Peristiwa kekerasan cukup marak di berbagai daerah di Indonesia, baik yang dilakukan oleh kelompok tertentu maupun pemerintah. Faktor yang mempengaruhi adanya kekerasan cukup beragam, mulai dari penggusuran yang dilakukan oleh pemerintah sampai pada kekerasan yang mengatasnamakan agama. Kekerasan yang disebut terakhir pada umumnya dilandasi dalih menegakkan syariat Islam. Dan ironisnya, sikap mendukung kekerasan meningkat. Lembaga Survei Indonesia (LSI) mencatat ada peningkatan sikap setuju pada intoleransi keberagaman di tahun 2010, yaitu 30,2 persen dibanding tahun 2005 yang hanya 13,9 persen. Survei itu dilakukan kepada 1000 responden dari berbagai kalangan. Pertanyaannya adalah seputar kasus Ahmadiyah. Kebanyakan dari responden tersebut menyetujui kekerasan yang terjadi pada kelompok Ahmadiyah.
Setiap kelompok, pelaku kekerasan maupun korban, mempunyai argumentasi sendiri-sendiri. Kelompok yang mengatasnamakan agama Islam memandang bahwa kekerasan yang dilakukan adalah untuk menegakkan syariat Islam. Sedangkan kelompok yang menjadi korban mempunyai alasan bahwa dalam melakukan ibadah, mereka mempunyai hak dan dijamin oleh Negara yang dituangkan dalam undang-undang. Maka menurut kelompok tersebut tidak ada dalih untuk mengekang dalam beribadah.
Perdebatan ini tidak akan pernah selesai karena masing-masing mempunyai tendensi sendiri-sendiri. Mereka juga berpatokan pada kebenarannya masing-masing. Secara spesifik, tulisan ini mengulas apakah kekerasan atas nama agama selama ini memang benar-benar menegakkan syariat Islam atau justru melanggar syariat Islam itu sendiri?.
Al-Quran dan sunnah menjadi sumber hukum Islam yang memberikan penghargaan yang tinggi terhadap hak asasi manusia. Hukum tersebut tidak pernah mengajarkan manusia melakukan pendzaliman kepada manusia, namun justru memerintahkan manusia untuk saling menghormati satu dengan yang lainnya. Perintah itu bertujuan untuk mengangkat derajat manusia, karena pada dasarnya Allah SWT menciptakan manusia sama derajatnya sebagaimana tertuang dalam surat al-Hujarat ayat 13 yang artinya:
“Hai manusia, sesungguhnya Kami ciptakan kamu dari laki-laki dan perempuan, dan kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu adalah yang paling bertakwa”.
Dilihat dari ayat tersebut, semua manusia tak terkecuali di muka bumi ini “diperintahkan” untuk saling mengenal. Mengenal berarti saling memahami dan saling menghormati, baik dari pribadi maupun kelompok masing-masing. Mengenal berarti tidak sekedar mengetahui, karena mengetahui hanya ditafsirkan tampak dari luar dan tidak ada proses mendalami. Dampak dari hanya mengetahui adalah sikap mudah menjustifikasi bahwa kelompok lain salah dan kelompoknya benar atau mudah memberi stereotipe pada orang lain. Sementara “mengenal” berarti ada proses mendalami untuk memahami sehingga satu dengan yang lainnya menjalin dan menjaga persaudaraan. Dalam penjelasan ayat di atas yang dinilai bukanlah kedudukan ataupun golongannya, namun kadar ketakwaan seseorang kepada Allah SWT.
