Laiknya kebanyakan orang, keberagamaan saya diturunkan dari orangtua. Saya beragama Islam karena kedua orangtua saya beragama Islam. Bahkan saya tidak tahu kapan tepatnya saya sadar saya menganut agama Islam. Yang saya ingat ketika sekolah, saya mengikuti pelajaran Agama Islam, saya solat karena perintah orangtua dan meniru gerakan-gerakan solat dari mereka. Ketika beranjak dewasa, agama saya dikekalkan dalam selembar Kartu Tanda Penduduk.
Namun, seiring waktu benak saya bertanya-tanya, apa itu Islam? Kenapa saya harus menganut agama Islam? Kenapa saya harus menganut agama apapun? Bagaimana mungkin saya melakukan sesuatu yang tidak saya pahami seolah saya tidak lebih dari sekadar robot yang telah diprogram sejak awal untuk solat, mengaji, dan berpuasa? Apa artinya solat, mengaji, dan berpuasa? Apa pentingnya bagi saya? Kalau saya tidak melakukannya apakah saya jadi tidak beragama Islam lagi? Memangnya kenapa kalau saya tidak beragama Islam? Memangnya apa yang akan terjadi kalau saya tidak beragama sama sekali?
Sederet pertanyaan tersebut di atas muncul ketika saya beranjak dewasa. Saya merasa penting menemukan jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan tersebut, karena jika tidak apa gunanya saya melakukan praktik-praktik yang tidak saya pahami maksud maupun manfaatnya bagi saya. Saya bukan dan enggan jadi seekor kerbau dicucuk hidung, melakukan saja apa yang disuruh tanpa mempertanyakan alasan dan tujuannya.
Tetapi saya menghadapi kesulitan yang cukup berarti saat hendak mempelajari Islam secara sadar. Secara terbuka saya harus mengakui yang satu ini: saya punya sangkaan buruk terhadap para ulama secara umum. Memang akan terdengar aneh, tapi saya merasa tidak dapat memperoleh informasi dan pandangan yang objektif tentang Islam justru dari orang-orang Islam sendiri.
Sangkaan yang sangat prematur ini membuat saya enggan belajar langsung ke ulama tentang agama Islam, termasuk menghadiri acara-acara kajian Islam yang ada. Sangkaan itu terbentuk bukan tanpa sebab.
Waktu kuliah, beberapa kali saya mencoba bertanya ke senior hal-hal tentang Islam. Namun, pertanyaan saya tak pernah dijawab. Suatu hari sewaktu Kuliah Kerja Nyata, saya bertanya ke seorang pembina unit kami, “Ahmadiyah itu sebenarnya bagaimana, Mas? Kenapa mereka diperlakukan seperti itu?” Alih-alih menjelaskan kepada saya yang awam ini, yang bersangkutan dengan cepat menepis pertanyaan saya, “Ah itu sudah beda akidah, sudah lain soalnya.”
Saya tak berselera lagi untuk bertanya setelah itu. Padahal saya amat ingin berdiskusi. Tidak hanya sekali hal serupa barusan terjadi. Akhirnya saya mengambil kesimpulan yang juga merupakan sebuah pertanyaan lain, “Kenapa saya tidak boleh bertanya? Kenapa saya tidak boleh kritis? Kenapa saya harus melakukan saja agama saya tanpa boleh mempertanyakannya? Apa beginikah memang yang disebut Islam itu?”
Lantas bagaimana cara saya mempelajari Islam? Saya membangun jalan pembelajaran sendiri. Saya melakukan apa yang selama ini saya lakukan setiap kali ingin belajar sesuatu: membaca buku.
Mengingat saya punya prasangka buruk seperti yang sudah saya gambarkan tadi, saya tak dapat membaca buku-buku soal Islam yang ditulis oleh orang Islam, siapapun dia. Maka saya membaca buku-buku yang secara langsung maupun tidak membahas Islam dari penulis-penulis yang tidak beragama Islam.
