahu, konsep syariah sejauh ini umumnya hanya dikenal di komunitas agama tertentu.
Lahir pada Hari Kartini tahun 1966, Agnes seolah ditakdirkan menjadi perempuan tangguh. Di usia 44 tahun, ia menghadapi ujian berat dengan serangkaian penyakit: kista, mioma, fistel, kolesterol tinggi, asam urat, dan psoriasis.
Operasi demi operasi dijalaninya dalam waktu singkat. Namun, seperti Kartini, ia tak kehilangan semangat.
Empat kali operasi, empat kali harapan, dan empat dokter berbeda memberikan vonis yang sama: psoriasis, penyakit kronis tanpa obat. Ibu dari empat anak ini tak menyerah. Ia akhirnya memilih menempuh jalur langit.
“Ada solusi rohani di setiap persoalan,” ujar Agnes dengan suara berat ketika saya temui pada 25 Agustus 2024 lalu.
Mengawinkan Spiritualitas dan Kuliner
Terinspirasi oleh Romo parokinya yang vegetarian, Agnes mulai tertarik pada gaya hidup sehat. Ia pun menggali lebih dalam tentang vegetarianisme dari seorang teman yang beragama Buddha.
Syahdan, ia diperkenalkan kepada seorang bhiksu, yang menyarankannya mengikuti ajaran Tao.
Agnes, penasaran, langsung setuju. Namun, ketika diminta menghafal mantra dalam bahasa Mandarin, ia hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala.
Dengan semangat bereksperimen, Agnes mulai meracik bumbu-bumbu sendiri. ‘Vege Jawi,’ begitu Romo menamai kreasi masakan ‘vegetarian ala Jawa’ miliknya.
Sejak tahun 2013, Agnes mulai mengembangkan resep-resep yang memadukan cita rasa tradisional Jawa dengan prinsip-prinsip vegetarian. Ia meracik bumbu-bumbu yang disesuaikan dengan kondisi hidupnya, sekaligus mengombinasikannya dengan budaya Jawa.
Dahulu, lahan yang kini menjadi lokasi penginapan Grha Vege Jawi Syariah adalah kebun jamu dan bahan baku Vege Jawi yang rindang. Pada tahun 2016, Agnes mencoba peruntungan dengan membuka rumah makan vegetarian di lokasi tersebut.
Seiring berjalannya waktu dan perubahan kebutuhan keluarga, pada tahun 2017, suaminya, Tri Joko (63), memutuskan untuk pensiun dini. Atas saran anak-anaknya, Agnes kemudian mengubah konsep bisnisnya menjadi penginapan.
Proses pembangunan yang cukup panjang akhirnya selesai pada tahun 2019, dan penginapan pun resmi dibuka.
Mengapa Seorang Katolik Memilih Konsep Syariah untuk Bisnisnya?
Mula-mula, Agnes mengandalkan seorang karyawan yang paham dunia digital marketing untuk mengelola penginapannya. Namun, kepercayaan yang diberikan justru disalahgunakan. Selama tujuh bulan penuh, seluruh pendapatan penginapan dinikmati sendiri oleh karyawan tersebut.
“Kami yang bekerja keras, tapi dia yang menikmati hasil,” kenang Agnes.
Lantas, apa alasan Agnes, seorang Katolik, memilih konsep syariah untuk penginapannya?
Agnes mendaftarkan penginapannya ke aplikasi platform booking hotel daring. Namun, malang, platform tersebut sepenuhnya mengelola harga kepada pelanggan.
Harga murah Rp86.000 yang ditetapkan aplikasi justru menarik tamu-tamu yang tidak sesuai dengan ekspektasi Agnes. Pasangan selingkuh, mahasiswa yang bukan pasangan sah, silih berganti menginap.
Hati Agnes pedih.
“Rumah saya bukan rumah bordir,” gumamnya lirih.
