Mencoreng Muka Sendiri: Tanggapan Pengusiran Biksu

Mencoreng Muka Sendiri: Tanggapan Pengusiran Biksu

Seorang biksu diusir dari tempat tinggalnya, karena dianggap membuat resah ingin menyebarkan agamanya.

Mencoreng Muka Sendiri: Tanggapan Pengusiran Biksu

 

Hatiku benar-benar terluka menyaksikan video yang diunggah di medsos yang berisi seorang Bhante harus membuat pernyataan di hadapan kerumunan massa yg mengaku sbg ummat Islam. Dalam pernyataan yg diucapkan dg terbaga-bata Bhante Mulyanto Nurhalim harus mengaku bahwa permyataan itu dilakukan suka rela, tanpa tekanan.

Dari bahasa tubuh dan nada suara yang saya lihat di video, sulit rasanya akal saya menerima bahwa pernyataan itu dibuat tanpa tekanan. Karena menurut pikiran normal tak ada orang yang dengan sukarela meningalkan rumah pribadi hanya karena kedatangan tamu atau dianggap telah melaksanakan ibadah sesuai keyakinannya.

Alasan penggrebegan yang berujung pada penanda tanganan pernyataan di hadapan massa itu adalah karena menjadikan rumah sebagai tempat ibadah dan kekhawatiran adanya gerakan pemurtadan umat.

Memang persoalan ini sdh diselesaikan dengan cara yg katanya musyawarah mufakat. Namun sebagai muslim, saya merasa kemerdekaan saya dalam beribadah menjadi terancam dengan isi kesepakatan tersebut. Karena berdasarkan info yg beredar di medsos, salah satu butir kesepakatan itu kurang lebih berisi bahwa rumah tinggal tidak boleh dijadikan tempat ibadah, karena rumah tinggal bukan tempat ibadah. Kalau ummat beragama mau beribadah harus dilakukan di tempat ibadah agama masing-masing.

Melihat hasil kesepakatan ini saya jd berpikir, apakah pelarangan rumah sbg tempat ibadah ini berlaku untuk semua ummat, atau hanya berlaku bagi ummat lain?

Jika kesepakatan yg katanya berdasar hukum itu berlaku untk semua ummat, maka ummat Islam gak boleh shalat jamaah dirumah. Kan rumah bukan tempat ibadah. Umat Islam kalau ibadah harus di masjid. Selanjutnya rumah tinggal tak boleh untuk pengajian, dan berbagai bentuk ibadah lainnya krn bukan tempat ibadah. Bisa dikatakan ummat islam yg membuat pernyataan tersebut telah mempersulit diri…. karena sama dengan memasang tali di leher sendiri.

Kalau aturan seperti itu hanya ditujukan untuk ummat lain itu namanya org Islam menang2an, tidak adil alias dhalim pd ummat lain. Dan itu artinya ummat Islam telah mempertontonkan tindakan arogansi yg justru bisa mencoreng wajah Islam

Sebagai seorang muslim yg sering beribadah di rumah dan sering melihat kantor dan jalanan umum dikadikan tepat ibadah, muncul pertanyaan dalam hati; apakah orang-orang Islam yg mengrebeg rumah Bante Nurhalim dan bikin kesepakatan itu pernah berpikir dan membayangkan bagaimana kalau rumahnya, tamunya dan kehidupannya selalu diawasi ummat lain agar tdk dipakai ibadah? pernahkah mereka membayangkan bagaimana rasaya jika kita menerima tamu kemudian shalat berjamaah di rumah kita, tiba2 datang segerombolan orang yg membubarkan shalat dan memaksa tuan rumah membuat pernyataan agar tdk menigulangi tidakan tersebut dan bersedia meninggalkan tempat jika mengulangi? Bayangkan jika itu terjadi pada kita, pada kalian sebagai ummat Islam. Apa yg kalian rasakan? Apakah kita bisa mengalah seperti yg mereka lakukan?

Sebagai muslim saya kok belum bisa memahami tindakan tersebut. Andai saudara-saudara kita ummat Buddha melaksanakan ibadah di rumah Bante Nurhalim maka tidak layak untuk digrebek karena ibadah adalah tindakan mulia. Hanya orang berhati kotor yg tidak senang melihat org lain beribadah, apalagi jika pakai alasan agama. Jika orang beribadah dibubarkan berarti orang yang membunarkan tersebut menganggap ibadah sama dengan perbuatan maksiat yang nista.

Yang kedua, dalam Islam Nabi Muhammad tidak pernah melarang ummat agama lain beribadah sesuai keyakinannya. Bahkan pernah membiarkan ummat Nasrani beribadah di masjid. Sebagaimana dikisahkan oleh Ibn Ishaq al-Baihaqy dan Ibn Katsir.

Dikisahkan pada suatu hari Nabi kedatangan 60 orang ummat Nasrani dari Najran yang dipimpim oleh 3 orang tokoh yaitu al-Aqib Abd al-Masih sebagai ketua rombongan, al-Aiha sebagai mediator dan Abu Haritsah bin al-Qomah seorang Uskup Arab yg sekaligus menjadi juru Bicara ummat Nasrani.

Rombongan tamu ini sampai di Madinah saat Nabi dan para sahabat sedang melaksanakan shalat Asar di masjid. Karena semua orang berada di masjid, para tamu ini langsung masuk ke masjid. Sambil menunggu Nabi melaksanakan ibadah shalat Ashar, rombongan ummat Nasrani ini melakukan ibadah kebaktian di dalam masjid

Selesai sholat Nabi melihat ummat Nasrani melakukan kebaktian Beliau tidak membubarkan bahkan beliau bilang “dar’uhum” (biarkan mereka) (Ibn Hisyam dalam Sirah Nabawiyah, juz I, hal. 382-83; Ibn Katsir, al Bidayah wa an Nihayah, juz. VII, hal. 269-72)

Jika ummat lain beribadah di masjid dibiarkan oleh Nabi, lalu mengapa orang yang beribadah di rumah harus dilarang dan dibubarkan? Jika Nabi membiarkan ummat lain yg beribadah di masjid lalu siapa yg dicontoh oleh org2 Islam yg membubarkan ummat lain beribadah di rumahnya?

Tanpa bermaksud menyalahkan siapapun, atau memperbesar masalah yg sdh dianggap selesai, tapi layak kiranya menjadikan peristiwa Bhante Mulyamto Nurhalim ini sebagai bahan muhasabah bagi ummat Islam dan bangsa Indonesia. Sikap mencurigai, mengawasi dan menggrebeg ummat lain yg sedang beribadah atas nama agama ini tidak saja bisa merobek persaudaraan sebangsa dan menggores luka hati ummat lain tetapi juga dapat mencoreng wajah Islam dan memperburuk citra Islam sebagai agama damai dan penebar rahmat. Karena dengan cara ini wajah Islam menjadi terlihat garang dan arogan.***