Mula-mula saya membaca Sejarah Islam, Sejarah Tuhan, dan Fields of Blood Karen Armstrong, lalu The God Delusion, Richard Dawkins serta God, Reza Aslan. Buku-buku itu tak membahas Islam secara khusus, tapi saya jadi mendapat gambaran umum yang cukup mengenai apa itu agama dan mengapa agama penting bagi manusia.
Namun, buku-buku tersebut tidak menjawab pertanyaan-pertanyaan spesifik saya mengenai Islam. Saya berkesimpulan, mau tidak mau saya harus membaca buku-buku kajian Islam yang ditulis oleh orang-orang Islam itu sendiri. Bagaimana dengan tembok prasangka yang saya miliki? Setelah berpikir cukup lama, saya akhirnya tahu bahwa saya harus mencoba kritis terhadap prasangka saya sendiri.
Selama ini saya berpikir bahwa Islam begini dan begitu, tetapi seluruh prasangka saya terhadap Islam, selain karena apa yang saya alami sendiri, ternyata sebagian besar terbentuk dari apa yang orang-orang lain katakan tentang Islam.
Saya belum pernah mempelajari Islam itu sendiri. Bagaimana sejarah, perkembangan, aliran, semangat, sosok-sosok, politik, hukum, dan prinsip-prinsipnya? Sebagian besar dari keseluruhan prasangka buruk saya pada Islam tak lebih seperti dugaan saya bahwa cabai itu pedas hanya karena orang-orang bilang begitu, misalnya, di saat saya sendiri belum pernah mengunyah cabai.
Maka saya mulai membaca teks-teks kajian mengenai Islam. Buku pertama yang saya baca adalah Islam: Sejarah Pemikiran dan Peradaban Fazlur Rahman. Sesungguhnya saya mengambil acak saja dari sederet rekomendasi yang diberikan teman-teman di Twitter dan Instagram. Mereka sangat baik. Saya mencatat hampir semua judul buku yang direkomendasikan kepada saya dan mencoba mengumpulkannya.
Buku pertama yang saya baca, karya Fazlur Rahman, ternyata adalah permulaan yang baik. Buku tersebut berisi rangkuman yang komperehensif dan sudut pandang objektif mengenai apa dan bagaimana itu Islam. Sebagai bagian dari umat yang sangat awam terhadap agamanya sendiri, saya tidak mengenal cukup banyak istilah yang disebut Fazlur Rahman dalam buku tersebut, tetapi itu hanya tanda saya harus melanjutkan proses membaca saya. Tak mungkin memahami agama berusia 14 abad hanya dengan membaca satu buku rangkuman mengenainya.
Hal terpenting yang saya alami setelah membaca buku Fazlur Rahman adalah sesuatu yang tidak saya duga: saya jadi percaya diri menganut agama Islam. Sebelumnya saya terhitung jarang memperlihatkan ke publik bahwa saya beragama Islam. Saya tidak pernah membahas tentang Islam di kanal-kanal media sosial saya meskipun saya amat ingin. Setelah mulai membaca buku mengenai Islam, saya sedikitnya paham apa yang membuat Islam menjadi, seperti kata Fazlur Rahman di bukunya, “…agama yang paling sering disalahpahami.” (kalimat ini pula yang membuat saya seketika tertarik pada tulisan Fazlur Rahman)
Saya tidak bermaksud membahas secara rinci mengenai buku tersebut. Hal yang ingin saya sampaikan di tulisan ini adalah bahwa menurut saya segala hal perlu dikritisi. Termasuk agama serta prasangka-prasangka kita terhadapnya.
Dalam sebuah quote yang sangat terkenal, John Lennon berkata, “Don’t hate what you don’t understand.” Jangan membenci apa yang tidak kamu pahami. Terus terang selama ini saya memiliki prasangka buruk terhadap agama saya sendiri lebih karena saya tidak memahaminya. Saya orang Islam yang pernah berprasangka buruk pada Islam karena saya tidak betul-betul mengenal Islam.
Tak kenal maka tak sayang, kata orang bijak. Saya ingin mengenal Islam, dan setelah proses pendekatan yang tentu saja masih di tahap mula-mula, harus saya akui bahwa saya mulai menyayanginya. []