Menelisik Upaya Syari’atisasi Global Saudi

Menelisik Upaya Syari’atisasi Global Saudi

Menelisik Upaya Syari’atisasi Global Saudi

Arab Saudi, negeri tempat rumah suci umat Islam berada, mempunyai peran yang cukup besar dalam perkembangan situasi dunia Islam saat ini, tepatnya dunia Islam yang penuh dengan gejolak. Peran Saudi mungkin tak sebesar peran Revolusi Iran maupun gerakan Sosialisme Arab. Akan tetapi, justru peran di balik layar Saudi seringkali memberikan dampak yang luar biasa besar.

Peran Saudi dalam Situasi Islam di Timur Tengah

Kerajaan Arab Saudi berdiri setelah terjadi jalinan kerja sama antara Raja Saudi pertama, Abdul Aziz bin Saud dengan ulama’ pelopor Wahabisme, yaitu Muhammad Ibn ‘Abl Al-Wahab, pada awal abad ke-20 (Tirto.Id, 01/03/2017). Dalam perkembangannya, kerajaan Saudi mengalami perjalanan yang penuh kontroversial. Kedekatannya  dengan Amerika Serikat pada masa perang dingin memang banyak menuai kritikan dari kaum Islamis. Namun, disatu sisi Saudi mempunyai peran besar dalam menyokong berkembangnya kelompok Islam fundamentalis.

Sebagaimana juga diceritakan oleh Deepa Kumar (2016) bahwasannya pada masa perang dingin, Saudi dijadikan sebagai pengimbang gerakan “Sosialisme Arab” Nasser oleh Amerika Serikat. Amerika tentunya mempunyai kepentingan untuk melawan rezim Nasionalis sekuler yang dipelopori oleh Gamal Abdul Nasser karena kebijakan ekonominya yang begitu protektif dari modal asing.

Bahkan persekutuan Saudi dan AS juga berbentuk pembentukan blok ekonomi perbankan Syari’ah. Pencantuman kata “syari’ah” tersebut sangatlah ganjil. Faktanya, sebenarnya perbankan syari’ah tersebut tak ada bedanya dengan perbankan kapitalis pada umumnya yang lain. Karena, dibalik nama “syari’ah” tersebut, landasan teoritis bank tersebut adalah Milton Friedman, sang ekonom Neoliberal kontemporer.

Upaya selanjutnya, Amerika Serikat (AS) untuk melawan Nasserian adalah dengan mendukung kelompok Islamis yang mempunyai potensi sebagai kekuatan untuk mengimbangi kelompok Nasserian. Dukungan Amerika terhadap Islamis adalah dukungan dan kerjasama yang ganjil, namun faktanya memang demikian yang terjadi. Kasus tersebut terjadi saat pendudukan Afganistan, kelompok Islamis mempunyai kepentingan dan kebutuhan dukungan untuk melawan hegemoni Soviet di Afganistan. Disatu sisi, AS mempunyai kepentingan untuk menghancurkan dominasi kelompok Sosialis maupun Komunis di Timur Tengah yang saat itu menghambat upaya ekspansi bisnis AS.

Apa dampak signifikan persekutuan Saudi, AS dan Islamis bagi perkembangan dunia Islam saat ini yang penuh gejolak peperangan dan Islam radikal? Dampak persekutuan tersebut terjadi setelah para kombatan dalam perang Afganistan yang disokong oleh CIA. Saat di Afganistan itulah juga kelompok Islamis benar-benar dilatih untuk penggunaan persenjataan modern, intelejen perang, dan bermacam-macam pelatihan lainnya oleh CIA. Bahkan, eksponen gerakan tersebut, Osama bin Laden dan Seikh Azam, memang benar-benar mendapat fasilitas tour yang disponsori CIA. Bahkan Azzam pernah keliling AS karena itu (Kumar, 2016).

Kemudian, islamis seperti Osama bin Laden dan banyak pelopor gerakan Islamis saat perang Afganistan tersebutlah yang mempunyai peran besar dalam menentukan perkembangan dunia Islam yang penuh terror saat ini. Gerakan selanjutnya berkembang secara besar-besaran, mulai Al-Qaeda, ISIS, dan bermacam gerakan lainnya.

Peran Saudi di Indonesia

Kalau ditelisik, gerakan Islamisme di Indonesia sebenarnya mempunyai tendensi sejak masa Sarekat Islam (SI). Kemudian memunculkan tokoh seperti Kartosuwiryo dengan DI/TII. Namun, dalam perkembangan selanjutnya ada pengaruh Saudi dalam perkembangan Islamisme di Indonesia. Pengaruh tersebut mengalir  melalui Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), lembaga ini didirikan oleh Muhammad Natsir dan mantan pimpinan Masyumi pada 1967 (Tirto.Id, 01/03/2017). Oleh Norhaidi Hasan yang dikutip dalam situs Tirto.Id, menjelaskan bahwa organisasi tersebut mendapatkan banyak bantuan dari Arab Saudi. Kemudian, Saudi juga pada tahun 1980 mendirikan suatu kampus Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Bahasa Arab (LIPIA) di Indonesia.Kampus tersebut pengelolaannya ditangani oleh Universitas Islam Imam Muhammad Ibn’ Saud di Riyadh. Menurut Norhaidi Hasan, LIPIA dalam waktu singkat berhasil menebar pengaruhnya di Seluruh Indonesia (Tirto.Id, 10/03/2017).

Bermula melalui DDII tersebutlah kemudian banyak berkembang upaya Islamis untuk melakukan syari’atisasi di Indonesia. Awalnya, gerakan mereka tidak begitu politis, namun kemudian dalam perjalanannya, terjadi bermacam-macam model gerakan, baik melalui institusi pendidikan, seperti pesantren, dakwah, hingga yang mulai masuk dalam ranah politik, baik melalui invansi ke partai politik Islam lawas, semacam PPP, ada juga dengan membentuk partai politik Islam seperti PKS.

Pekembangan upaya syari’atisasi saat ini begitu masif. Banyak sektor yang mereka gunakan, baik melalui dakwah, pendidikan, hingga politik elektoral. Maka tak heran kalau belakangan terjadi besarnya jumlah perda syari’ah di Indonesia paska Orde Baru. Wallohua’lam.

M. Fakhru Riza, penulis adalah pegiat di Islami Institute Jogja.