Menelisik Fenomena ‘Kriminalisasi Ulama’

Menelisik Fenomena ‘Kriminalisasi Ulama’

Secara tidak langsung, frase ‘kriminalisasi ulama’ ini telah membangun populisme Islam dalam melawan pemerintahan yang sah.

Menelisik Fenomena ‘Kriminalisasi Ulama’
Belakangan muncul bela ulama ulama terhadap sosok yang dijuluki ustadz Akhir Zaman dan ditangkap pihak berwajib karena dianggap menyebarkan kebencian.

Hingga saat ini, pemberitaan di media daring masih didominasi oleh frase kriminalisasi ulama. Adalah kalangan Islam yang terlibat, baik langsung maupun tidak, dalam demo berjilid-jilid yang sangat masif mengampanyekan frase tersebut. Terlebih ketika kasus Ustad Zulkifli Muhammad Ali beberapa waktu yang lalu mencuat di dunia maya.

Ia ditersangkakan oleh kepolisian dalam kasus ujaran kebencian. Kasus ini menarik perhatian banyak pihak. Beberapa kalangan menilai ceramah beliau tidak menunjukkan dakwah Islam yang mengajak dalam kebaikan, namun memprovokasi umat untuk membenci yang berbeda keyakinan, suku, dan ras.

Dalam konteks Indonesia, tentu ceramah seperti ini sangatlah bermasalah. Bagaimana tidak, para tokoh pendiri bangsa telah jauh-jauh hari bersepakat untuk menyatukan perbedaan dan keragamaan yang ada di nusantara melalui konsensus ideologi Pancasila.

Ceramah yang disampaikan Ustad Zulkifli patut untuk dikritik, bahkan dibawa ke pihak yang berwajib. Pasalnya, sebagai seorang da’i yang diidolakan umatnya, sikap beliau tentunya akan diikuti dan ‘diamini’ mereka dalam keseharian. Hal ini akan menjadi lebih pelik mengingat tensi politik dan agama di Indonesia saat ini betul-betul memanas.

Yang membuat kondisi lebih keruh adalah sikap berlebihan pengikutnya. Ini jelas terlihat dari frase ‘kriminalisasi’ itu sendiri. Frase yang dikampanyekan di banyak media daring ini bukan tidak mungkin bertujuan merusak citra pemerintah dalam hal ini kepolisian.

Mungkinkah ada tujuan politis dalam kampanye frase tersebut? Sulit untuk tidak mengatakan iya. Secara tidak langsung, frase ini telah membangun populisme Islam dalam melawan pemerintahan yang sah.

Menurut Prof. Azyumardi Azra, populisme Islam biasa digunakan sebagai alat melawan pemerintah yang sah oleh para pemuka agama (Islam). Contoh nyatanya adalah revolusi Iran yang dipimpin Ayatullah Khomeini tahun 1979 yang lalu.

Maka, tidak berlebihan, misalnya, jika frase kriminalisasi ulama ini dilihat sebagai sebuah ancaman bagi keutuhan negara-bangsa seperti Indonesia. Menurut Prof. Sumanto Al Qurtuby, kata kriminalisasi ulama memberi makna ambigu bagi masyarakat, seolah-olah kepolisian telah bersalah dalam memanggil seorang da’I untuk sekadar dimintai keterangan atas apa yang telah ia lakukan.

Logikanya, kepolisian tidak akan memanggil seseorang untuk dimintai keterangan jika tidak memegang fakta atas suatu peristiwa.

Konsep ini yang terlihat mulai dikesampingkan oleh kelompok-kelompok politis dalam Islam. Mereka berniat melawan pemerintah dengan cara yang seolah-olah terlihat halus, islami!

Perlu kita luruskan di sini bahwa mendukung seorang ulama haruslah menggunakan logika yang baik. Beliau, Ustaz Zulkifli mengatakan bahwa terdapat jutaan KTP yang dicetak di Cina dan Perancis yang kemudian akan digunakan orang luar masuk ke Indonesia sangat jauh dari kata masuk akal. Bagi umat Islam yang menjunjung tinggi akal setelah Alquran dan Hadist semestinya mencerna ceramah tersebut baik-baik.

Ada ketimpangan dalam ceramah seperti ini, yaitu tidak adanya data yang akurat dan etrkesan melebih-lebihkan. Mungkin masyarakat tidak atau belum bisa bersikap kritis ketika mendengarkan seorang da’I berceramah. Namun efek negatifnya adalah munculnya rasa benci terhadap sesama penduduk yang berbeda suku dan agama di Indonesia.

Lagi, mendukung ulama seharusnya dengan mengajak diskusi tentang apa yang telah disampaikan dalam suatu majlis. Jika ini yang dilakukan, maka fungsi logika dalam beragama akan berjalan semestinya dan dukungan secara membabi buta tidak akan pernah ada.

Sikap seperti ini memang dirasa sulit hadir dalam tingkah-pola beragama Muslim di Indonesia. Adanya tujuan politis dan sikap oportunis lebih banyak menutup logika dalam beragama.

Akhirnya, fenomena kriminalisasi ulama ini tidak dapat disepelekan. Harus ada faktor akal dan pikiran yang jernih untuk memahami peristiwa tersebut. Para da’i dalam setiap ceramahnya juga perlu lebih berhati-hati lagi dan bahkan lebih baik tidak meprovokasi isu-isu sensitif seperti ini, melainkan masuk kepada substansi dakwah itu sendiri yaitu ajakan meneguhkan hubungan harmonis dengan Tuhan dan sesama manusia.