Hari-hari ini berbagai kampus di Indonesia akan mulai melakukan kegiatan perkualiahan. Sebelum memasuki kegiatan perkuliahan, mahasiswa baru akan mengikuti kegiatan orientasi kampus yang di lingkungan Perguruan Tinggi Keagamaan Islam dikenal dengan Pengenalan Budaya Akademik dan Kemahasiswaan (PBAK). Tujuan utama kegiatan ini adalah mengenalkan budaya akademik dan peran mahasiswa di kampus maupun di lingkungan masyarakat.
Kegiatan PBAK ini ibarat transisi dari masa pasca lulus SMA/MA ke jenjang perguruan tinggi. Tidak heran jika kegiatan ini sangat penting dan biasanya dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk mengenalkan dan menyadarkan calon mahasiswa terhadap tugas dan tanggung jawab seorang mahasiswa. Yang tidak kalah penting adalah mengajak calon mahasiswa untuk kritis terhadap berbagai tantangan bangsa dan perguruan tinggi.
Sebagai institusi yang bergerak di wilayah akademik, salah satu tantangan bangsa yang penting diperhatikan kalangan perguruan tinggi adalah mencegah penyebaran berita bohong atau hoaks yang biasanya berujung pada tumbuhnya sikap intoleran. Lazimnya, berita bohong disebar dalam rangka mendorong kebencian terhadap suatu individu atau kelompok. Substansi berita bohong atau hoaks ini biasanya tanpa ada yang bertanggung jawab apalagi ada rujukan yang bisa diperiksa kebenarannya. Padahal, perguruan tinggi adalah tempat berpoduksinya ilmu dan pengetahuan.
Dalam konteks tersebut, mahasiswa baru wajib dibekali dan disadarkan bahwa mereka adalah tunas-tunas bangsa yang sedang dididik dan disiapkan untuk mencegah tumbuhnya budaya hoaks. Apalagi, dalam budaya akademik, tradisi memeriksa dan memvalidasi munculnya suatu berita atau informasi adalah wajib mendarah daging dalam tubuh civitas akademika. Berita atau informasi yang tidak jelas sumbernya jelas menjadi tantangan bagi kalangan perguruan tinggi karena bertentangan dengan budaya dan nilai-nilai akademik.
Tradisi memeriksa kebenaran suatu berita ini penting agar mahasiswa baru mulai terbiasa dengan nalar kritis. Sebagai contoh, beberapa minggu lalu penulis mendapat kiriman broadcast melalui whatsapp yang isinya agar mahasiswa baru berhati-hati dengan suatu jenis aliran dalam Islam. Dalam broadcast tersebut misalnya ditulis bahwa kampus perguruan tinggi Islam telah disusupi suatu paham Islam yang membahayakan dan disebut selalu melakukan propaganda tentang radikalisme dan intoleran terhadap golongan muslim.
Sebagai seorang yang memasuki wilayah akademik, kita tentu tidak boleh langsung percaya begitu saja dengan model broadcast yang memojokkan suatu kelompok apalagi tidak ada yang bertanggung jawab dengan substansi broadcast tersebut. Penulis sendiri jika membuat rilis berita tentang suatu kegiatan selalu mencantumkan nara hubung yang bisa dikonfirmasi kebenaran isi broadcast tersebut. Hal ini sebagai manifestasi pentingnya tradisi memeriksa dan memvalidasi isi suatu berita.
Belajar dari IAIN Surakarta
Di tengah kondisi yang rentan meluasnya budaya hoaks, menjadi menarik tema yang dibuat panitia PBAK IAIN Surakarta yakni Tauladan SANTUN. SANTUN disini merupakan kepanjangan dari Saleh, Akademis, Nasionalis, Toleran, Unggul dan No-Hoax. Ada tiga dimensi yang menarik untuk dikupas yakni dimensi akademis, dimensi kebangsaan dan dimensi keagamaan. Tiga dimensi ini ibarat pilar yang saling menopang antara satu dengan yang lain.
