Menangkap Api Semangat Islam, Kepedulian Lingkungan Sebagai Ibadah Kolektif

Menangkap Api Semangat Islam, Kepedulian Lingkungan Sebagai Ibadah Kolektif

Menangkap Api Semangat Islam, Kepedulian Lingkungan Sebagai Ibadah Kolektif
Menjaga Lingkungan bagian dari Syariat Islam.

Belakangan ini, rasa-rasanya publik semakin ramai membicarakan soal kepedulian terhadap lingkungan, walau memang sudah ada beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau organisasi yang sudah dari dulu fokus dalam hal ini, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) misalnya. Didirikan pada tahun 1980, Walhi bertujuan untuk memperjuangkan keadilan ekologis dan keberlanjutan lingkungan dengan melibatkan masyarakat dalam melindungi sumber daya alam serta melawan kerusakan lingkungan.

Di konteks kekinian di Indonesia, pesan-pesan kesadaran ekologis sering kali terabaikan di tengah tantangan industrialisasi. Indonesia, dengan kekayaan alam yang melimpah, menghadapi krisis lingkungan seperti deforestasi, polusi udara, dan kenaikan suhu akibat perubahan iklim global. Paradoksnya, negara yang mayoritas penduduknya Muslim ini kadang abai terhadap ajaran agama yang mendorong perlindungan lingkungan. Padahal, sudah jelas-jelas kitab suci pegangannya, memiliki cita-cita mencintai lingkungan.

Berdasarkan data yang pernah dicatat Islami.co sendiri, akademisi Gaffar Abdul Karim dalam mini penilitiannya menyebutkan, hampir kurang dari 5 persen khutbah-khutbah Jum’at di Masjid yang menyuarakan soal ekologi atau semacamnya. Ini sebuah sinyal tentu, untuk bagaiamana kita semua, pemangku kebijakan agar bisa lebih menggalakkan isu ekologi dan lalu dipastikan terejawantah dalam laku-laku masyarakat. Tidak menguap begitu saja.

Baca juga : Mengubah Pesta Pernikahan Jadi Pesan Lingkungan, Kisah Inspiratif Milenial Bernama Durrotul Firdaus

Sebagai panutan umat Muslim, kanjeng Nabi Muhammad Saw sudah melakukan hal demikian, dengan kongkrit Nabi mengajarkan keadilan ekologi dengan cara menetapkan kawasan konservasi alam. Dalam literatur Islam, biasa disebut dengan Hima. Hima di sini dapat dipahami sebagai kawasan yang menjaga keorisinilan lingkungan, lembah, sungai dan segala sumber daya alam lainnya.

Adapun tujuan Hima sendiri ada lima hal, pertama untuk menggembalakan hewan ternak, kedua untuk suaka alam, ketiga untuk daerah yang penggembalan hewan dibolehkan dalam waktu tertentu, keempat kawasan khusus untuk hewan dan pakan-pakannya, kelima untuk berkembangnya lebah-lebah di kawasan taman dan terakhir keenam kawasan yang dijaga untuk sumber daya alam yang mendorong ekonomi kemasyarakatan.

Dalam praktiknya, Nabi Muhammad Saw sendiri menetapkan Hima di kota Madinah seluas 2.049 ha. Lokasinya persis di bawah gunung al-Naqi’. Langkah-langkah Nabi ini kemudian diteruskan oleh tiga sahabatnya, Abu Bakar, Umar bin Khattab dan Usman bin Affan. Ketiga sahabat tadi menjaga kelestarian alam di kawasan al-Rabadzah, di sana terdapat puluhan ribu kuda dari kaum Muhajirin dan Anshar. Sementara Utsman sendiri memperluas kawasan Hima yang menampung ribuan hewan dan digembelakan oleh orang-orang miskin sekitar. (Parid Ridwanuddin, Islam Agama Untuk Alam Semesta).

Praktik di atas, adalah gambaran bagaimana Nabi Muhammad peduli dengan alam sekitarnya. Hal lain, ujar-ujar Nabi Muhammad pun tidak kalah pentingnya. Nabi berkata begini “Barangsiapa yang mengambil sejengkal tanah dengan dzalim, maka pada hari kiamat tanah tersebut akan dikalungkan padanya sebanyak tujuh lapis,” (H.R al-Buhkari dan Muslim). Ujar-ujar Nabi barusan menegaskan bahwa, perampasan kawasan, tanah, sumber daya alam atau sebutlah apa itu tidak diperbolehkan sekalipun itu atas dalih pembangunan.

Ayat suci Al-Quran menyebutkan demikian : “Allah-lah yang menundukkan laut untukmu agar kapal-kapal dapat berlayar di atasnya dengan perintah-Nya, dan agar kamu dapat mencari sebagian karunia-Nya dan agar kamu bersyukur. Dan Dia menundukkan apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi untukmu semuanya (sebagai rahmat) dari-Nya. Sungguh, dalam hal yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang berpikir. (QS. Al-Jatsiyah 12-13).

