Kejujuran memanglah penting. Apalagi saat menghubungkan diri dengan Tuhan.
Karena prasangka baik masyarakat bahwa Mbah Syahid Kemadu memiliki derajat luhur di sisi Allah, maka tiap hari beliau didatangi tamu-tamu yang beristighotsah (minta didoakan) untuk macam-macam hajat. Ada urusan kesehatan, urusan dagang, perjodohan, dan segala hajat hidup lainnya. Yang agak jarang adalah dari jenis mereka yang sedang mencari jabatan. Mungkin mereka jerih sendiri, karena beranggapan Mbah Syahid tak suka diistighotsahi soal jabatan.
Pernah seorang calon kepala desa sowan minta didoakan agar terpilih.
“Niatmu apa?” Mbah Syahid bertanya.
“Saya ingin berjuang, Mbah”, jawab si calur (calon lurah), “saya ingin agar masyarakat desa saya nanti lebih saleh, lebih taat beribadah dan syi’ar agama lebih semarak. Masjid dan madrasah akan saya renovasi. Rutinan Yasin, Tahlil dan Barzanji digiatkan…”, bla bla bla calur berusaha meyakinkan Mbah Syahid bahwa tujuannya mulia dan layak didukung dengan doa yang semantab-mantabnya.
Siapa nyana, Mbah Syahid justru memerah wajahnya, bangkit dari kursi dan masuk ke ruang dalam tanpa berkata apa-apa. Ditunggu seharian, beliau tak keluar-keluar lagi, hingga si calur putus asa dan pulang dengan hati galau.
Agaknya cerita si calur itu lantas beredar dari mulut ke mulut dan pada gilirannya menciutkan nyali kaum pemburu jabatan.
Yang tak banyak didengar orang adalah pengalaman Pak Mastur (bukan nama sebenarnya), seorang calur lainnya. Ketika Mbah Syahid menanyakan niatnya, Pak Mastur menjawab lugu,
“Bengkok lurah di desa saya itu luas sekali, Mbah. Makanya jadi rebutan. Yah… siapa tahu saya berjodoh…”
Mbah Syahid tersenyum bijak,
“Nanti kalau jadi lurah beneran jangan pelit ya! Orang-orang yang lemah itu ditolong. Cari sangu akherat sebanyak-banyaknya”.
Belakangan Pak Mastur menjadi lurah favorit warga desanya.
Di lain kesempatan, seorang politisi partai Islam mampir ke kediaman Mbah Syahid sepulang kampanye. Sang politisi adalah tokoh besar yang dimuliakan orang, bahkan sudah dipanggil kyai pula. Mbah Syahid pun memberikan penghormatan sesuai dengan kedudukannya,
“Habis dari mana ini?”
“Ini lho, Mbah…”, politisi meluncurkan pesonanya yang khas, “…mencari akherat kok sulitnya bukan main…”
Tapi Mbah Syahid tidak kelihatan terkesan.
“Ah, masih lebih sulit mencari dunia kok”, kata beliau. Politisi tercekat. Merasa kalau sudah salah bicara.
“Coba bayangkan susahnya penjual daun”, Mbah Syahid melanjutkan, “pagi-pagi berangkat ke hutan. Memanjat pohon jati. Menyenggeti daun-daunnya. Daun-daun yang jatuh pun melayang sembarangan, sehingga harus berjalan kesana-kemari untuk mengumpulkannya. Ditumpuki, dibawa ke pasar. Sampai di pasar belum tentu laku pula…”
Hingga hampir satu jam sesudah itu, sampai tiba saatnya pamit, politisi tak berani berkata apa-apa lagi.