Jalur keilmuan santri Nusantara pada abad ke XVII-XX, sebagaian besar merujuk langsung pada tradisi pendidikan Timur Tengah. Ulama-ulama Mesir, Makkah, Madinah, Yaman, dan Sudan menjadi rujukan penting bagi santri yang ingin tafaqquh fi-addin secara mendalam. Ulama-ulama Nusantara, pada abad XVII-XVIII, semisal Syaich Nawawi al-Bantani, Syaich Shamad al-Palimbani, Syaich Yusuf al-Makassari dan Syaich Ahmad Mutamakkin memiliki jejaring keilmuan dengan Timur Tengah.
Akan tetapi, pada akhir abad XX, ada pergeseran peta jejaring keilmuan santri. Pada paruh kedua abad XX, beberapa santri yang menjadi dosen di perguruan tinggi agama, mendapat pengalaman langsung belajar di Barat, lewat program pendidikan dosen di Montreal, Kanada. Hal ini menjadi penanda tentang bergesernya peta keilmuan santri di Indonesia. Hingga saat ini, gelombang santri yang belajar di negeri-negeri Barat semakin besar, meski masih tetap ada yang menjadikan Timur Tengah sebagai referensi keilmuan.
Kisah hidup santri yang belajar di Barat inilah, terekam secara naratif dalam buku “Berguru ke Kiai Bule: Serba-Serbi Kehidupan Santri di Barat”yang dianggit oleh 14 penulis. Buku ini, merangkum kisah kehidupan santri ketika mengaji di Amerika, Kanada, Australia, Prancis, Belanda dan Jerman. Dari 13 esai yang terhampar di buku ini, seolah menyajikan kisah inspratif tentang dinamika keilmuan, kehidupan sosial dan perjuangan para santri untuk belajar di negeri-negeri Barat. Mereka menemukan Islam ketika bergumul dengan orang-orang lintas etnis dan agama di daratan Eropa, Amerika dan Australia.
Ketika Santri Mengaji
Kisah Fachrizal Halim menjadi inspirasi ketika membedah kesalahpahaman tentang citra Amerika, dari sudut pandang mayoritas orang Indonesia. Menurut Halim, banyak terjadi kesalahpahaman karena tidak mengerti secara detail tentang kehidupan penganut Islam di Amerika. Padahal, kebebasan agama menjadikan kaum muslim di Amerika mendapatkan kesempatan untuk mengekspresikan ritual keagamaan dengan bebas. Halim menuturkan, selama ini kita sering melihat Amerika dengan kacamata yang tidak bersih dari prasangka dan ketakutan terhadap ancaman sekularisme. Interaksi multietnik dan multikultur merupakan pengalaman berharga dalam relasi kegamaan warga muslim di Amerika, hal inilah yang menjadi pelajaran penting dari kisah Fachrizal Halim (hal. 262).
Kisah Ismail Fajrie Alatas sangat menarik. Pemuda dan akademisi—yang biasa dipanggil Ajie—yang lahir dari tradisi keluarga habaib Pekalongan ini mendapat tambahan banyak ilmu keislaman dari profesor-profesornya di Amerika. Di kampusnya, University of Michigan, ia dibuat takjub dengan penguasaan ilmu keislaman sejumlah professor seperti Michael Bonner, Alexander Knysh, dan Sherman Jackson. Bonner merupakan ahli sejarah Islam yang sangat mahir berbahasa Arab dan menguasai kitab-kitab klasik. Sementara, Knysh menjadi ahli tasawuf dan pemikiran Ibn ‘Arabi. Sementara, Jackson adalah ahli fiqh dan ushul fiqh.
Lewat penuturan Aji yang mengisahkan kesan pribadinya atas pembelajaran Barat, setiap semester Professor Bonner mengadakan kelas informal bagi para mahasiswa untuk membaca dan mengkaji kitab-kitab Islam klasik persis seperti dalam tradisi pesantren NU. Misalnya, dalam forum halaqah itu, Aji dan kawan-kawannya di bawah bimbingan Professor Bonner, mengkhataman kitab al-Maghazi karya al-Waqidi dan kitab al-Kamil fi al-Tarikh, karya Ibn ‘Athir.
Selain mengaji di kampus, Aji juga gemar mengunjungi forum pengajian para Habaib di Amerika: Habib Umar Bin Hafidh dan Umar Faruq Abdullah. Selain itu, ia juga mengunjugi forum silaturahmi keislaman yang diadakan oleh komunitas muslim di wilayah Ann Arbor sampai Chicago (hal. 77-92).
Islam di Barat
Selain ritual para habaib yang dikisahkan Ajie, Arif Maftuhin mendapatkan kenikmatan yang berlipat ketika berusaha keras untuk mempertahankan shalat di Amerika. Ia mengisahkan bagaimana kaum muslim mencari ruang untuk shalat di tengah masyarakat multikultur dan multi-keyakinan di Amerika. Maftuhin justru sangat menghargai masjid ketika belajar di negeri Barat, yang jarang terdapat masjid. Hal ini sangat berbeda ketika ia hidup di Indonesia, yang sangat mudah mendapatkan masjid. Bagi Maftuhin, kenikmatan sebagai muslim justru didapatkan ketika mempertahankan identitas keislaman dan ritual keagamaan di tengah kota kosmopolitan. Dari titik ini, kaum muslim Amerika terbiasa shalat di perpustakaan, basement hotel, pom bensin, hingga menyewa gereja untuk shalat jumat (hal. 59-70).
Ahmad Nuril Huda, salah seorang mahasiswa doktoral di Leiden University, mengisahkan tentang kehidupan muslim di Amsterdam, Belanda. Ia mengisahkan tentang dinamika kehidupan muslim dan ritual keagamaan di masjid al-Ikhlas, yang didominasi oleh muslim dari Indonesia (hal. 133-146). Sedangkan, Al-Makin mengisahkan tentang perjalanan dirinya untuk belajar Islam di Montreal Kanada, dan Heidelberg Jerman (hal. 39-57).
Lain lagi dengan kehidupan muslim Amerika, Mohammad Syaltout memperbandingkan tentang situasi keislaman dan kehidupan sosial orang Surabaya dan Paris. Dari tradisi keagamaan, tren, gaya hidup, hingga perbedaan dalam melihat pasar tradisional. Syaltout melihat, jika Surabaya terdapat lokalisasi besar bernama Dolly, sedangkan di Paris negara melarang adanya lokalisasi (hal. 147-155).
Tentu, dinamika kehidupan dan perjuangan belajar para santri di Barat menjadi epik menarik dalam jejaring keilmuan muslim Indonesia. Kisah mereka, menjadi spektrum yang memperluas jejaring keilmuan santri, tidak hanya dengan ulama Timur Tengah, akan tetapi juga professor di Amerika, Eropa dan Australia [].
_______________________________________________
Judul Buku : Berguru ke Kiai Bule: Serba-Serbi Kehidupan Santri di Barat
Penulis : Sumanto al-Qurtuby, dkk
Penerbit : Penerbit Noura, Jakarta
Cetakan : I, 2013
Tebal : xliv+ 275 hlm