Hijra, berasal dari istilah Arab yang secara harfiah berarti “meninggalkan”, “memutuskan hubungan dengan seseorang” (seperti ikatan kekerabatan atau hubungan pribadi lainnya), atau “bermigrasi”. Pengertian ini merujuk pada Migrasi Nabi Muhammad dari Mekah ke Madinah pada 622 Masehi (Mas’ud, 1990:30). Kalender Islam dinamai ‘Hijriyah’ karena titik nol kalender tersebut dimulai pada peristiwa Hijrah Nabi. Dalam catatan Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buthy, secara historis, hijrah pertama dalam sejarah Islam adalah perpindahan kaum muslimin dari Makkah ke negeri Habasyah. Disana kaum musliminin mendapatkan perlindungan dari raja Najasyi yang beragama Kristen. Tujuannya untuk membebaskan diri dari penyiksaan dan diskriminasi di Makkah oleh penduduk mayoritas Makkah (suku Quraish).
Hijrah kedua yaitu perginya kelompok Muslim awal ke Thaif, pada fase ini Hijrah dianggap gagal karena mendapatkan penolakan dari penduduk Thaif. Hijrah ketiga ke Yatsrib (Madinah), Hijrah keempat yakni ketika Nabi Muhammad menyusul ke Madinah dalam rangka Hijrah ketiga tersebut (Al-Buthy, 1999:108-169). Jika Hijrah difahami sebagai perpindahan lokasi geografis, maka hanya tiga kali terjadi Hijrah pada masa hidup Rasulullah. Dalam pengertian ini Hijrah hanyalah perpindahan individu atau sekelompok orang dari kota Makkah ke Habasyah, Thaif, dan Madinah.
Muhammad Khalid Masud, membagi Hijrah menjadi empat fase perkembangan. Pertama, Hijrah adalah peristiwa sejarah yang dibahas dalam hadits, tafsir, fiqih, fatwa dan karya Sufi. Kedua, Hijrah adalah perdebatan dikalangan ulama seperti Safi’i, Maliki dan Hanafi mengenai kedudukan seorang Muslim ketika berada di sebuah wilayah tertentu. Perdebatan ini terkait kedudukan seorang Muslim di wilayah kekuasaan muslim (‘dar al-Islam), dan ketika di wilayah kekuasaan non-muslim (‘dar al-harb’). Muncul juga pemahaman alternatif seperti tanah kedamaian (Dar al-hudna), artinya seorang Muslim tetap sah secara agama untuk tinggal di wilayah non-muslim selama wilayah tersebut adalah tanah kedamaian.
Ketiga, hijrah diartikan sebagai pandangan ahli hukum Islam untuk kembali ke teks utama Al-Qur’an—yang sebenarnya problematik karena dipengaruhi kondisi sosial-ekonomi–terutama untuk menafsirkan kehendak politik saat itu. Pada titik ekstrim, pandangan ini diambil alih dan–tercatat dalam sejarah—dimulai oleh kaum Khawarij yang sebetulnya adalah bentuk pembangkangan politik. Keempat, Hijrah merupakan interpretasi doktrin hijrah yang mengacu pada Istilah yang disebut Mas’ud ‘semantik harapan’. Bentuknya adalah seruan pendirian Dar Al-Islam (darul Islam atau Negara Islam), yang uniknya, justru tidak diserukan oleh Ulama tradisional. Seruan ini justru dibuat oleh tipe baru Intelektual Muslim yang terdidik dengan pendidikan formal, lulusan sekolah dan universitas gaya Barat dan terpelihara secara intelektual dalam literatur Barat.
Kemudian ciri lain dari komponen keempat ini yaitu menyampingkan kompleksitas tradisi keilmuan yang masih dijalankan para ulama tradisional—demi melepaskan diri dari kerumitan tersebut—mereka segera mengambil pandangan langsung dari Al-Qur’an dan Hadits. Mas’ud disini menunjukan bahwa interpretasi mereka tersebut ‘seringkali parsial dan sementara.’ Sehingga para intelektual Muslim baru tersebut selalu mencari solusi dramatis dan seringkali ekstrim (mas’ud, 1990:29-46). Semantik harapan ini berkaitan erat dengan berkembangnya politik Utopia dikalangan ‘hijrah’. Hal ini dapat menunjukan mengapa gerakan hijrah justru tumbuh subur di tengah-tengah kelas menengah kosmopolitan.