Tegas kiranya, sumber daya alam untuk semua kalangan dan harus bisa dimanfaatkan sebaik mungkin bukan kemudian di monopoli oleh sebagian kelompok dan sampai-sampai merusak lingkungannya.

Yusuf al-Qardhawy tokoh muslim kenamaan dalam bukunya “Islam Jalan Tengah” menyebutkan sebagian bentuk kezaliman terbesar manusia adalah ketidakacuhannya kepada alam sekitar, manusia merasa buta antara relasinya dengan lingkungan yang seharusnya ada timbal balik di sana. Ini yang kemudian, menjauhkan manusia dari perannya sebagai pemimpin di muka bumi. Inni jai’ilun fil ardhi khalifah, begitu al-Quran menyebutkan. Bencana akibat kerusakan ekologis mengindikasi ketidakberesan yang amat serius antara manusia dan alam yang dapat dikategorikan sebagai dosa dan maksiat ekologis.

Masih menurut Yusuf Qardhawy, penamaan surat-surat dalam al-Quran seperti al-Hadid, an-Naml, at-Tin, Az-Zariyyat bukan tanpa pesan. Pemberian nama surat yang berhubungan dengan alam tersebut adalah simbol kuat pada petunjuk kepada manusia untuk ramah dan menjaga harmonisasi dengan lingkungan. Pendeknya, manusia harus peduli sama alam.

Menangkap Api Semangat Islam

Menyadari dan menangkap api semangat Islam dalam kepedulian lingkungan memerlukan langkah nyata dan aksi kolektif, cukuplah bagi kita landasan keagamaan sebagai bahan bakar semangat untuk kepedulian iklim. Pemerintah, sebagai pemegang kendali kebijakan, dan pemuka agama, sebagai tokoh yang dihormati oleh masyarakat, memiliki peran kunci dalam mengarusutamakan isu ekologi.

Islam telah memberikan dasar yang kokoh untuk membangun hubungan harmonis antara manusia dan alam. Tinggal bagaiamana aksi kolektif yang sistematis ini benar-benar nyata terejawantah. Sampai sini, kiranya ada beberapa hal untuk mencapai langkah sistematis tersebut. Pertama, pemerintah perlu mengintegrasikan nilai-nilai ekologis Islam dalam kebijakan lingkungan. Hal ini bisa dilakukan dengan melibatkan ulama dan cendekiawan Muslim dalam proses perumusan kebijakan, sehingga kebijakan tersebut tidak hanya berbasis sains, tetapi juga menyentuh nilai-nilai keagamaan yang kuat di tengah masyarakat. Nabi telah mencontohkan, seperti kawasan Hima di atas.

Kedua pemuka agama perlu memainkan peran strategis dalam menyampaikan pesan-pesan ekologis. Berdasarkan data yang disebutkan sebelumnya, khutbah Jum’at jarang sekali menyentuh isu lingkungan. Sekarang, taubat bukan saja mengurangi dan menekan angka maksiat, tetapi aksi gerakan diet plastik, giat-giat membawa tumbler dan totebag ke mana pergi adalah bentuk taubat lainnya.

baca juga : Penyebab Krisis Ekologi Menurut Al-Qur’an: Perilaku Curang dan Tidak Menghargai Alam

Ketiga, kolaborasi antara pemerintah, pemuka agama, dan masyarakat perlu diarahkan pada gerakan nyata yang berdampak luas. Kampanye berbasis komunitas yang melibatkan pesantren, masjid, dan lembaga pendidikan Islam dapat menjadi platform yang kuat untuk menyebarkan semangat kepedulian lingkungan.

Jika sudah begini, agaknya pengarustamaan isu ekologi mulai tampak ke permukaan. Ibu-Ibu jamaah akan bertambah nilai obrolannya, yang sebelumnya membicarakan harga tas, sekarang membicarakan kesadaran membawa tumbler dan diet plastik. Mimbar-mimbar pengajian ramai-ramai menyuarakan perlunya peduli lingkungan.

Menangkap api semangat Islam dalam kepedulian lingkungan adalah tentang menghidupkan kembali nilai-nilai spiritual yang mengajarkan harmoni dengan alam. Kesadaran ekologi bukanlah konsep asing dalam Islam, ajaran tersebut sangat dekat dengan umat muslim, bahkan telah ditanamkan sejak masa Nabi Muhammad Saw. Kolaborasi antara pemerintah, pemuka agama, dan masyarakat adalah kunci untuk memastikan bahwa isu ekologi tidak hanya menjadi wacana, tetapi juga menjadi praktik yang membumi.