Meneladani Kesederhanaan Isa Al-Masih

Meneladani Kesederhanaan Isa Al-Masih

Meneladani Kesederhanaan Isa Al-Masih

Dalam literatur Islam, khususnya buku-buku yang membahas tentang akhlak dan tasawuf banyak dijumpai nasihat dan pernyataan-pernyataan Isa al-Masih tentang pentingnya hidup sederhana atau dalam istilah sufi disebut “zuhud” (asketik).

Zuhud oleh para sufi diartikan sebagai aktivitas ruhani yang berpaling atau menjauh dari hal-hal yang bersifat duniawi. (Muhammad, 2014: 18). Dalam hal ini zuhud bukan berarti tidak memiliki harta benda atau materi keduniawian lainnya, melainkan hidup dengan tidak memiliki ketergantungan terhadapnya, yakni hanya bergantung kepada Allah.

Menyikapi “dunia” dengan laku asketis seperti ini, dapat menjadikan pelakunya terhindar dari perbuatan dosa dan tidak “dipusingkan” dengan hal-hal yang bersifat duniawi.

Ketika seseorang haus akan kekayaan, maka ia akan terdorong meraupnya dengan berbagai cara meski melanggar hukum. Demikian juga orang yang merindukan kekuasaan ada dalam genggamannya, maka tak peduli hukum apapun yang penting ia dapat meraihnya. Di sinilah pentingnya zuhud, dapat menjadi “rem” atas laju syahwat yang menggebu.

Dalam hadis diceritakan, suatu ketika Isa al-Masih ditanya perihal aktivitasnya yang tidak pernah menggunakan keledai atau himar (alat transportasi masa lampau) untuk memenuhi kebutuhannya. Isa Al-Masih menjawab: “(Dengan kondisi seperti ini) saya lebih mulia di hadapan Allah daripada disediakan alat transportasi yang dapat menyibukkan diri saya dari selain Allah.” (Ibnu Abi Syaibah, 1409 H: VII, 66).

Bagi Isa, hidup sederhana dengan hati yang selalu tertambat pada Allah jauh lebih baik dan menyenangkan daripada hidup dalam kemewahan namun jauh dari Tuhan, terlebih jika kemewahan itu dihasilkan dari korupsi.

Dalam kitab Az-Zuhru al-Fa`ih dan Ar-Risalah al-Qusyairiyah diceritakan, ketika Isa Al-Masih melewati sebuah pemakaman, ia memanggil mayat lelaki yang ada di dalamnya. Lalu Allah menghidupkan mayat itu.

Kepada mayat yang bangkit dari kuburnya, Isa bertanya: “Apa yang engkau perbuat saat masih hidup di dunia?” Lelaki itu menjawab: “Semasa hidup aku adalah seorang kuli angkut yang membawa barang di atas kepala. Dari pekerjaan ini aku bisa makan. Lalu suatu ketika aku mengangkut kayu bakar milik seseorang. Aku mengambilnya sedikit untuk tusuk gigi (membuang selilit). Ketika aku mati, Allah memberhentikanku di hadapan-Nya, sembari berfirman: “Wahai hambaku, apakah engkau tidak tahu bahwa Aku telah memberhentikanmu di hadapan-Ku. Fulan dulu membeli kayu bakar dengan uangnya sendiri, dan ia memberikan upah kepadamu supaya engkau mengangkut ke rumahnya. Tapi ternyata engkau mengambil kayu yang tidak engkau miliki.”

Lalu mayat hidup itu meminta pertolongan (syafa’at) kepada Isa supaya diringankan siksaannya di sisi Allah sembari menjelaskan bahwa sudah 40 tahun, yakni sejak mati, dirinya selalu dimintai pertanggungjawaban atas kayu yang diambilnya. (Ibnu al-Jazari, 1986: 69, Al-Qusyairi, tt: I, 238).

Kisah di atas hendak memberikan pelajaran bahwa salah satu hal yang harus dihindari dalam mengarungi kehidupan di dunia yaitu menjauhi perkara haram atau dalam term tasawuf disebut “al-wara’”. Mengambil pecahan kayu yang berukuran sangat kecil, yakni hanya digunakan untuk tusuk gigi tidak lebih dari simbol mengambil barang orang lain yang bukan menjadi haknya. Meski jumlahnya sangat sedikit, namun tetap ada hitungannya di hadapan Allah.

Menurut Hasyim Muhammad, menjauhi hal-hal yang diharamkan (al-wara’) masuk pada zuhud tingkat terendah. Adapun zuhud tingkat selanjutnya yaitu menjauhi syubhat (barang yang tidak jelas halal dan haramnya), tidak berlebihan dalam segala hal meski itu dalam persoalan yang diperbolehkan, dan terakhir zuhud terhadap selain Allah, yakni menjalankan laku asketis semata-mata karena Allah. (2014: 153-161).

Isa Al-Masih dalam diskursus ini menjadi teladan bagi para sufi dalam laku zuhud. Merembasnya kisah-kisah tentang Isa bersama sahabat-sahabatnya (al-hawariyyun) atau dalam ilmu tafsir disebut isra`iliyyat ke dalam tradisi Islam dibawa oleh orang-orang Yahudi dan Nashrani yang mu`allaf. Sebagiannya lagi hasil dari perjumpaan umat Islam dengan tradisi-tradisi agama semitik lainnya.

Para sarjana muslim masa lampau tidak segan mengambil tradisi agama Yahudi atau pun Nashrani yang memiliki kesamaan dalam hal mengajarkan nilai-nilai kebajikan. Karena semua sadar bahwa sesungguhnya semua agama memiliki nilai-nilai universalitas yang menjadi titik temu bersama.