Bagaimana kondisi terkini kasus Meiliana? Ternyata, kepastian hukum masih dipertanyakan. Hal itulah yang mendorong perwakilan Koalisi Masyarakat Sipil Peduli Toleransi, Pemajuan HAM dan Pembangunan Yang Adil yang terdiri dari 23 organisasi masyarakat sipil dan 14 orang Individu Pada 26 September 2018, , mendatangi Pengadilan Tinggi Medan untuk menyerahkan Amicus Curiae (Amicus Brief) terkait proses hukum kasus Meiliana yang akan diperiksa dan diadili pada tingkat Banding di Pengadilan Tinggi Medan.
Koalisi Masyarakat Sipil yang diwakili oleh Totok Yuliyanto selaku ketua badan pengurus nasional Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI), Manambus Pasaribu selaku Seketaris Eksekutif Bakumsu (Perhimpunan Bantuan Hukum & Advokasi Rakyat Sumatera Utara), Lola Loveita selaku Program Officer HAM dan Demokrasi INFID (International NGO Forum on Indonesian Development) diterima oleh Hakim Tinggi Linton Sirait SH., MH dan Adi Sutrisno SH., MH yang bertugas sebagai Humas Pengadilan Tinggi Medan. Amicus Curiae tersebut telah diserahkan secara resmi ke Pengadilan Tinggi Medan sebagai bahan masukan kepada Majelis Hakim dalam memeriksa dan mengadili perkara Meiliana pada tingkat banding.
Totok Yuliyanto sebagai salah satu penggagas dan penyusun Amicus Curiea untuk kasus untuk Meiliana tersebut menyampaikan bahwasanya kasus Meiliana ini mendapat perhatian publik karena ada rasa ketidakadilan yang dirasakan oleh masyarakat. Seorang yang menyampaikan pendapat dan ekspresinya dengan cara bertanya kepada tetangganya karena volume pengeras suara masjid lebih keras dibandingkan biasanya mengakibatkan yang bersangkutan harus mendekam di tahanan dianggap melakukan penodaan agama.
Lebih juah dalam Amicus Curiae yang telah disusun, Totok Yuliyanto, S.H. menilai penggunaan Pasal 156a KUHP dan Pasal 156 KUHP tidak tepat digunakan untuk mengekang kebebasan menyampaikan pendapat dan berekspresi khususnya pada Kasus Meiliana. Hak untuk menyampaikan pendapat dan berekspresi adalah fondasi bagi masyarakat demokratis yang telah dijamin secara konstitusi, pembatasan hak tersebut hanya bisa dilakukan bila pendapat atau ekspresi tersebut merupakan bagian dari uapaya propaganda untuk perang atau bertujuan untuk melakukan diskriminasi, permusuhan atau kekerasan. Totok Yuliyanto yang selama ini aktif melakukan advokasi HAM di PBHI menilai unsur Pasal 156a dan Pasal 156 KUHP sangat elastis dan bersifat subjektif sehingga tidak layak untuk melakukan pembatasan HAM atau mempidana sesorang.
Hairus Salim Direktur Eksekutif YLKIS yang juga merupakan penyusun Amicus Curiae menyampaikan pandangan bahwasany “Pada dasarnya, apa yang dilakukan oleh Meliana adalah hal yang wajar dan bisa diterima. Pertama, yang ia keluhkan adalah volumenya, bukan azannya. Ia tidak memiliki pretensi apapun, kecuali merasakan suara azan lebih keras dan biasanya. Seperti dijelaskan di atas, teknologi pengeras suara bukanlah azan itu sendiri. Ia adalah teknologi tambahan yang bahkan ketika awal diperkenalkan sempat dianggap haram.
Kedua, ia menyampaikan keluhan tersebut dengan cara yang sopan dan baik. Ia sama sekali tidak bermaksud azan ditiadakan, hanya berharap suaranya lebih dikecilkan. Ia tidak anti azan, apalagi anti Islam. Ketiga, kedudukan azan sendiri dalam Islam bukanlah ajaran yang wajib. Ia adalah sunnah atau sebagiannya memandangnya fardhu kifayah. Artinya ia bisa dikompromikan sejauh ada hal-hal yang menuntutnya dan mensyaratkannya, tanpa menghapus eksistensi azan sama sekali.”
Manambus Pasaribu Sebagai Seketaris Eksekutif BAKUMSU yang aktif memonitoring kasus ini melihat tekanan masa yang kontraproduktif untuk mewujudkan keadilan di tengah masyarakat selalu terjadi pada kasus penodaan agama. Akibatnya proses peradilan tidak lagi mengedepankan prinsip fair trial, melalui Amicus penting bagi kami untuk mengingatkan Hakim Pengadilan Tinggi yang akan memeriksa dan mengadili perkara Meiliana untuk mengedepankan prinsip fair trial sehingga proses dan putusan hukumnya dapat dipertanggung jawabkan dan mencerminkan rasa keadilan.
Lola Loveita, Selaku Program Officer HAM dan Demokrasi INFID, berharap “Putusan hukum terhadap Meliana harus menghasilkan keadilan di masyarakat. Pengadilan Tinggi Medan sebagai bagian dari pemerintah harus secara proaktif berkontribusi untuk mewujudkan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan yang telah dimandatkan oleh Perpres, khususnya di poin ke-16 mengenai promosi perdamaian dan praktik hukum yang non-diskriminatif. PT Medan harus memberikan putusan berdasarkan pertimbangan prinsip-prinsip inklusivitas dan Hak Asasi Manusia. Kami berharap PT Medan tidak memberikan keputusan yang kontra-produktif yang justru menghambat terwujudnya cita-cita yang menjadi komitmen Indonesia dan dunia.”
Demikian Siaran Pers ini kami ajukan untuk dapat menjadi perhatian bersama. Koalisi mengajak masyarakat melakukan monitoring dan memberikan dukungan terhadap penyelesaian permasalahan ini dengan tetap berpegang teguh pada keadilan pemajuan hak asasi manusia dan prinsip-prinsip toleransi dalam kehidupan bermasyarakat.