Dimensi akademis dilihat dari kata akademis dan unggul. Artinya, mahasiswa diajak untuk menjadi seseorang yang ahli di bidang atau jurusan yang hendak dipelajari. Mahasiswa tidak boleh melupakan niat awal ketika pergi belajar ke perguruan tinggi yakni menuntut ilmu. Ilmu dan pengetahuan adalah bekal yang wajib dimiliki mahasiswa sebagai bekal di masa depan.
Tetapi, pintar saja tentu tidak cukup. Dibutuhkan dimensi kebangsaan yang terlihat dari kata nasionalis. Mahasiswa harus disadarkan bahwa mereka adalah bagian dari bangsa Indonesia. Ketika berada di perguruan tinggi, maka mahasiswa adalah benih yang sedang ditanam orang tua dan guru-gurunya untuk menjadi wajah masa depan bangsa. Baik buruknya bangsa pada 15-20 tahun mendatang bisa kita lihat diantaranya melalui kondisi mahasiswa pada hari ini. Jika mereka tidak dididik untuk selalu mencintai dan bangga terhadap Indonesia, maka ibaratnya kita sedang memberi makan kepada singa yang suatu saat akan menerkam yang memberi makan. Bukan singa yang menjaga hutan, tetapi singa yang memakan hewan lain di dalam hutan tersebut.
Yang tidak boleh diabaikan adalah dimensi keagamaan yang terwakili dari kata saleh. Kesalehan disini tidak hanya bermakna kepandaian untuk beribadah semata tetapi juga peka terhadap kondisi sosial dan lingkungannya. Dengan begitu, mahasiswa yang saleh bukan yang terus menerus berdiam diri di masjid tetapi juga melayani umat dan selalu berikhtiar membangun kondisi lingkungan yang kondusif. Dengan kata lain, mahasiswa yang saleh mampu menyeimbangkan dan membagi waktu antara bertindak ibadah ritual dan ibadah sosial.
Ibarat benih, maka nilai-nilai SANTUN ini adalah pupuk yang harus terus menerus disemai dan dijaga agar pada saatnya nanti menjadi tanaman yang memberi manfaat secara luas dan nyata. Bukan menjadi tanaman imitasi karena berasal dari imajinasi belaka. Adalah kewajiban kita untuk menjaga dan merawat benih tersebut. Tentu, buahnya tidak akan kita petik saat ini tapi di masa mendatang. Salah satu cara merawatnya adalah dengan mengajak mereka menjadi bagian dari kelompok yang sadar akan dampak hoaks dan tidak ikut-ikutan menyebar berita atau informasi yang tidak jelas asal usul dan kebenarannya.
Tiga dimensi ini diharapkan menjadi pondasi dan sekaligus bekal sebagai mahasiswa. Ia diharapkan menjadi agen kesantunan yang berupaya terus menebar kesantunan di berbagai bidang dan di setiap kesempatan. Kesadaran para mahasiswa baru yang didaulat sebagai tauladan santun diharapkan bisa menular dan menjadi cikal bakal wajah bangsa di masa mendatang. Sebagai mahasiswa berciri milenial, maka mereka juga didorong menjadi tauladan santun di wilayah media sosial. Ini karena mereka adalah orang-orang yang melek teknologi dan aktif di media sosial serta dalam lingkungan tertentu menjadi rujukan di komunitasnya.
Karena itu, para mahasiswa baru harus disadarkan bahwa di tangan mereka lah wajah bangsa di masa depan. Jika mereka hari ini belajar dan terbiasa untuk mempercayai suatu berita yang belum jelas kebenarannya, maka bangsa ini di masa mendatang akan dipimpin oleh hoaks. Sebaliknya, jika mereka hari ini sadar akan bahaya hoaks, maka kita patut optimis bahwa benih itu akan tumbuh menjadi tanaman yang berguna dan menjadi peneduh semua orang. Bukan tanaman imajinatif, tetapi tanaman yang nyata manfaatnya.[]