Menanti Persaingan Sehat Prabowo dan Jokowi, Bukan Sekadar Politisasi atau Saling Sindir Belaka

Menanti Persaingan Sehat Prabowo dan Jokowi, Bukan Sekadar Politisasi atau Saling Sindir Belaka

Bagaimana bisa beradu program, jika tim Prabowo maupun Jokowi tidak menjelaskan malah membuat gaduh publik

Menanti Persaingan Sehat Prabowo dan Jokowi, Bukan Sekadar Politisasi atau Saling Sindir Belaka

Semakin hari, semakin mendekati akhir tahun. Tak lama lagi, umat manusia khususnya masyarakat Indonesia akan mengalami pergantian tahun yang perhitungannya didasarkan atas waktu edar matahari. Dari tahun 2018, berganti ke tahun 2019. Di tahun 2019, masyarakat Indonesia akan memiliki agenda besar dan penting, yaitu pemilihan umum untuk memilih wakil rakyat serta presiden dan wakil persiden. Meski waktu pemilu masih beberapa bulan lagi, persaingan kedua kubu calon presiden dan wakil presiden sudah amat terasa hari ini. Ada aksi saling sindir, bahkan saling menjatuhkan.

Persaingan yang sampai menjatuhkan pihak kompetitor, sangat disayangkan. Mengingat bangsa Indonesia adalah bangsa yang dikenal religius dan beradab. Dengan adanya sikap saling menjatuhkan, apakah ini menjadi indikator bahwa keberadaban bangsa Indonesia sudah semakin tergerus? Di sisi lain, kedewasaan berpolitik bangsa Indonesia pun juga diuji. Tak jarang persaingan dalam merebut kursi pemimpin Indonesia dilakukan dengan cara membuka kelemahan kompetitor, bahkan membuat fitnah yang kurang dapat dipertanggungjawabkan.

Hal yang menarik dari drama politik di Indonesia melibatkan kalangan yang menganggap dirinya paling merepresentasikan agama. Hal ini ditandai dengan legitimasi-legitimasi yang diambil dari dalil keagamaan untuk melegalkan perilaku politik mereka, memperjuangkan sistem hukum Islam formal (khilafah) secara diam-diam maupun terbuka, menggunakan dalil keagamaan untuk menjatuhkan pihak kompetitor, sampai dengan menggunakan majelis keagamaan untuk melakukan ujaran kebencian.

Pelajaran berharga dari drama politik ini adalah bahwa tidak ada yang sempurna di dunia ini. Artinya, seberapa pun seseorang menjatuhkan pihak lawan dan mengangungkan representasi dari diri dan kelompoknya, suatu saat pasti akan ada kekurangannya dan kelompoknya yang terbuka. Beberapa waktu lalu banyak beredar video Presiden Joko Widodo tidak fasih dalam mengucapkan Alfâtihah (menjadi Alfatekah) dan menyanyi lagu Deen Assalam.

Ketidakfasihan Presiden Joko Widodo kemudian diviralkan guna menjatuhkan kredibilitasnya dan kualitasnya sebagai presiden sekaligus sebagai calon presiden. Tak berselang lama, kelompok yang menjatuhkan Presiden Joko Widodo harus menanggung malu. Pada reuni 212, calon presiden junjungan mereka, Prabowo Subianto, ternyata juga tidak fasih dalam mengucapkan kalimat berbahasa Arab. Pada acara tersebut, Prabowo kesulitan mengucapkan Muhammad Shallallâhu ‘Alayhi wa Sallam (menjadi Shallallah Hulai wa Salam). Bahkan, di acara lain, Prabowo juga terdengar belepotan mengucapkan Allah Subhânahu Wa Ta’âlâ (menjadi Subhanahu Watuulo).

Bahkan, kelompok yang menganggap diri mereka sebagai representasi agama ini masih saja mengalami beberapa kesalahan. Masih dalam acara reuni 212, ada anak melantunkan ayat suci Alquran membaca surat An Nisâ ayat 141 dengan bagus. Sayangnya, kualitas bagusnya irama bacaan tersebut tidak diimbangi dengan kebenaran membaca ayat tersebut. Beberapa kata ada yang hilang dan tidak dibaca, bahkan ada ayat yang terlompati. Ironisnya, klaim sekian juta orang yang hadir dalam reuni tersebut tidak ada yang menyadari kesalahan tersebut dan tidak ada yang membenarkannya. Padahal, katanya mereka adalah kelompok yang paling merepresentasikan agama Islam.

Selain itu, Haikal Hassan yang dianggap ustadz oleh kelompok yang merasa paling agamis itu juga pernah salah baca Alquran surat Ash Shâf ayat 10. Kesalahan Haikal Hassan ini kemudian ditegur oleh Prof. Nadirsyah Hossen, Ph.D yang akrab disapa Gus Nadir. Selang beberapa waktu, twitter Gus Nadir diblok oleh Haikal Hassan.

Peristiwa ini memperlihatkan bahwa sebenarnya mereka akan membentuk pertahanan dan pola menjauh jika dikritik. Ironisnya, mereka seenaknya sendiri mengkritik bahkan mencaci beberapa pihak yang tidak disukainya. Kondisi ini mengindikasikan perilaku mereka tidak konsekuen. Gemar mengkritik, tetapi ketika mereka salah dan dikritik, mereka menghindar.

Fenomena semacam ini sekali lagi hendaknya menjadi pelajaran, bahwa tidak perlu terlalu banyak menggunakan dalil keagamaan untuk melegitimasi perilaku. Jika menimbulkan kesalahan, maka bukan hanya kelompok itu yang buruk, tetapi agama Islam yang mereka bawa akan mendapatkan dampak negatifnya. Selain itu, jika ingin menarik simpati masyarakat, hendaknya cukup dengan membincangkan visi membangun bangsa tanpa menjatuhkan kompetitor politik. Hal ini dikarenakan tidak ada orang yang sempurna, setiap orang pasti pernah salah dan berpotensi melakukan kesalahan di lain waktu.