Anak-anak adalah pembelajar yang hebat, mereka akan menyerap pengetahuan dengan cepat dan baik. Namun, adakalanya mereka kesulitan mempelajari sesuatu, misalnya Al-Qur’an. Selain karena Al-Qur’an menggunakan bahasa arab, anak-anak juga tidak mengetahui artinya sehingga mereka menghadapi kesulitan.
Jika tidak diberikan pemahaman, anak-anak akan kehilangan semangat belajar Al-Qur’an. Sayangnya, masih banyak orangtua dan guru yang salah menerapkan metode pendidikan Al-Qur’an. Mereka hanya mengajarkan anak-anak membacanya, tanpa menanamkan makna dan relasinya terhadap kehidupan sehari-hari. Sehingga anak-anak tidak mengerti alasan mengapa harus bisa membaca Al-Qur’an.
Quraish Shihab, cendikiawan muslim di bidang Tafsir mengatakan, seorang muslim harus bisa membaca Al-Qur’an, karena ia perlu mengenal Allah Swt dan Allah Swt telah mengenalkan dirinya melalui Al-Qur’an. Maka ketika membaca Al-Qur’an, bayangkanlah bahwa Allah Swt sedang bercakap-cakap dengan kita. Ketika berdoa bayangkan bahwa kita sedang bercakap-cakap dengan-Nya.
Pengarang tafsir “Al-Mishbah” ini juga mengatakan, ketika seseorang memahami Al-Qur’an, maka ia akan merasakan keindahan redaksinya, tuntunannya, serta kehebatannya. Sehingga umumnya orang yang bisa menghayati Al-Qur’an tidak akan bosan membacanya.
Menanamkan pemahaman Al-Qur’an berarti mengajarkan anak untuk hidup bersama Al-Qur’an. Karena Al-Qur’an bukan hanya teks semata, kandungannya berisi manfaat dan petunjuk yang mampu membawa manusia kepada ketenangan batin.
Oleh karena itu, pendidikan Al-Qur’an sebaiknya disertai dengan aplikasi relevan. Pendidik harus mampu mengaitkan konteks Al-Qur’an dengan kehidupan anak, bahkan dimulai dari hal sekecil mungkin.
Seperti contoh yang diungkapkan Najelaa Shihab, salah satu Dewan Kurikulum IslamEdu di Pusat Studi Al-Qur’an, ketika mempelajari kisah Nabi Nuh As, biasanya anak hanya diceritakan tentang kisah air bah yang menimpa kaumnya. Sehingga mereka hanya menganggap kisah itu hanya kejadian di masa lampau dan hanya sekedar dongeng pengantar tidur.
Padahal ada banyak hal yang dapat dipetik dari kisah Nabi Nuh, As. selain peristiwa banjir bandang. Beliau bersabar dan pantang menyerah berdakwah kepada kaumnya selama ratusan tahun, beliau dicaci oleh kaumnya namun tetap tegar.
Akhir-akhir ini banyak kasus bulying menimpa anak-anak. Jika mereka diberikan pemahaman bagaimana cara Nabi Nuh As menghadapi kaumnya yang membangkang, maka anak-anak juga akan mampu menghadapi bulying yang menimpanya.
Maka dari itu, anak tidak cukup hanya dengan diajarkan membaca Al-Quran. Mereka juga harus diajarkan isi dan kandungan Al-Quran.
Ketika anak-anak memahami makna dan kandungan Al-Qur’an, ia akan mencintainya dan mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari. Anak-anak bukan hanya perlu mengetahui tarjamah Al-Qur’an, tetapi juga memahami kandungannya sehingga Al-Qur’an akan benar-benar melekat pada ingatannya, kemudian mereka akan merasakan hidup bersama Al-Qur’an.
Dan yang paling penting, mereka kelak akan mampu mengamalkan isi dan kandungan Al-Quran tanpa terjebak dengan fanatisme satu pemahaman terhadap Al-Quran yang akhir-akhir ini sedang terjadi.
Penulis adalah mahasantri Darus Sunnah International Institute for Hadith Sciences, aktif sebagai redaksi di Majalah Nabawi