Pembluran foto dan diganti kartun pada perempuan yang terjadi pada poster yang sedang viral beberapa hari ini, disebut sebagai bagian dari marjinalisasi terhadap perempuan. Pelakunya dianggap telah melakukan meminggirkan kehadiran perempuan di ruang publik, termasuk dalam organisasi. Kalis Mardiasih yang mempermasalahkan poster tersebut dalam kicauannya di akun media sosial, mendapat sorotan dan dukungan dari berbagai kalangan, sebagai whistleblower dari kasus tersebut.
Antara pembluran foto dan diganti kartun bagi saya bisa dilihat sebagai dua hal yang berbeda, walau mungkin sekali dibangun dalam imaji yang sama, yaitu relasi tidak seimbang antara laki-perempuan. Pengantian menjadi karakter kartun terhadap sosok perempuan memiliki kompleksitas yang berbeda dalam budaya pop, terutama dalam kasus Indonesia.
Paranoia relasi setara gender memang menjadi persoalan cukup serius di Indonesia, terutama sejak keruntuhan Orde Baru. Islamisme dan kelas menengah muslim di Indonesia menjadi dua hal yang cukup berpengaruh dalam mewarnai persoalan gender-balance di era reformasi sekarang ini. Betapa tidak bisa dipandang remeh, kehadiran dua gelombang ini mewujudkan warna baru pada artikulasi Islam di ruang publik.
Antara kartun, Islam dan kelas menengah muslim, terutama muslimah, saling berkelindan membentuk artikulasi baru pada keberislaman. Mari kita bicarakan mulai dari kartun bermodel Anime dan Manga yang sudah ada di alam bawah sadar kebanyakan masyarakat Indonesia, serta relasi dan pengaruhnya dalam model keberagamaan di kalangan anak muda. Mengapa hal ini penting?
Komik dan kartun Islam sekarang sangat mudah ditemui dan tampil di berbagai medium, terutama media sosial. Dari emot, sticker, avatar hingga karakter kartun seperti Nussa adalah sebagian kecil yang bisa kita temui dengan mudahnya. Kasus pertukaran foto perempuan dengan karakter kartun di atas sebenarnya bisa dilihat sebagai bagian dari usaha negosiasi dari kelompok anak muda tersebut, terhadap nilai patriarkis yang kental dalam kehidupan mereka.
Tuduhan misoginis yang dialamatkan kepada mereka mungkin saja adalah perilaku yang tergesa-gesa. Betapa tidak, Ariel Heryanto menuliskan dinamika rumit dalam persoalan fenomena Asianisasi dalam selera layar, terutama di kalangan muslimah dan anak muda, dalam beberapa tahun terakhir. Berfokus pada kultur mewabahnya Gelombang Korea, Ariel berpendapat banyak tumpukan dan kaitan berbagai hal, untuk melihat fenomena tersebut lebih jelas.
Manga atau Anime (baca: Kartun Jepang) tidak masuk dalam penelitian Ariel setelah menjadikan fenomena “Gelombang Korea” sebagai objek utama kajiannya, dalam menelisik relasi antara keberislaman dan anak muda. Padahal jauh sebelum Korean-wave masuk, kartun Jepang sebenarnya sudah lama beririsan dengan kehidupan masyarakat Indonesia.
Tentu jika kita telisik sejarah kehadiran dan politik televisi dan stasiun televisi swasta adalah dua hal yang saya lihat faktor paling berpengaruh dalam perjumpaan antara seni kartun asal Jepang ini dengan masyarakat Indonesia. Di mana pemerintah turut campur tangan kehadiran televisi sebagai bagian tak terpisahkan propaganda identitas bangsa.
Dilanjutkan kehadiran televisi swasta, ragam program acara tv makin melimpah sekaligus menjadi awal masuknya program televisi bergenre kartun atau animasi, mungkin yang paling depan dalam ingatan adalah kehadiran kartun serial Doraemon. Serial yang hingga sekarang masih bertahan adalah idola anak-anak hingga sekarang.
Memang jauh sebelum kartun Jepang tersebut muncul di Indonesia, komik atau kartun telah muncul dalam media koran atau komik dengan dinamika pasang-surut di dalamnya hingga sekarang. Seno Gumira Adjidharma (SGA) sebagai sosok yang cukup serius menelisik fenomena tersebut, dengan meneroka relasi antara tawa dan politik dalam kartun yang ada di Indonesia. Di dalam penelitian Seno, turut dijelaskan bahwa relasi antara kartun dan agama bukan barang baru.
