Mengambil Manfaat Barang Sewaan dalam Hukum Islam Nusantara

Mengambil Manfaat Barang Sewaan dalam Hukum Islam Nusantara

Mengambil Manfaat Barang Sewaan dalam Hukum Islam Nusantara

Praktik sewa yang sekarang ini sudah menjadi kebiasaan masyarakat kita ternyata dulunya tidak dikenal nenek moyang nusantara. Sewa-atau swa yang berarti pihak lain- adalah pembayaran upeti atau pajak yang harus diserahkan masyarakat asing kepada pemimpin masyarakat asli lokal sebab yang bersangkutan menempati atau menggarap tanah adat, ulayat dsb. Pembayaran itu berbentuk hasil bumi yang diserahkan pada acara upacara tertentu yang biasa disebut “pagelaran”, misalnya pagelaran gerebeg mulud di alun-alun kesultanan-kesultanan Jawa.

Dalam bahasa Jawa, gelar bisa bermakna istana dan berarti pula di hadapan massa. Dengan kata lain orang asing yang menempati atau menggarap tanah adat harus hadir di istana atau di depan khalayak pribumi. Pada upacara pagelaran pembayaran sewa (upeti/pajak) dilakukan sejak pagi-pagi buta untuk digelar dan dilihat bersama-sama oleh semua lapisan masyarakat. Orang asing yang tidak hadir atau tidak menyerahkan hasil bumi sebagai pembayaran sewa pada suatu acara pagelaran tersebut dapat dianggap pengkhiat atau melakukan pengkhianatan kepada istana -tempat ratu/datu bersama para bangsawan lainnya jumeneng bertahta.

Keberadaan ratu/datu dan bangsawan yang berjajar di istana di sini merupakan simbol perwakilan Tuhan sebagai penguasa bumi dan isinya. Ratu/datu mengambil posisi Tuhan vis-a-vis kebangsawanan dalam upacara pegelaran. Ia seolah-olah menerima mandat langsung dari Allah untuk menarik kewajiban sewa dari orang asing. Ratu/datu dalam konteks ini tak ubahnya seperti amil yang menerima dan menyalurkan zakat mal dari pihak asing penggarap tanah.

Lantas, sejak kapan masyarakat mempraktikan akad sewa-menyewa seperti model sekarang ini? Tidak bisa dipungkiri pergumulan masyarakat asli nusantara dengan orang-orang asing menyebabkan kemunculan pranata-pranata baru, khususnya tentang hak kepemilikan atas tanah. Kenapa tanah? sebab pertama kali masyarakat kuno mengenal konsep kebendaan (materialisme) berawal dari “sthana” – tanah (yang berarti tumpah, ruang dan tempat). Paham ini bagian dari alam pikir emanasi, bahwa tanah adalah bagian surga yang tumpah: seperti sthana parahyangan di mana ada persepsi bahwa tatar sunda sebagai surga yang tumpah ke bumi pasundan; sthana ratu (istana ratu) karena persepsi istana sebagai tempat jumenang para ratu sebagai khalifatullah di bumi.

Dengan kata lain, dalam teologi masyarakat nusantara tanah adalah milik Allah yang tidak bisa dimiliki mutlak oleh manusia kecuali para ratu. Status orang biasa memiliki tanah hanya sebagai penggarap yang ditandai dengan siklus bercocok tanam. Selama tanaman tumbuh dan berbuah maka menjadi milik orang tertentu. Akan tetapi jika tanah sudah tidak digarap dan ditumbuhi ilalang maka statusnya menjadi milik Allah kembali. Itulah sebabnya masyarakat menyebut upaya kepemilikan tanah disebut “yasa” yang berarti jerih payah (sama  dengan “yas’a” dalam bahasa Arab yang berarti berjalan dan berusaha).

Bukti lain bahwa masyarakat kuno awalnya tidak mengenal konsep kepemilikan dapat ditinjau dari kata yang biasa dipakai untuk menunjukkan kepunyaan; “milike’, “duwike” yang nota-banenya berasal dari bahasa Arab; “milik” dan “dzuw”. Dapat diilustrasikan para pedagang Arab yang datang ke nusantara awalnya meminta ijin kepada para ratu di nusantara untuk tinggal sampai menetap dengan membayar “sewa” hingga akhirnya merasa memiliki karena menganggap dirinya “yas’a”.

Pemahaman ini lalu diperkuat dengan aturan hukum Belanda, yang disebut bezit  yang digunakan secara luas untuk menggambarkan hak atas tanah dapat berarti : penguasaan (possession) , pemilikan (ownership) , dan penggunaan (tenure). Praktis sejak itulah tata nilai kepemilikan tanah di nusantara berubah total: dari milik Allah menjadi milik perseorangan.

Sekalipun demikian warisan nilai itu masih dapat didentifikasi dalam praktek akad penjaminan tanah, seperti garap paroan, dol tahunan, gadai tanah, dsb. Sebagai penerima jaminan tanah, seseorang dihalalkan mengambil manfaat hasil bumi karena anggapan nenek moyang dahulu tidak ada yang memiliki hak mutlak tanah. Jadi kalau masyarakat membolehkan mengambil manfaat dari gadaian atau sewaan tanah maka itu karena hukum nenek moyang kita membolehkan.

 

*) Penulis adalah Dosen di UIN Sultan Maulana Hasanudin Banten dan Pascasarjana Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA) Jakarta