Waktu salat Asar dua jam yang lalu baru saja usai. Sore itu mentari merah bersiap terbenam di ufuk barat. Para pengikut Syekh Muhammad Ilyas Al Kandhlawi tengah berjalan menuju sebuah kos-kosan yang berada di kawasan perum awara karya, Kota Gorontalo
Sudah menjadi tabiat kelompok ini, selama khuruj (metode dakwah berpindah-pindah), pengikut Syekh Ilyas wajib mengikut sejumlah tahapan, termasuk mengajak warga sekitar untuk ikut terlibat dalam pengajian jamaah dan rutin melaporkan perkembangan kepada Amir (Pimpinan).
Bagi mereka, metode dakwah berpindah-pindah ini bertujuan membangun kekuatan dan mencapai iman, ibadah, usaha, relasi dan akhlak. Mendatangi warga sekitar pun mereka punya formasi; 6, 9, 12 dalam mengajak warga sekitar untuk ikut meramaikan pengajian di masjid yang mereka singgahi.
Karakteristik dakwah mereka jelas membawa efek dan memiliki pengaruh yang luar biasa dalam dimensi pemahaman, keyakinan kedalam konteks kerja dakwah demi mewujudkan tujuan amal agama yang sempurna.
Namun yang bikin saya tak habis pikir, metode dakwah yang lillahi ta’ala seperti ini justeru mencoreng keberislaman di serambi madinah, Gorontalo. Seperti yang dialami Putu Andita, pemuda Hindu di Gorontalo ini turut menyumbang “catatan hitam” cara keberislaman kita akhir-akhir ini.
Putu yang saat itu sedang berada di kamar mendengar suara orang-orang bersalam dan mengetuk pintu kamar masing-masing penghuni. Terlintas dalam benak Putu, barangkali kosan ini sedang ada razia petugas. Lalu orang-orang ini pun sampai ke pintu kamar Putu. Putu merekam dengan baik peristiwa kala itu. Sedih mendengar kisah ini, kawan.
Giliran kamar putu diketuk. Salah satu dari mereka mengetuk pintu. Putu yang masih penuh tanda tanya langsung membukakan pintu. Tak disangka ia sedang berhadapan dengan sosok berjubah dan bersorban putih dan jenggotan.
Tanpa bertanya apakah Putu seorang muslim atau bukan, salah seorang dari mereka langsung menawarkan tujuan kedatangan. Bahwa sebentar lagi akan digelar pengajian dan salat berjamaah di masjid. Ia berharap Putu bisa ikut tanpa banyak alasan.
Situasi kala itu seperti mimpi buruk bagi Putu, disaat ia menimpali ajakan pendakwah di hadapannya. Putu mengaku bukan bagian dari mereka. Putu bukan Islam, melainkan Hindu, yang tak perlu repot diajak ikut pengajian dan salat berjamaah.
Mendengar jawaban Putu, yang tak sesuai harapan itu, hukuman berdiri di sudut bangunan kosan berlaku kepada Putu.
“Maaf pak, saya non muslim,” terang Putu sedikit kesal
Seketika itu wajah pengikut sunnah Nabi Saw langsung berubah kusam.
“Anda non Muslim? Sana! Anda berdiri di sudut sana,” bentak yang mendaku dirinya pembawa risalah Allah dan Rasul di muka Bumi.
Pemuda Hindu Bali itu tentu saja dengan lantang menolak hukuman berdiri. Ia menentang lantang dan masuk kamar. Meski begitu, Putu bercerita bahwa ia sedang melihat keabsurdan dalam metode dakwah yang mereka praktikkan. Arogan!
Pengalaman sangat diskriminatif yang dialami Putu sangat membekas dalam hidupnya hingga kini. Akan tetapi, mengingat kejadian itu, ia hanya bisa tersenyum dan sesekali tertawa menceritakan kisahnya.
Kisah Putu dan Ricardo yang diurai sebelumnya nyata dan terekam jelas di Bumi serambi madinah-Gorontalo, tersembunyi rapat-rapat ditengah himpitan kelompok mayoritas, Islam.
Kisah-kisah seperti ini bisa terekam jelas, jika yang berbeda iman, utamanya mayoritas, rela terbuka, dan ikhlas menerima perbedaan. Perbedaan itu rahmat. Bukankah Islam lahir sebagai rahmat bagi seluruh alam dan seisinya? Lalu apa untungnya menyakiti Putu dan Ricardo?
Menurut KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), cara keberislaman seperti ini justeru merendahkan agama itu sendiri. Mereka dengan sengaja membuat agama sendiri mengalami kemunduran ribuan langkah. Mestinya semakin tinggi ilmu, maka semakin toleran ia.
Sebab memuliakan manusia kata Gus Dur, turut andil memuliakan penciptanya. Merendahkah dan menistakan manusia, sama halnya merendahkan dan menistakan penciptanya.
“Kemajemukan harus diterima tanpa adanya perbedaan,” kata Gus Dur.
Gus Dur pun memandang bahwa keberislaman seperti ini miskin spritualitas. Dengan demikian, menurut Gus Dur, berujung pada penindasan dan ketidakadilan. Pemerkosaan dan pemerasan atas hak asasi warga, nyata terbuka lebar.
Indonesia lanjut Gus Dur, bukanlah negara agama, tapi negara beragama. Ada 6 agama yang diakui di Indonesia, jadi agama lain harus diakui. Memusuhi orang karena beda keyakinan menurut Gus Dur, Ia sedang mempertuhankan agama, bukan Allah itu sendiri
“Untuk membuktikan bahwa kita sedang mempertuhankan Allah, maka wajib menerima semua mahluk. Karena begitulah Allah. Agama jangan jauh dari kemanusiaan,” jelas Gus Dur