Menemukan Saudara Muslim di Tiongkok

Menemukan Saudara Muslim di Tiongkok

Menemukan Saudara Muslim di Tiongkok

Keputusan untuk hijrah ke negara yang menganut sistem politik sosialis tentu menimbulkan banyak komentar negatif bahkan ada juga yang menyayangkan karena alasan ketakutan terhadap diskriminasi yang akan didapatkan sebagai seorang muslim. Terlebih Indonesia mempunyai sejarah buruk yang panjang kaitan dengan hubungan dengan Tiongkok sebagai negara maupun sebagai ras, apalagi Ideologi komunisnya.

Tapi sejak menginjakkan kaki di Tiongkok, sejauh ini saya tidak merasa kesulitan menjalani hidup sebagai seorang muslim. Tentu tidak akan sebebas dan semudah di Indonesia, karena fasilitas beribadah pun terbatas di ruang-ruang privat atau mesjid yang jaraknya lumayan jauh. Kesulitan melakukan ibadah lebih terasa saat dalam perjalanan, tentu akan sulit mendapatkan mesjid.

Namun saya dan suami di setiap tempat wisata selalu mencoba meminta izin kepada pihak pengelola untuk mendapat ruangan kosong untuk ibadah. Banyak di antaranya kesulitan memahami permintaan kami, tapi pada suatu waktu kami sangat bersyukur bisa bertemu dengan salah seorang pengelola tempat wisata yang sangat ramah dan terbuka untuk kami melaksanakan ibadah. Tidak hanya menyiapkan ruangan kosong yang besar dan nyaman, beliau pun sampai memberikan kita minuman. Bahkan beliau sampai minta berfoto bersama, tidak lupa berbincang-bincang santai dan ringan. Dari situ kami merasa toleransi beragama di sini terbangun cukup baik, asalkan di antara pemeluk agama saling menghargai satu sama lain.

Untuk mendapatkan makanan halal pun tidak sulit. Di setiap toko swalayan telah tersedia berbagai macam produk dgn label halal. Baik menggunakan tulisan arab (حلال) maupun bahasa mandarin 清真 (label halal dr otoritas Tiongkok). Restoran halal seperti Lanzuo Lamien pun banyak, termasuk kantin halal di dalam kampus.

Dalam foto di atas, kami berfoto bersama Malik, salah satu pengelola lanzhuo lamien di Chongqing. Dia berjualan bersama keluarganya. Salah satu yang sgt dekat kami bernama Ali. Seringkali kami ngobrol membahas kondisi muslim baik di Tiongkok maupun Indonesia. Tidak jarang Ali memberikan kami makanan secara gratis. Kami sering merasa tidak enak, karena bukan sekali dua kali Ali memberikan kami makanan gratis. Tapi setiap kami ingin membayar, dia selalu berkata “kita adalah saudara muslim.” Saya seketika terharu, bahwa dalam perantauan sejauh ini saya masih bisa merasakan kehangatan saudara, khususnya persaudaraan sesama muslim.