Hijrah di Indonesia
Pada tahun 1948 Kata hijrah dalam sejarah perpolitikan di Indonesia pernah diserukan oleh Jendral Sudirman ketika memobilisasi 30.000 orang (Tim, 2019:17) yang terdiri dari rakyat dan tentara Indonesia untuk ‘berpindah lokasi’ dari Jawa Barat ke Yogyakarta yang saat itu wilayah RI (A.M, 2008:159-60; Prihantoro, 1982:2; Djamaludin, 1998:25). Istilah ini dikenal juga sebagai Long March Siliwangi (Anwar, 2009: 57). Secara khusus, perintah Hijrah ini merupakan akibat dari hasil perjanjian Renville (Indonesia-Belanda) selama masa mempertahankan kemerdekaan Indonesia (1945-1949). Namun Hijrah tersebut masih dalam pengertian awal sebagai ‘migrasi individu atau sekelompok orang untuk berpindah lokasi’.
Pada tahun 1960an kata hijrah dipakai oleh Jamaah Takfiri wal Hijrah (JTH) yang didirikan oleh Shukri Mustafa seorang sarjana Ilmu Pertanian. Menurut John L Esposito, penyebab munculnya JTH merupakan kondisi setelah Perang Arab-Israel 1967. Pada bulan Juli 1977 Kelompok ini menculik dan membunuh ulama Universitas Al-Azhar sekaligus Menteri agama Mesir, Husayn Al-Dhahabi karena mengkritik JTH (Esposito, 1999:142-5). Ketua PBNU Said Aqil Siroj mengkonfirmasi peristiwa tersebut dalam Simposium Islam Nusantara bulan februari 2020 dan menyatakan bahwa JTH adalah organisasi yang mengkafirkan umat Islam selain kelompoknya. Kedudukan JTH pada awalnya tidak mendapatkan perhatian Muslim Indonesia. Martin van Bruinessen dan Azyumardi Azra hanya menganggap JTH sebagai kelompok sempalan (Splinter Group) di Indonesia. Yon Machmudi mengkritik hal tersebut, dengan menyatakan bahwa JTH bersama Jemaah Tarbiyah dan Hizbut Tahrir sesungguhnya adalah gerakan baru dengan ciri-ciri:
“The member of the Group behave in ways (such as in their mode of dress and their restriced socialising) which set the apart from many other observant Indonesian muslim group. They display their spiritual symbol by self-consciously following The Prophet’s example’s, such as keeping beards, wearing arabs style clothing and the like (Machmudi, 2008:6).”
Ciri-ciri yang disampaikan tersebut sangat mirip dan identik dengan apa yang menjadi simbol para artis hijrah. Meskipun tidak disebut ‘Hijrah’, Haidar Bagir dalam sebuah wawancara menganggap bahwa fenomena Hijrah–yang menurut Google trends berpuncak pada tahun 2019–adalah sebuah kelahiran kembali (reborn) gerakan yang pernah muncul pada era 1980an. Ia bersaksi perkembangan ini sudah dimulai sejak gerakan perempuan muslim yang mulai berjilbab di Mesjid Salman kampus Institute Teknik Bandung (ITB) selama ia berkuliah disana sejak pertengahan 1970an. Haidar Bagir menambahkan, gerakan ini mulai menembus kalangan selebritas pada era 1980an (Mizan.com, 29/1/2019). Terbukti majalah Panji Masyarakat (20/1/1989) pernah melakukan wawancara terhadap artis senior Neno Warisman yang memilih berhijab (baca: Hijrah) pada tahun 1989 (Tirto.id, 2018).
Tidak hanya selebritas, pemakaian jilbab era 1980an meluas dari mahasiswa ke pelajar sekolah. Demam pelajar menggunakan jilbab sempat ditentang oleh pemerintah Orde Baru (1967-1998). Hal ini ditandai dengan turunnya Surat Keputusan 052/C/Kep/D.82 tentang Seragam Sekolah Nasional yang berujung pada pelarangan Jilbab di sekolah negeri seluruh Indonesia. Ariel Heryanto justru menekankan bahwa praktik pemakaian jilbab tahun 1980an merupakan ungkapan pemberontakan pada puncak pemerintahan Orde Baru (Heryanto, 2016:72).
