Mendukung Prabowo-Jokowi Tidak Lantas Menjadikanmu Lebih Islami, Mengapa?

Mendukung Prabowo-Jokowi Tidak Lantas Menjadikanmu Lebih Islami, Mengapa?

Ada proses DeIslamisasi yang terjadi dalam dunia politik kontemporer di Prabowo-Jokowi

Mendukung Prabowo-Jokowi Tidak Lantas Menjadikanmu Lebih Islami, Mengapa?

Pabowo-Jokowi dianggap melakukan proses DeIslamisasi Politik. Kini, kontestasi politik Indonesia bak ajang pencarian kandidat imam shalat. Segala kriteria terkait dengan kepemimpinan nasional kini dikaitkan dengan parameter-parameter kesalehan dalam berislam. Mulai dicari-cari asal-usul tingkat keislaman keluarga kandidat, hingga membutuhkan legitimasi ulama’ untuk menjadi kandidat calon presiden.

Prabowo-Sandiaga maju sebagai Capres dan Cawapres, menggunakan legitimasi Ijtihad Ulama’. Usaha itu digunakan untuk memberikan stampel supaya mereka dianggap sebagai kandidat yang representatif bagi umat Islam. Bahkan, Sandiaga, seorang pengusaha yang sebetulnya memiliki kehidupan yang cukup sekuler. Kini oleh partai pengusungnya diberikan legitimasi sebagai santri Post-Islamis, bahkan belakangan gelarnya bertambah. Menjadi ulama’ Post-Islamis.

Begitu pula Prabowo, ia didaulat sebagai kandidat yang tegas dan sesuai dengan kebutuhan umat yang saat ini konon katanya sedang loyo. Bahkan, Prabowo dalam kancah Reuni 212 yang lalu ia juga diberikan panggung untuk menyampaikan pidato di depan hadirin reuni yang terdiri dari umat Islam itu.

Beberapa waktu yang lalu, di media sosial heboh terkait perdebatan siapa capres yang lebih mampu menjadi imam shalat berjamaah. Awalnya mulai mengkritik Jokowi yang walaupun mampu menjadi imam shalat, tetapi terlihat kurang luwes. Prabowo juga dikritik, ia dicemooh karena mengakui bahwa ia tidak bisa menjadi imam shalat.

Sebelumnya lagi, jagad media sosial juga dihebohkan dengan potongan video yang menayangkan Jokowi saat mengucapkan al-fatihah dengan sebutan “al-fateka”. Tak lama setelah itu, Prabowo juga menuai kritik terkait soal yang sama. Ia keliru melafalkan “shollalohu alaihi wasalam” dengan “sholluhualai”. Polemik itu msih terus berlanjut.

Bahkan belakangan ini, Perkumpulan Da’i Aceh hendak melakukan Tes Baca Al-Qur’an untuk para kandidat Capres dan Cawapres. Kiai Ma’ruf Amin menyampaikan kesanggupannya mengikuti acara Tes tersebut bersama Jokowi. Sedangkan pihak Prabowo-Sandiaga yang selama ini dipercayai sebagai representasi umat Islam malah justru menolak untuk mengikuti kegiatan Tes tersebut.

Dari sekian dinamika politik Indonesia menjelang Pilpres 2019 mendatang tersebut. Panoramanya tampak seolah urusan kepemimpinan kini parameternya adalah kesalehan si kandidat. Bahkan belakangan ada plesetan bahwa Pilpres kali ini yang dicari adalah pemimpin yang seiman. Dari plesetan tersebut menggambarkan betapa kini seolah-olah unsur agama menjadi satu-satunya parameter kepemimpinan di Indonesia.

Padahal, jika parameternya adalah keimanan, hal itu sangat sulit untuk diukur tingkat validitas keimanannya. Kalau soal urusan agama, kita tak bisa melihat dan menilainya hanya dari tampilan fisik semata. Belum tentu orang yang dalam penampilan sehari-harinya menampakkan kesalehan berkorelasi dengan tingkat kesalehan kehidupan ukhrawinya.

Bahkan, dalam kalangan muslim tradisional di pedesaan, ada kepercayaan bahwa orang yang seolah-olah menampaakkan kesalehan itu justru malah bukan orang yang saleh.

Justru, sering kali terbukti adalah orang yang alim dan saleh itu tidak menampakkan tingkat kesalehannya dalam penampilan sehari-harinya. Ada kepercayaan bahwa orang yang alim dan saleh itu ibadahnya saat semua orang sudah terlelap dalam tidur.

Dengan demikian, sangat sulit sekali menilai tingkat kesalehan seorang kandidat. Karena begitu sulitnya untuk menilai kadar keimanan kandidat, karena itu adalah domainnya ia dengan tuhannya. Maka oleh dari itu seharusnya dalam kontestasi ajang cari pemimpin yang harus diukur adalah kadar-kadar program politik kandidat.

Kita perlu menilai program politik yang ditawarkan oleh para kandidat. Bagaimana komitmen mereka dalam memberikan intervensi terhadap ketimpangan ekonomi antara si kaya dengan si miskin.

Sejauh mana para kandidat memprioritaskan penyelesaian terhadap kasus pelanggaran HAM di Indonesia. Kita juga perlu menilai program politik kandidat terkait dengan marakya kasus korupsi di tingkat elit politik kita.

Kita semua berharap, perdebatan dalam kontestasi kandidat Capres dan Cawapres 2019 mendatang tidak lagi mengeksploitasi isu agama dalam Pilpres. Kita berharap, di Pilpres mendatang yang menjadi bahan perdebatan adalah isu-isu ketimpangan, HAM, korupsi dan maslah-masalah kerakyatan lainnya. Karena yang kita cari di Pilpres kali ini adalah presiden, bukan takmir masjid.