Adapun kasus kartun dan perempuan di atas sebenarnya di dalamnya adalah interaksi antara anak muda, kartun dan keislaman. Hal ini jelas berbeda dari kajian Seno Gumira sebelumnya. Di mana pembahasan Seno yang lebih banyak bicara soal relasi politik dan humor dalam kartun dalam sejarah Indonesia, yang sesekali terkait agama, dalam makna yang lebih luas.
Adapun anak muda milenial yang telah lama berinteraksi dengan manga dan anime kemudian mengaplikasikan hal tersebut pada ekspresi model keberagamaan mereka. Perubahan foto perempuan menjadi karakter kartun bisa saja dimaknai sebagai bagian dari imaji patrialkal dari kelompok pemuda tersebut.
Bisa saja keberagamaan anak muda yang terus mencari batasan dari model Islam yang mereka pelajari selama ini. Kita tidak bisa menutup mata pada fakta kelompok konservatif cukup mendominasi dalam dinamika transmisi pengetahuan Islam, terutama di sekolah umum baik negeri dan swasta. Dari sini sebenarnya, apa yang telah ditampilkan perempuan sebagai karakter kartun bisa saja menjadi bagian eksplorasi dan uji coba dari batasan norma yang diperkenalkan oleh kalangan konservatif.
Sejalan dengan eksplorasi dan uji coba dari anak muda tersebut, sebenarnya tidak berbeda jauh dari apa yang telah terjadi di Manga dalam kasus yang hampir serupa yaitu perempuan. Di mana saat Manga telah mengglobal di awal abad-21, jauh beredar dan diterima berbagai latar kultur di luar Jepang. Namun, di saat yang sama sebenarnya menjadi keresahan saat Manga malah mencoret representasi Asia dari tampilan perempuan.
Manifestasi perempuan malah dekat dengan kaukasia (baca: orang kulit putih). Kita dapat melihatnya hingga sekarang seperti kaki yang jenjang, mata bulat dan berwarna hingga model rambut keriting dan pirang.
Hal ini tentu berbeda jika kita melihat para perempuan Jepang atau Asia untuk lebih luas. Kondisi ini kemudian kita bisa hubungkan dengan apa yang disebut Asia dalam tulisan Gayatri Chakravorty Spivak, di mana diksi tersebut menjadi di mana sarat dengan sejarah dan politik budaya, bukan lagi sebagai tempat atau wilayah dan bahwa ia tidak dapat menghasilkan “identitas” homogen yang dinaturalisasi.
Di sinilah perlu dilihat dalam manga atau anime, sebagaimana kartun di belahan dunia manapun, disebutkan hal yang menghubungkannya dengan para penikmat, produsen dan penerbitnya adalah “imut”. Jika Amerika memiliki tikus (logo Disney) sebagai representasi kartun mereka, maka Jepang malah memiliki lawannya, yaitu kucing (logo TOEI Animation). Kedua binatang tersebut dianggap sebagai mewakili, menyertakan atau menyampaikan imut pada penikmatnya.
Kita tentu harus menyadari bahwa gambar hanya bernilai sejumlah kata jika dapat dipahami. Sebagai audiens yang dituju sebenarnya dituntut fasih dalam kosa kata visual dan verbal yang difungsikan sebagai media dakwah. Dengan kefasihan seperti itu, terjemah pesan dakwah jarang sekali diperlukan para audien. Oleh sebab itu, penafsiran patriarkal dalam imaji di kelompok anak muda adalah pusat problematika yang harus bisa dihadapi dengan alat yang sama yaitu kartun.
Sahabat saya pernah ingin menelisik kehadiran perempuan berjilbab dalam satu karya webtoon di salah satu aplikasi berbagi pesan. Walau akhirnya penelitian tersebut tidak dilanjutkan dengan serius, tapi kami pernah berdiskusi ini adalah model dakwah yang dikuasai oleh kelompok konservatif dan di saat yang sama disukai oleh mayoritas anak muda.
Jadi mulai sekarang kita harus bisa menggunanakan model dakwah mengganti foto perempuan dengan karakter kartun, sebagai bagian dari perjuangan memposisikan perempuan dalam kesetaraan dalam relasi gender.
Hal ini tentu akan menarik kelompok milenial yang sudah disebutkan di atas memiliki kedekatan dalam yang ditawarkan dalam kartun, yaitu imut.
Fatahallahu alaihi futuh al-arifin