Agnes cerita bahwa pasangan tidak sah yang menginap di penginapannya datang dari berbagai kalangan, bahkan dari kalangan yang seiman dengannya.
Suatu ketika, seorang perempuan Kristen mengaku datang sendiri, tetapi ternyata ada seorang laki-laki yang masuk ke kamar bersamanya.
Ketika Agnes mengetuk pintu, ia mendapati lelaki tersebut hanya mengenakan kolor, sementara perempuan itu membalutkan tubuhnya dengan selimut. Setelah menegur pria tersebut dan mengusirnya, Agnes menasehati perempuan itu,
“Mbak, saya (sebagai) sesama wanita, jaga kekudusanmu. Tubuhmu bait Allah, jangan digunakan semena-mena.”
Dalam keputusasaan, Agnes bertemu seorang laki-laki dari departemen agama.
“Coba bikin penginapan syariah saja,” saran lelaki tersebut.
Seketika, secercah harapan muncul di hati Agnes. Meski syaratnya harus membangun musala, ia merasa ini adalah jalan keluar yang tepat.
Dengan tulus, Agnes mengubah resepsionis menjadi musala, rumah ibadah yang tidak diimaninya. Meski demikian, ia percaya bahwa rumah ibadah apa pun akan membawa keberkahan dan kedamaian bagi dirinya dan lingkungan sekitar.
Belajar Memaafkan
Beragam cerita tidak mengenakkan tentang para tamu yang pernah menginap di penginapan Grha Vege Jawi Syariah, misalnya salah satu pasangan suami istri yang menyewa penginapan selama hampir dua bulan namun tidak membayar tagihan yang mencapai jutaan rupiah, dan akhirnya diikhlaskan oleh Agnes.
Agnes juga menambahkan bahwa ia menghadapi berbagai macam perilaku dari tamu-tamunya, termasuk ketika ia lupa mengembalikan uang tamu sebesar 1.000 rupiah, dan tamu tersebut memberikan ulasan buruk di aplikasi.
Suatu ketika, ia memergoki salah satu pasangan tidak sah dan mengembalikan uang mereka saat mereka hendak check-in.
“Uang itu belum saya terima, semua di sistem,” ujar Agnes.
Namun, pasangan muda-mudi tersebut tetap meminta uang mereka dikembalikan.
“Baiklah,” kata Agnes, “saya kembalikan, meskipun uangnya di sistem (platform booking online) belum dicairkan.”
Agnes berpikir, “Saya akan mendapatkannya kembali besok meski dipotong 20%.”
Ternyata, perempuan dalam pasangan tersebut juga meminta refund melalui sistem, padahal dia sudah mendapatkan pengembalian uang tunai dari Agnes.
Bagaimana Agnes bisa mengatasi pelanggan yang menjengkelkan dan melewati masa-masa sulit tersebut?
Untuk menjawab pertanyaan ini, Agnes mengaku sudah terbiasa ‘jajan rohani’ lintas iman. Jadi, siapa pun dari latar belakang agama apa pun yang menyakitinya, Agnes tetap menghormati mereka.
“Saya menghormati Allah yang ada di hatinya,” tutur Agnes. “Meskipun dia berbuat yang menyakiti hati saya, saya percaya Allah ada di hatinya.”
“Setiap orang yang masuk ke sini, bagi saya, itu tamu Allah.”
Dengan bijaksana, ia menambahkan, “Allah itu tak terbatas; kita manusia yang sering mengkotak-kotakkan diri.”
Sinar matahari mulai terasa hangat di kulit, pertanda waktu yang semakin siang. Dengan berat hati, saya pamit undur diri. Bincang inspiratif bersama Agnes hari ini sungguh membuka mata saya.
Jika semua penganut agama seperti Agnes yang penyayang, hidup kita akan jadi riang. Jika semua umat manusia seperti Agnes yang ‘berbudi Islami’, maka kehidupan bangsa kita akan bebas dari iri dengki dan caci maki.