“Are you a moslem?” tanya seorang chief di restoran tempat saya menginap, ketika saya meminta telor ceplok sebagai menu sarapan. Saat itu saya mengenakan sarung dan kemeja lengan panjang yang masih saya kenakan sejak menunaikan salat subuh. Sontak saya langsung mengangguk dan bertanya balik, bagaimana dia bisa menebak demikian? Ternyata sarung inilah yang membuatnya yakin bahwa saya seorang muslim. Kami terlibat dalam percakapan singkat mengenai sarung yang konon banyak ditemukan di Mombasa city. “Ya, di sana banyak orang muslim,” jelas chief tersebut.
Ketika saya melihat jadwal penerbangan kembali ke Indonesia, ternyata saya akan diberangkatkan melalui Mombasa city menuju Nairobi, ibu kota Kenya. Wah, kebetulan! Batinku. Sekilas saya mencari informasi mengenai Mombasa city yang disebut sebagai kota terbesar kedua di Kenya setelah Nairobi. Jumlah penduduknya mencapai 1,4 juta jiwa. Di beberapa keterangan yang saya peroleh, mayoritas masyarakat Mombasa memeluk Islam.
Mombasa merupakan kota pelabuhan internasional terbesar di Afrika Timur, bahkan di benua Afrika. Kota ini dikelilingi oleh laut dan selat. Untuk mencapai pusat kota Mombasa, dari Kwale saya menggunakan mobil dan harus menyebrang menggunakan kapal feri selama kurang lebih sepuluh menit. Dan memang ketika mobil menyusuri jalanan kota Mombasa, ada banyak penduduk perempuannya yang berjilbab dan bercadar. Sementara laki-laki banyak yang mengenakan baju kurung atau jubah sebagaimana biasa digunakan oleh penduduk Timur Tengah.
Kota Mombasa cukup eksotis dengan keberadaan banyak pohon baobab dan burung gagak yang bebas terbang ke sana ke mari. Saya tidak bisa membayangkan begitu akrabnya gagak dan manusia apabila ada di Indonesia. Di Mombasa, dan di wilayah Kenya yang pernah aku kunjungi, burung gagak ibarat burung gereja yang liar tetapi ‘jinak’.
Salah satu lokasi pertama yang saya kunjungi di Mombasa city adalah Fort Jesus. Oh, ya. Mombasa sendiri terbagi menjadi dua bagian, kota lama dan pusat kota saat ini. Fort Jesus terletak di kota lama yang berbatasan langsung dengan laut Hindia. Bangunan ini merupakan bangunan tua bekas benteng Inggris ketika mulai menjajah wilayah negara Kenya. Lokasinya tepat berada di samping pemukiman muslim yang masih bisa dilihat hingga hari ini.
Dalam melakukan tur ini, saya dan teman-teman ditemani oleh seorang pemandu bernama Mohammed. Ia bercerita, benteng ini digunakan untuk melindungi tentara Inggris dari perlawanan penduduk muslim di sekitarnya. Seiring berjalannya waktu, ketika perdamaian antara penduduk setempat dengan kolonial Inggris tercapai, benteng tersebut digunakan untuk ‘transit’ para budak yang akan diperjual-belikan di pasar budak. Mohammed menjelaskan pula bahwa sebagian besar penduduk di kawasan ini berasal dari India dan Arab.
Ia mengajak kami untuk memasuki kawasan perkampungan muslim tersebut. Di tepi lautan yang indah, saya melihat segerombolan orang berpeci sedang bercengkrama satu sama lain di sebuah warung kopi sederhana.
“Assalamu’alaikum,” ucap kami. Mereka langsung menjawab salam tersebut sembari memberi ruang agar kami bisa duduk bersama. Salah seorang di antara mereka bertanya kami dari mana. Ketika menyebut kata Indonesia, beberapa di antaranya langsung mengucapkan ‘ahlan wa sahlan’. Sebagian di antara mereka paham bahwa Indonesia memiliki populasi ratusan juta jiwa dan sebagian besar penduduknya memeluk agama Islam. Uniknya, beberapa orang menyebut nama-nama kota yang ada di Indonesia, mulai Jakarta hingga Surabaya.
Selesai ngopi, kami bergegas menuju perkampungan tersebut lebih ke dalam. Di sebuah sudut jalan, terdapat sebuah spanduk bertuliskan peringatan maulid Nabi Muhammad SAW. Terlihat pula puluhan gadis berpakaian serba hitam berdiri di depan sebuah bangunan. Ketika kami melewati, kami saling mengucapkan salam.
Sambil terus berjalan, sesekali Mohammed menjelaskan bagian-bagian penting dari sejarah kampung Islam tersebut. “Di sini tidak ada sekolah formal, tetapi adanya madrasah,” jelas Mohammed. Madrasah yang dimaksud tidak jauh berbeda dengan model madrasah di Indonesia yang kurikulumnya full mengenai kajian keagamaan. “Bahasa Arab menjadi bahasa yang cukup penting di sini,” sambungnya. Mohammed kemudian menunjukkan beberapa titik yang identik dengan Islam, mulai rumah ibadah hingga madrasah yang dimaksud.
Di depan sebuah toko kesenian, kami berjumpa dengan beberapa anak kecil yang sedang bermain di dalam tuktuk (bajai). Kami langsung mengucap salam yang langsung dijawab dengan riang oleh anak-anak tersebut. “Apakah kalian menghafal Alquran?” tanya kami. Mereka kompak menjawab iya. Ada yang menjawab sudah menghafal juz 30. Ada yang baru dua juz. Yang terbanyak sudah hafal enam juz. Salah seorang bocah kemudian melafalkan surat Annaba’, yang langsung diikuti bocah lainnya dengan fasih. Sesaat sebelum berpisah, kami memberi semangat kepada para bocah ini untuk tekun dalam belajar dan menghafal.
Kalimat ‘assalamualaikum’ menjadi salah satu ‘password’ yang bisa digunakan untuk mengakrabkan diri dengan penduduk setempat yang kebanyakan muslim. Hal ini saya buktikan berkali-kali. Ketika tengah membeli minuman kemasan, pada awalnya penjual tampak biasa saja. Namun setelah mengucapkan salam dan menjelaskan kami dari Indonesia, dia langsung menunjukkan wajah yang sangat ramah. Beberapa orang yang saya temui lantas menebak-nebak hal-hal yang identik dengan Indonesia, mulai klub sepak bola hingga nama-nama presiden RI, mulai Soekarno, Soeharto hingga Joko Widodo. Wallahua’lam
Sarjoko Wahid, penulis adalah pegiat aktif di Seknas GUSDURian Indonesia.
Sumber: gusdurian.net