Istriku bertanya: “Mas, boleh aku tidak berjilbab?”
Aku jawab: “Boleh saja, kenapa tidak?”.
Penggalan percakapan itu muncul beberapa waktu yang lalu, saat gejala penyematan kata-kata berbau islam mulai ramai. Penyematan banyak menempel di berbagai hal, dari mulai produk perusahaan hingga perilaku. Sebuah produk jilbab seketika menjadi jilbab syar’i atau kerudung syar’i. Atau Bank konvensional menjadi Bank Syariah, meski pada dasarnya mekanisme didalamnya tetap sama, namun berhasil mengubah persepsi orang lain.
Fenomena jilbab kurung (istilah saya) ini, perlahan sedikit banyak juga mulai mempengaruhi gaya kaum Islam tradisionalis hingga menusuk ke dalam jantung pertahannya yakni pesantren tradisional.
Kemasan serta pemasaran yang dilakukan sejauh ini memang menarik. Sehingga pemakaian jilbab seluruh tubuh ini pelan-pelan menjadi sebuah “kewajiban” di alam bawah sadar kebanyakan orang.
Perlahan, muslimah kebanyakan mulai menyindir atau menegur teman (muslimah) lainnya bila tidak menggunakan jilbab terutama jilbab syar’i (menggunakan istilah mereka).
Muslimah tidak berjilbab menjadi ter-kotak-kan karena berbeda dengan kebanyakan, sedihnya, perlakuan ini biasanya disertai sindiran atau nyinyiran yang tidak mengenakkan, bahkan terkandung kebencian.
Buat saya, ini sebuah kekalahan bagi Islam tradisional. Bukan karena terlibasnya budaya kerudung tempel ala Mbak Yenni Wahid menjadi jilbab kurung model Neno Warisman, namun lebih pada kegagalan menyampaikan bahwa penggunaan jilbab tertutup rapat (mengurung tubuh) itu bukanlah sesuatu yang wajib, karena yang wajib adalah menjaga aurat.
Di mana menjaga aurat menjadi pengertian atau kepercayaan masing-masing muslimah dalam meyakini ajaran yang diterimanya atau biasa disebut ada dalam wilayah khilafiyah sehingga tidak perlu dibesar-besarkan. Agree to disagree bahasa jawanya.
Sayangnya, berkembang di masyarakat bahwa menutup aurat yang benar adalah yang memakai jilbab kurung seperti itu. Sehingga muslimah yang tidak menggunakan jilbab atau kerudung kurung ini didesak untuk keluar barisan bahkan dianggap bukan muslimah.
“Jadi sampeyan tidak marah kalau istri dan anak perempuanmu tidak pakai jilbab?” tanya temanku.
Ya tidak.