Menelusuri Akun-akun Berkedok Dakwah: Isu Khilafah & Thagut yang Jalan Terus

Menelusuri Akun-akun Berkedok Dakwah: Isu Khilafah & Thagut yang Jalan Terus

Dalam penelusurannya, penulis menemukan pelbagai fakta penting di akun-akun dakwah

Menelusuri Akun-akun Berkedok Dakwah: Isu Khilafah & Thagut yang Jalan Terus

Ketika menelusuri akun-akun dakwah, ternyata ada hal-hal menarik yang ditemukan, khususnya tentang sentimen ultrakonservatisme, thagut dan khilafah yang menguat

 

“Suara lu mana kaum Pancasilais..? Tu Pancasila mau dipreteli.. apa ngak malu sama HTI yang kau DISTORSIKAN”.  Kalimat provokatif ini diambil dari sebuah meme dari salah satu akun Instagram. @keripikpedas.id nama akun yang mendaulat diri sebagai pembuat meme tersebut. Ini dibuktikan dengan nama akun tersebut tertulis di sudut meme.

Saat melihat meme tersebut, saya sebenarnya tidak terkejut. Ada dua hal yang mendasari ketidakterkejutan saya. Pertama, sikap kritis kelompok HTI atau mantan kombatan mereka terhadap seluruh isu politik praktis yang terkait pada salah satu partai, yaitu PDIP (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan). Sikap tersebut didasari atas “dendam” mereka karena keputusan pemerintahan Jokowi yang tidak memperpanjang status Badan Hukum Perkumpulan (BHP) HTI.

Kedua, ajaran mereka tentang pemerintahan yang tergolong Thagut. Idiom yang populer di kalangan Tahriri, sebutan untuk pegiat penegak khilafah, yang merujuk pada sesuatu yang keluar dari ajaran Allah. Sebagaimana dilansir oleh republika.co.id,  mengutip penjelasan dari Ibnu Jarir al-Thabari, sejarawan dan pemikir muslim asal Persia, thagut adalah segala sesuatu yang melampaui Allah sehingga dia disembah di samping Allah.

Sedangkan terminologi thaghut dalam kamus lisan al-Arab adalah sesuatu yang disembah selain Allah SWT dan setiap pemimpin kesesatan adalah thagut. Jadi, dalam asumsi kalangan tahriri, pemimpin dan sistem yang ada di Indonesia sekarang adalah thaghut. Sehingga harus segara diganti ke sistem Islam, atau yang mereka sebut dengan sistem kekhilafahan ala minhaji nubuwah (baca: khilafah model dari Rasulullah).

Dus, wajar jika siapapun yang memimpin sekarang akan mendapatkan kritik keras oleh kalangan HTI. Apalagi pemimpin sekarang, dalam hal ini Jokowi, telah dianggap sebagai sosok paling bertanggungjawab atas dicabutnya badan hukum HTI di tahun 2017 kemarin. Dendam ganda inilah yang menjadikan segala gerak-gerik politik Jokowi dan PDIP selalu mendapatkan kritik dari mereka.

***

Fenomena meme di atas hanya salah satu dari postingan dari Fans Page (FP) di Facebook bernama “Dakwah Kampus”. FP ini memiliki pengikut yang cukup besar yakni sekitar 63 ribu orang. Selain FP di Facebook, gerakan ini juga aktif di twitter. FP ini cukup aktif dengan mengeluarkan konten setiap hari. Saya akan mencoba mengulik tiga konten yang menarik dalam FP tersebut.

Adapun konten yang dibuat oleh FP tersebut beragam genre, seperti Islam politik, ajaran agama keseharian hingga “Teologi pascakematian”. Keragaman konten dalam FP ini disebabkan mereka hanya buzzer atau pendengung dari berbagai akun lain yang sepaham dengan mereka.

Dinamika konten di FP tersebut seiras dengan hasil penelitian dari SETARA Institute tentang pemahaman Islam dalam gerakan keagamaan eksklusif. Dalam kontennya, mereka tidak hanya menawarkan pemahaman Islam sebagai ‘teologi pascakematian’, tapi juga membangun semangat keislaman untuk bangkit dari ketertindasan oleh konspirasi nasional dan global serta memiliki kewaspadaan yang tinggi dalam perang pemikiran (ghazwul fikr) yang sedang berlangsung.

Menariknya jika kita telisik kasus meme di atas, sepertinya konsep konspirasi nasional yang sedang menjadi musuh Islam sedang dikaburkan dengan ancaman pada ideologi Negara. Padahal konsep ini memiliki kerancuan.

