Sudah menjadi sebuah pengetahuan umum bahwa hukum mencari ilmu adalah wajib.
Terlebih utamanya ilmu syariat yang menjadi kunci keberhasilan di dunia dan akhirat. Baginda Nabi Muhammad Saw bersabda,
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
“Mencari ilmu sangat wajib bagi setiap orang muslim” (HR. Ath-Thabrani)
Namun tidak semua orang mengerti terhadap cara dan tujuan yang benar di dalam mencari ilmu. Oleh sebab itu, pentinglah bagi kita belajar dari teladan-teladan yang telah diwariskan oleh para pendahulu kita mengenai cara dan tujuan yang benar dalam mencari ilmu. Diantaranya adalah teladan yang diriwayatkan dari seorang ulama besar di masanya, seorang waliyullah dan panutan bagi umat, beliau adalah Hatim al-Asham, murid dari guru seorang ternama, Syaqiq al-Balkhi.
Dikisahkan, suatu ketika Syaqiq bertanya kepada Hatim, “Berapa lama engkau menemaniku?” Hatim menjawab, “tiga Puluh tiga tahun.” “Lalu apa yang telah engkau pelajari dariku selama itu?” tanya Syaqiq. “Delapan pengetahuan,” jawab Hatim. “Inna lillahi wa inna ilahi raji’un. Umurku telah habis bersamamu namun engkau tidak belajar kecuali delapan permasalahan?” Jawab Syaqiq keheranan.“Wahai guruku, aku tidaklah mempelajari selain delapan permasalahan itu. Dan sungguh aku tidak berbohong.” Hatim meyakinkan.“Sampaikan delapan permasalahan itu, agar aku bisa mendengarnya,” lanjut Syaqiq.
Hatim berkata, “Aku melihat seluruh manusia. Kemudian aku melihat masing-masing dari mereka mencintai kekasihnya. Ia bersama kekasihnya tersebut hingga sampai ke dalam kubur. Namun, ketika ia sudah sampai kubur, maka apa yang ia kasihi meninggalkannya. Maka aku jadikan amal-amal baik sebagai kekasihku. Sehingga, ketika aku masuk kubur, maka kekasihku masuk ke kubur bersamaku.” “Bagus wahai Hatim. Lalu apa yang kedua ?” Sahut Syaqiq. Hatim melanjutkan, “Aku melihat firman Allah azza wa jalla :
وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَى فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَى
“Dan Adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya. Maka Sesungguhnya surgalah tempat tinggal(nya).” (QS. An-Nazi’at : 40 – 41)
Aku meyakini bahwa sesungguhnya maha benar firman Allah. Maka aku memaksa nafsuku untuk menolak hawa (kesenangannya) hingga nafsuku tenang untuk taat kepada Allah SWT.
Ketiga, sesungguhnya aku melihat seluruh manusia ini. Aku melihat setiap orang yang memiliki sesuatu yang berharga dan bernilai, maka ia akan mengangkat dan menjaganya. Kemudian aku melihat firman Allah azza wa jalla :
مَا عِنْدَكُمْ يَنْفَدُ وَمَا عِنْدَ اللَّهِ بَاقٍ
“Apa yang di sisi kalian akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal.” (QS. An-Nahl : 96)
Sehingga, setiap aku memiliki sesuatu yang bernilai dan berharga, maka aku hadapkan kepada Allah agar tetap terjaga di sisi-Nya. Yang keempat, sesungguhnya aku melihat semua manusia ini. Aku melihat bahwa masing-masing dari mereka kembali ke harta, keturunan mulia, kemuliaan dan nasab. Aku renungkan semua itu, ternyata semua itu tidak ada artinya.
Keempat, Allah berfirman:
إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
“Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. al-Hujurat : 13)
Maka aku beramal dan bertakwa dengan harapan aku menjadi orang yang mulia di sisi Allah.
Kelima, sesungguhnya aku melihat semua manusia ini. Sebagian dari mereka mencela sebagian yang lain, dan sebagian dari mereka melaknat sebagian yang lain. Penyebab ini semuanya adalah sifat dengki. Kemudian aku melihat firman Allah:
نَحْنُ قَسَمْنَا بَيْنَهُمْ مَعِيشَتَهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا
“Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia.” (QS. Az-Zukhruf)
Maka aku tinggalkan sifat dengki dan aku menjauh dari manusia. Aku yakin bahwa sesungguhnya pembagian sudah ada dari sisi Allah SWT. Maka aku menghindari permusuhan dengan manusia.
Keenam, aku melihat pada manusia yang sebagian dari mereka berbuat zalim kepada yang lain. Dan sebagian dari mereka memerangi sebagian yang lain. Kemudian aku kembali kepada firman Allah:
إِنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمْ عَدُوٌّ فَاتَّخِذُوهُ عَدُوًّا
“Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh bagimu, Maka anggaplah ia musuh(mu).” (QS. Fathir : 6)
Maka aku hanya memusuhi syetan saja. Dan aku berusaha sekuat tenaga waspada padanya. Karena sesungguhnya Allah ta’ala telah bersaksi bahwa sesungguhnya syetan adalah musuhku. Maka aku tidak memusuhi makhluk selain syetan.
Ketujuh, aku melihat masing-masing dari manusia mencari serpihan roti hingga ada yang menghinakan dirinya sendiri untuk mendapatkannya. Dan mereka terjerumus ke dalam sesuatu yang tidak halal. Kemudian aku melihat firman Allah:
وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ إِلَّا عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا
“Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezkinya.” (QS. Huud : 6)
Maka aku yakin bahwa sesungguhnya aku yang merupakan salah satu dari dawwab (binatang melata) ini yang ditanggung rejekinya oleh Allah. Maka aku tersibukkan dengan apa yang menjadi hak Allah SWT atas diriku, dan aku meninggalkan apa yang menjadi hak-ku di sisi-Nya.
Kedelapan, aku melihat para manusia dimana mereka semua berpasrah diri dan tawakkal kepada makhluk. Sebagian tawakkal pada kebunnya, sebagian lain tawakkal pada dagangannya, tawakkal pada pekerjaannya, dan ada pula yang mengandalkan kesehatan badannya. Semua makhluk tawakkal pada makhluk yang lain yang sama lemahnya dengannya. Kemudian aku kembali pada firman Allah SWT :
وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ
“Dan Barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.” (QS. Ath-Thalaq : 3)
Maka aku berserah diri kepada Allah azza wa jalla. Aku yakin Allah-lah Tuhan yang mencukupiku.”
Dengan senyum penuh bangga dan bahagia Syaqiq berkata, “Wahai Hatim, semoga Allah SWT memberi petunjuk kepadamu. Sesungguhnya aku telah melihat ilmu-ilmu di dalam kitab Taurat, Injil, Zabur dan al-Qur’an al-Adhim. Aku menemukan semua jenis kebaikan dan ajaran agama. Semuanya berkutat pada delapan permasalahan ini. Sehingga, orang yang mengamalkannya, maka sesungguhnya ia telah mengamalkan keempat Kitabullah.”
Semoga kita dapat mengambil kedelapan pelajaran penting yang telah disampaikan oleh Hatim al-Asham, amin ya rabbal alamin. Wallahu a’lam.
Disarikan dari al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin, (Beirut, Dar al-Fikr al-Ilmiyah, tt) cetakan kelima, jilid I, halaman 145 – 147.
*) Penulis adalah pegiat Komunitas Literasi Pesantren, tinggal di Surabaya