Beberapa hari yang lalu saya mendampingi seorang kyai menghadiri kegiatan dzikir di Istana Negara. Salah satu tujuan kegiatan tersebut yakni semoga lantunan dzikir para kyai, habaib dan alim ulama mengetuk pintu langit agar bangsa kita makmur dan tentram menjelang Asian Games.
Secara pribadi, saya percaya dzikir merupakan salah satu energi umat Islam. Semoga jika dilakukan bersama-sama, energi umat tersebut menjadi energy of Asia yang membantu Indonesia di ajang Asian Games.
Gaes, tulisan ini bukan menyoal Asian Games, namun ini tentang intropeksi pribadi betapa kita (atau barangkali hanya saya pribadi) senantiasa lupa berdoa, berdzikir dan juga bertawasul kepada para pejuang bangsa yakni pahlawan, atlet dan orang yang membawa nama bangsa dan negara di kancah internasional.
Walau tidak secara langsung berefek kepada kehidupan kita, tetapi mereka juga mewakili kita untuk berjuang di ranahnya masing-masing. Mungkin karena kita terlalu sibuk menjadi “Kampret” dan “Cebong”, hingga tidak punya waktu dan energi untuk bekerja pada hal yang lebih subtansial demi bangsa, negara dan agama.
Nasionalisme Ada Dalilnya
Sekali lagi, tiap mereka yang berjuang mengatasnamakan bangsa dan negara adalah pejuang bangsa. Baik dengan otot maupun dengan otak. Sikap dan perilaku mereka yang berjuang demi bangsa dan negara itulah yang disebut mencintai tanah air (nasionalisme).
Hal ini sesuai surah at Taubah ayat 122.
وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً ۚ فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ
“Dan tidak sepatutnya orang-orang mukmin itu semuanya pergi (ke medan perang). Mengapa sebagian dari setiap golongan di antara mereka tidak pergi untuk memperdalam pengetahuan agama mereka dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali, agar mereka dapat menjaga dirinya” (QS. At-Taubah: 122).
Syekh Muhammad Mahmud al-Hijazi dalam Tafsir al-Wadlih Ayat tersebut mengisyaratkan bahwa belajar ilmu adalah suatu kewajiban bagi umat secara keseluruhan. Kewajiban setingkat untuk jihad perang dan mempertahankan harga diri tanah air. Karena tanah air membutuhkan orang yang berjuang dengan pedang (senjata), dan juga orang yang berjuang dengan argumentasi dan dalil. Jadi, karena wajib tentu nasionalisme bagian yang harus dimiliki umat muslim.
Nasionalisme Bagian dari Iman
.
Masih menurut Syekh Muhammad Mahmud, bahwa berjuang dengan pedang jika dalam kondisi perang dan berjuang lewat argumentasi keilmuan akan memperkokoh moralitas jiwa, menanamkan nasionalisme dan mencetak generasi yang berwawasan ‘cinta tanah air sebagian dari iman’, serta mempertahankannya (tanah air) adalah kewajiban yang suci.
Saya lalu teringat sebuah jargon hubbul wathon minal iman (cinta tanah air bagian dari Iman) yang digelorakan KH Hasyim Asy’ari. Jargon ini seolah menerangkan nasionalisme yang benar keluar dari hati beriman. Sehingga jika ada mengaku orang beriman, namun masih tidak punya rasa persaudaraan setanah air (ukhuwah wathoniyah) kepada yang berbeda, apalagi berbuat tindakan radikalisme. Keimanannya masih menye-menye.
Penutup, saya akan berpesan tulisan ini tidak berlaku untuk yang bersepakat mencintai Indonesia tidak ada dalilnya. Tidak apa-apa. Berbeda itu biasa. Luar biasa dan luar nalar itu, jika mengaku nasionalisme tidak ada dalilnya, namun ikut menikmati gegap gempita Asian Games dan berburu diskon HUT RI 73. Wallahu’alam bishawab