Sebab, ideologi negara dalam hal ini adalah Pancasila sebenarnya dalam pemahaman HTI adalah thaghut, sebagaimana dijelaskan di atas. Namun dalam kondisi perang pemikiran seperti sekarang ini tidak memungkinkan bagi mereka untuk menegaskan pemahaman tersebut. Tentu lebih aman bagi mereka berpihak sementara pada Pancasila, untuk mengelabui publik bahwa mereka juga berperan dalam melindungi agama dari ancaman yang lebih besar.

Narasi berikutnya yang diselipkan adalah tidak ada jalan keselamatan dan kesejahteraan serta mendatangkan keridhaan Allah SWT melainkan hanya Islam. Konsep ini ditulis apik dalam pamflet “duplikasi” dari Al-Islam, yang sekarang berubah nama menjadi Kaffah. Judul pamflet tersebut “UMAT HANYA BUTUH ISLAM!”.

Dalam edisi 26 Juni 2020, pamflet ini juga disebarluaskan lewat akun FP “Dakwah Kampus”, disebutkan bahwa “Islam mengatur urusan dunia dan akhirat. Syariah mengatur urusan thaharah (bersuci) hingga siyasah (politik) dan imarah/imamah (pemerintahan)” begitu tertulis dalam pamflet tersebut.

Bayangan bahwa ajaran Islam telah mengatur seluruh aspek dalam kehidupan masyarakat muslim, adalah narasi yang selalu diulang-ulang dalam pamflet tersebut. Sebagai tawaran normatif memang sangat memikat, apalagi narasi sebelumnya dibangun dari analogi yang saling berkelindan.

Kondisi negara yang sedang diobrak-abrik karena ancaman terhadap ideologinya. RUU HIP dibahas cukup detail dan dibuka seluruh ancamannya terhadap umat Islam dan rakyat Indonesia. Kemudian, Islam hadir sebagai solusi. Narasi ini kemudian ditutup dengan konsep yang terbaik dalam Islam adalah Khilafah.

Adapun bangunan wacananya sangat menarik dan sangat indah. “Syariah Islam juga memberikan perlindungan pada kehidupan manusia secara utuh. Syariah Islam melindungi akidah, akal, darah dan jiwa, kelahiran dan keturunan, harta, kehormatan, keamanan dan negara” begitu tertulis di pamflet tersebut.

Kemudian dilanjutkan dengan kalimat penting dalam pamplet tersebut “ Salah satu Sunnah Rasulullah saw. dan Sunnah Khulafaur Rasyidin yang utama tentu saja sistem pemerintahan Islam”.

Adapun dua kalimat penutupnya “Karena itu Kekhilafahan bukanlah isme  atau ajaran buatan manusia, melainkan ketetapan syariah” dan “Karena itu pula, menyebut Kekhilafahan dengan Khilafahisme—apalagi disamakan dengan komunisme, kapitalisme dan liberalisme—adalah pelecehan terhadap syariah Islam!”.

Mereka menutup dengan dua penegasan yang sulit dipungkiri  bisa menggiring banyak orang. Dengan mengandalkan klaim bahwa khilafah yang mereka perjuangkan adalah ajaran syariat Islam, dan siapa saja yang menolaknya telah melakukan pelecehan ajaran Islam.

Sepertinya mereka membangun asumsi bahwa tidak ada tawaran lain selain khilafah, siapa yang menolak sama dengan menolak ajaran Islam. Wacana seperti ini tentu memikat sekaligus mengancam, namun sayangnya sejarah Islam soal kekhilafahan Islam yang penuh drama, intrik politik serta pengkhianatan, mereka abaikan begitu saja.

Belum lagi jika kita bicara soal persoalan fondasi kehidupan berbangsa dan bernegara kita yang beragam, yakni Pancasila. Ia akan tergantikan karena sistem demokrasi yang melekat dalam Pancasila adalah sistem thaghut. Dinamika ini tidak mungkin disampaikan sebab akan sulit mengambil simpati masyarakat Indonesia, jika mereka mengetahui ini sebelumnya.

Oleh sebab itu, FP ini lebih banyak bicara normatif dengan sesekali mendedahkan berbagai argumen makjleb untuk menjejalkan paham tahriri di masyarakat. Di antaranya, meme lain yang diunggah kemarin (1/7) menegaskan hal tersebut. “Heran. Ada yang bangga dengan sejarah keemasan peradaban Islam, tapi ragu bahwa itu karena penerapan Islam kaffah di bawah KhiIafah” begitu yang tertera dalam meme tersebut.