Sementara itu Haidar Bagir menggaris bawahi perbedaan Antara ‘Hijrah tahun 1980an’ dengan hijrah yang muncul dikalangan artis sejak tahun 2000an. Ia menyebut hijrah yang berpuncak pada tahun 2019 tersebut sebagai ‘tampak mengkristal’. Istilah ini mengacu pada pengentalan identitas yang menjadi fenomena global. Berkaitan dengan pengentalan politik identitas Islam, Vedy Hadiz menyebutnya sebagai ‘Islam Populisme’ Baru (Hadiz, 2016 :3; Hurriyah, 2018: 90).
Berbeda dengan Bagir, Muhamad Ibtissam Han dalam studi Etnografinya menganggap wacana hijrah semakin pesat setelah gerakan Islamis yang ditandai lahirnya Ikatan Cendikiwian Muslim Indonesia (ICMI), bertemu dengan penggiat subkultur (Punk, Geng motor, Underground, Street culture dan budaya Distro) pada tahun 1990an (Han, 2018:115). Penetrasi budaya subkultur sebagai ekspresi kalangan muda bertemu dengan politik identitas Islam di Indonesia yang lebih kental dengan wujud atribut material seperti baju, topi, gambar tempel, poster, bendera dan lainnya. Pengentalan identitas diantara kelas menengah muslim dan upaya para artis hijrah untuk ‘membedakan dirinya’ dengan penganut agama Islam yang tidak hijrah menemukan puncaknya pada fenomena penggunaan kalimat tauhid.
Seperti sudah disinggung oleh Masud, bahwa fase keempat hijrah seringkali ‘mengambil pandangan langsung dari Al-Qur’an.’ Prilaku ini mirip dengan Kesalahan Ust Evi Effendi ketika membahas suatu tema mengenai ajaran Islam namun melakukan kesalahan yang sangat mendasar. Ia membela diri dengan mengatakan bahwa ‘Ia belajar Islam secara Otodidak dan langsung kepada Rasullulah.
‘Pandangan langsung’ ini ditafsirkan juga dalam penggunaan Kalimat Tauhid di segala tempat. Kalimat tauhid La Ilaha Ilalah bermakna tiada tuhan selain Allah dan juga sebagai aqidah dasar muslimin pada umumnya. Kalimat ini dipakai sebagai tanda unjuk kesalehan dalam komunikasi publik seperti trend pemasangan kalimat tauhid di bagian belakang mobil. Kalimat tauhid juga menjadi simbol bendera kelompok Islam tertentu (HTI) yang belum tentu merepresentasikan keseluruhan pandangan kelompok Islam yang sudah sangat majemuk (termasuk di Indonesia).
Persoalan kalimat Tauhid juga sempat menjadi polemik ketika peringatan hari Santri (Minggu, 21/10/2018) Banser (Barisan Serba Guna) organisasi underbouw Nahdlatul Ulama (NU)–organisasi Islam terbesar di dunia–membakar bendera Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Google trend mencatat bahwa pencarian tertinggi kata kunci ‘tauhid’ tertinggi sepanjang 5 tahun terakhir antara rentang tanggal 21 sampai 27 Oktober 2018 persis beberapa jam setelah peristiwa pembakaran bendera tersebut. Universalitas kalimat Tauhid bagi kaum muslimin yang menjadi simbol bendera HTI segera mengasosiasikan tindakan pembakaran bendera tersebut sebagai pembakaran (bendera) kalimat tauhid. Mudah diduga, para artis yang memberikan pernyataan keras pada peristiwa ini adalah para artis hijrah seperti Tengku Wisnu, Arie Untung dan Tommy Kurniawan (Okezone.com, 23/10/2018).
Persoalannya, sebagai sebuah gerakan politik identitas, kalimat tauhid di Indonesia sebagai atribut identitas sebenarnya sudah diakui secara struktural maupun sosial didalam masyarakat. Kalimat tersebut berada di tembok kantor-kantor pemerintahan, stiker kaca belakang mobil, topi, baju, foto profil sosial media, dan semua ruang yang bisa dipakai sebagai tempat ekspresi keimanan dalam kesalehan publik (Public Piety).