Menakar Kegiatan Ngaji Al-Quran Berjama’ah di Malioboro

Menakar Kegiatan Ngaji Al-Quran Berjama’ah di Malioboro

Menakar Kegiatan Ngaji Al-Quran Berjama’ah di Malioboro

Jagad media sosial baru-baru ini ramai dengan pro dan kontra kegiatan ‘Jogja Mengaji’ di Malioboro pada hari Minggu, 27 Maret lalu. Seperti dikutip oleh detik.com, kegiatan membaca Al-Quran di Malioboro merupakan bagian dari agenda ‘Jogja Mengaji’ yang diselenggarakan oleh Badan Wakaf Al Quran (BWA) Jogja.

Selayang pandang, BWA adalah kegiatan filantropi Islam yang bergerak dan menjadi pelopor inovasi wakaf. Dikuitp dari situs resminya, BWA menjadi jembatan kebaikan yang menghubungkan wakif (pewakaf) dengan maukuf alaih (pemetik manfaat wakaf). BWA mempermudah wakif untuk menyalurkan bantuannya hingga pelosok negeri.

Kepala Cabang BWA Jogja, Narko A. Fikri menjelaskan bahwa kegiatan itu merupakan bentuk spontanitas. Sebelum di Malioboro, mereka menggelar Jogja Mengaji di Hotel Grand Inna Garuda yang juga berada di kawasan Malioboro.

Pada dasarnya, membaca al-Quran merupakan bentuk amal shalih yang harusnya dilakukan oleh seorang Muslim. Sudah tidak perlu diperdebatkan lagi bahwa membaca Qur’an mempunyai banyak keutamaan. Kelak di Hari Penghakiman, al-Quran akan menjadi syafaat bagi para pembacanya. Namun, tentu meskipun itu ibadah yang mempunyai keutamaan yang besar sekalipun, manusia tetap harus mengacu pada norma-norma yang disepakati, baik norma agama, norma sosial, atau norma kemanusiaan.

Misalnya, tentang sholat jamaah di masjid. Keutamaannya berlipat-lipat dibanding shalat munfarid di rumah. Namun, karena sedang terjadi wabah ganas, shalat berjamaah itu dilarang sementara demi kemaslahatan kemanusiaan yang lebih besar.

Dalam kasus membaca al-Quran berjama’ah di sepanjang jalan Malioboro, menurut saya itu merupakan aksi yang kurang beretika. Kata ‘kurang beretika’ mungkin terkesan peyoratif. Namun, ada beberapa penjelasan yang mengantarkan saya pada pernyataan itu. Di Twitter sendiri, di mana video tersebut meledak, banyak yang mengatakan, “emangnya tidak ada masjid?” “kenapa engga di mushola? Kenapa harus di tempat umum?”.

Di satu sisi saya setuju, di sisi saya kontra. Karena pada dasarnya, ibadah bukan hanya terbatas pada sektor privat, melainkan juga melebar ke ruang-ruang publik. Seperti misalnya, mengadakan pengajian akbar di lapangan, atau tahlilan di kantor desa. Selain untuk menjangkau massa yang lebih banyak, kegiatan semacam itu bisa menjadi media syiar Islam.

Namun, mengutip detik.com, Kepala Unit Pelaksana Teknis (UPT) Kawasan Cagar Budaya Malioboro, Ekwanto menegaskan bahwa penyelenggara acara itu tidak meminta izin kepadanya sebagai pengelola. Ekwanto menjelaskan bahwa secara fungsi, Jalan Malioboro adalah milik semua masyarakat. Hal itu membuat pihaknya tidak mengizinkan jalan itu digunakan untuk kegiatan yang digelar oleh satu kelompok agama.

Nah ini salah satu mengapa saya melihat jamaah itu sebagai bentuk agenda yang kurang beretika. Di satu sisi, saya mendukung prinsip mereka yang berpegang teguh terhadap keutamaan membaca al-Quran dan syiar Islam. Namun saya tidak sepakat di sisi lain karena mereka mengabaikan etika moral dengan menggunakan fasilitas umum tanpa izin atas nama agama.

Di masjid sekalipun, ketika i’tikaf, Rasulullah pernah menegur salah satu jamaah yang membaca al-Quran dengan lantang sehingga mengusik sebagian yang lain. Di masjid yang notabene rumah untuk beribadah saja ada norma-norma sosial yang perlu dipertimbangkan, apalagi di ruang publik yang meniscayakan berbagai komunitas dengan segala kepentingannya masing-masing.

Ketua Dewan Syuro Takmir Masjid Jogokariyan, Ustaz Muhammad Jazir, seperti yang dikutip oleh kumparan.com, mengatakan bahwa jika hal tersebut bertujuan atau niatnya untuk ibadah maka gerakan tersebut adalah sesuatu yang bagus. Menurutnya, jika maksudnya baik dan memberi peringatan akan datang bulan Ramadan terus mengajak membaca al-Quran maka gerakan tersebut perlu digalakkan. Karena sejatinya gerakan membaca al-Quran adalah bagus.

Sekali lagi, tentang keutamaan membaca al-Quran, mestinya hal itu tidak perlu diulang-ulang lagi. Ada aspek yang lebih fundamental dari itu, yaitu praktik keberagamaan kita. Siapa yang menjamin jika memang tidak ada yang terganggu dari aksi membaca Al-Qur’an berjamaah di Malioboro itu.

Mungkin akan berbeda ceritanya jika BWA meminta izin terlebih dahulu kepada pengelola kawasan Malioboro. Meskipun pada akhirnya memang tidak diberi izin, namun paling tidak umat Islam yang terlibat masih menjaga hajat publik, di samping juga hajat keberagamaannya.

Hal ini bukan langsung berarti saya anti Al-Qur’an. Saya hanya anti kepada kelakuan sebagian umat Islam yang mentang-mentang punya kuasa secara kuantitas, lalu bertindak semena-mena di ruang publik. Mental mayoritas yang cenderung hegemonik ini yang selalu saya resahkan.

Disadari atau tidak, diskriminasi dan ketidakadilan sosial seringkali berangkat dari mental ‘berkuasa’ ini. Sebagai pihak yang mempunyai power lebih, ia akan merasa memiliki wewenang untuk mendikte segala lini kehidupan di sekitarnya. Gejala ini, selain tidak mencerminkan semangat demokrasi, juga bertolak belakang dengan semangat Islam yang egaliter dan penuh kasih.

Beragama mungkin berkutat pada urusan individu. Namun, praktik beragama bergerak lebih luas dengan melibatkan orang lain dalam proses religiusitas kita. Oleh karena itu, praktik beragama bukan hanya seputar urusan spiritualitas, namun juga etika. Etika beririsan dengan segala sesuatu yang baik, benar, sopan, beradab, dan sesuai tata tertib. Etika yang sudah merasuk dalam sendi keagamaan akan menciptakan luaran Islam yang lebih santun dan beradab.