Sebagaimana dijelaskan di atas, selain mendedahkan paham khilafah, pendengung tahriri dalam FP ini juga aktif berkomentar terkait dinamika politik di tanah air. Kalau konten dari pamflet Kaffah bersifat teks, maka mereka juga beberapa kali menayangkan siaran langsung diskusi-diskusi via FP tersebut. Seperti dalam konten siaran langsung yang ditayangkan pada Senin, 29 Juni 2020 kemarin.

“Hidup Mulia atau Mati Syahid, Ancaman MUI Bila RUU HIP Disahkan ?” begitu tema diskusi tersebut. menghadirkan K.H. Muhyidin Junaidi, Wakil Ketua MUI Pusat, dan K.H. Asep Syarifuddin, Jubir MPUII (Majelis Permusyawaratan Umat Islam Indonesia).

Di tengah penolakan masif terhadap RUU HIP dianggap berpotensi sebagai pintu masuk ancaman sosialisme-komunisme-atheis, yang dianggap sebagai musuh umat Islam. Bangunan argumen yang digunakan dalam diskusi ini tidak jauh berbeda, kecuali kehadiran Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai legitimasi gerakan mereka.

***

Narasi yang dikembangkan di FP ini tidak jauh berbeda dengan apa dari apa telah disampaikan oleh SETARA Institute. Ada tiga konten utama dalam pengajaran kelompok radikal di kampus-kampus, yang tidak jauh berbeda di kampus dunia maya, yakni FP Dakwah Kampus. Pertama, keselamatan masyarakat hanya dapat dicapai selama masyarakat taat menjalankan perintah Tuhan yang sudah disampaikan melalui Al Quran dan hadits.

Kedua, mendedahkan adanya ancaman terhadap Islam yang datang dari musuh-musuh Islam. Narasi ini memainkan isu ancaman untuk menarik kesadaran umat Islam bersatu melawan penindasan. Adapun cap musuh-musuh Islam disematkan kepada kombinasi dari kelompok Kristen, Zionisme, imperialisme-kapitalisme Barat, dan kalangan liberal-sekuler. Selain itu, dinamika geo-politik global, terutama wilayah yang umat Islam menjadi kelompok tertindas, seperti Palestina merupakan amsal yang direproduksi secara konstan untuk menguatkan wacana ini.

Ketiga, sekarang adalah era perang pemikiran atau idiom populer di kalangan tahriri adalah ghazwul fikr. Titik tekan dalam narasi ini adalah Islam ditaklukkan atau minimal terpengaruh oleh Barat. Isu penguasaan pemikiran dan kebudayaan oleh Barat inilah yang cukup populer di kalangan kampus.

Kombinasi dari ketiga narasi tersebut adalah terbangunnya sebuah komunitas solid yang eksklusif, bersikap hati-hati, mencurigai, memusuhi, dan menutup diri dari kalangan lain. Ini memperkuat Hasil survei Alvara Research Center sebelumnya di tahun 2017.

Mereka  mengindikasikan hal serupa bahwa di kalangan mahasiswa ada kecenderungan pemahaman dan sikap yang intoleran dan radikal. Hal ini ditunjukkan dengan beberapa indikator pertanyaan yakni mahasiswa yang setuju dengan negara Islam sebesar 23,5% dan persentase mahasiswa setuju dengan khilafah 17,8%.

Dalam catatan pengantar penelitian SETARA Institute disebutkan bahwa radikalisme tidak serta merta muncul dan berkembang dengan sendirinya. Mereka menganggap ada aktor-aktor yang menjadi dirijen dalam agenda radikalisasi secara terencana. Seiring perkembangan teknologi media, aktor-aktor dalam persebaran wacana khilafah menjadi bertambah lapisannya, yakni pendengung.

Pendengung merujuk pada pelaku penyebar informasi mempromosikan isu tertentu untuk diminati, dipilih dan dimiliki masyarakat. Mereka umumnya selalu online dan cepat memberikan tanggapan kepada warganet dan cepat mem-viralkan isu tertentu.

Kelompok ini belum banyak dilirik sebagai bagian yang mempengaruhi dinamika keislaman di dunia maya. Tentu persoalan afirmasi mahasiswa atas konsep negara Islam dan khilafah menunjukkan ada problem serius yang harus dihadapi serius. Terlebih setelah kehadiran Fans Page sebagai buzzer dari para aktor utama penyebar paham tahriri, pekerjaan rumah pegiat narasi kebangsaan dan perdamaian menjadi lebih banyak. Fatahallahu alaihi futuh al-arifin

 

*Analisis ini kerjasama Islami.co & Maarif Insitute*