Islam sendiri memberi pandangan kepada manusia bahwa hukumnya wajib melindungi hak setiap manusia tanpa terkecuali. Hak-hak tersebut terangkum dalam tujuan syariat atau disebut maqasid syariah (al-Muafaqat, Syatibi). Dalam maqasid syariah, ada lima pokok yang harus dijaga. Pertama, hifdzu al-din (menjaga agama). Islam memandang bahwa manusia wajib menjaga agamanya dan tidak diperintahkan untuk mengganggu agama orang lain. Di sini termasuk menghargai kebebasan dan kemerdekaan dalam memeluk agama. Islam juga melarang umatnya memaksa orang lain dalam memeluk agama. Hal ini sangat jelas terangkum dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 256 yang berbunyi La ikraha fi al-din (Tidak ada paksaan dalam memeluk agama Islam, sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dan jalan yang salah). Maka ketika ada orang memaksa individu atau kelompok untuk masuk Islam atau mencela agama lain, itu berarti menentang adanya tujuan syariat Islam. Dalam hal ini berarti tidak ikut menjaga agama.
Memberikan kebebasan orang untuk melaksanakan ajaran agamanya masing-masing juga diperkuat dengan adanya Piagam Madinah yang memberikan persamaan kepada umat Yahudi, baik Banu Hajjar, Yahudi Banu Hars maupun Yahudi Banu Awf. Piagam Madinah pada intinya mengajarkan perdamaian dengan hidup rukun, saling membantu dan melarang berbuat dzalim kepada umat lain.
Kedua, Hifdzu al-Mal (menjaga harta). Islam menjelaskan bahwa menjaga harta benda juga termasuk hak yang mendasar. Tidak boleh orang lain mengganggu harta benda yang telah dimiliki individu apalagi merusaknya. Manusia mempunyai hak penuh atas kepemilikan. Jika ada orang lain yang mengganggu atau merusak berarti melanggar tujuan syariat Islam. Dan pengrusakan itu berarti tindakan yang dzalim. Karena tujuan syariat Islam secara jelas memberikan hak penuh untuk melindungi harta benda seseorang.
Ketiga, hifdzu al-nafs wa al-‘ird (menjaga jiwa dan kehormatan individu). Menjaga jiwa dan kehormatan juga merupakan tujuan pokok syariat. Syariat Islam tidak membenarkan orang lain mengganggu jiwa seseorang apalagi melakukan kekerasan fisik karena hal itu merupakan pelanggaran hak dan menghambat tujuan syariat itu sendiri. Hak inilah yang kemudian menjunjung tinggi derajat manusia tanpa adanya pelecehan dari manusia lain. Tujuanya adalah saling menghormati, toleransi, dan berbagi.
Keempat, hifdzu al-‘aql (menjaga kebebasan berpikir). Setiap orang mempunyai hak untuk berpendapat dan menyatakan pendapatnya dalam batas-batas yang ditentukan hukum. Tidak dibenarkan seseorang menyebarkan fitnah atau berprasangka apalagi mencemarkan nama baik. Dalam mengemukakan pendapat hendaklah mengemukakan ide-ide yang baik dan bukan kemungkaran. Meng”kafirkan” orang atau menuduh “kristenisasi”, “Islamisasi” juga dilarang karena bisa lebih banyak menimbulkan fitnah dan rentan konflik di masyarakat. Berpendapat dan menyatakan pendapat dalam Islam sebenarnya tidak asing lagi. Hal ini dilakukan mulai Nabi Muhammad SAW sampai pengikutnya. Nabi menekankan pengikut dan umatnya untuk melakukan musyawarah setiap ada perselisihan ataupun masalah.
Kelima, hifdzu al-Nasl (menjaga keturunan). Artinya adalah menjaga generasi penerus, termasuk mengajarkan kebaikan, mengajarkan perdamaian, dan mengajarkan persaudaraan baik di level keluarga, tetangga dan masyarakat secara umum. Perempuan juga mendapatkan hak reproduksi dan perlindungan dari kekerasan baik fisik maupun psikis.
Kelima hak tersebut merupakan hak dharuriyat (primer) yang hakiki. Jika kelima hak tersebut dijaga oleh umat manusia, maka perdamaian akan mudah tercipta.