Selama musim Haji ini, linimasa media sosial dan media televisi kita kembali membincang dinamika layanan jejaring sosial dan tanah suci. Perdebatan dipantik postingan terkait dua bakal calon Presiden Indonesia di berbagai aplikasi media sosial, yakni Ganjar Pranowo dan Anies Baswedan.
Keduanya memang memiliki aktivitas media sosial yang berbeda, Anies sangat aktif sedangkan Ganjar cukup sepi terkait haji 2023.
Di sisi lain, di linimasa kita juga tersaji postingan soal kepulangan para jemaah haji asal Makassar, yang sedang mempersiapkan ketibaan di tanah air dengan memakai pakaian khas masyarakat Mekah, seperti Gamis dan Egal (Semacam pengikat kepala untuk menahan surban), dan para perempuan banyak memakai perhiasan yang banyak, bahkan bagi sebagian orang terlihat berlebihan.
Seorang jemaah perempuan pun harus berurusan dengan otoritas pajak dan bea cukai, karena pemberitaan dan postingan media sosial tersebut.
Sedangkan para bakal calon presiden tersebut postingan kedatangan mereka di tanah air juga menjadi perbincangan, khususnya di kalangan salah satu calon yang memperbandingkan sambutan pendukungnya pada momentum kedatangan tersebut.
Politik Postingan dari Tanah Suci
Hari ini, posting atau mengunggah sebuah konten di media sosial adalah sebuah tindakan politis. Bahkan, dari dinamika media sosial terkait kedua bakal calon tersebut, tidak memposting atau mengunggah juga bagian dari tindakan politik. Bagaimana tidak, media massa televisi dan beberapa siniar politik pernah menjadikan postingan di tanah suci tersebut sebagai tema perbincangan.
Sebenarnya, perbincangan warganet terkait seorang bakal calon Presiden RI memposting atau tidak mengunggah konten, sebenarnya meminjam atau memainkan sakralitas yang melekat di kedua tempat suci tersebut, Mekah dan Madinah. Anies Baswedan, misalnya, cukup banyak membagikan berbagai kegiatannya di tanah suci.
Postingan tersebut dibagikan secara massif ke berbagai platform media sosial oleh para pendukung, pendengung, influencer, hingga masyarakat yang mendukung Anies sebagai bakal calon Presiden. Kabar Anies berangkat Haji atas undangan Kerajaan Arab Saudi sempat beredar dan dianggap sebagai penanda keistimewaan sosok bakal calon ini di tanah suci.
Sebaliknya, Ganjar Pranowo bisa dibilang sedikit dalam mengunggah konten di berbagai akun media sosialnya. Namun, pendukung dan berbagai pihak yang sepakat dengan pencalonan Ganjar menyebut aksi tersebut untuk menjaga sakralitas tanah suci.
Benarkah demikian?
Sebelum mengulik dua fenomena di atas, saya ingin menceritakan fenomena lain terkait media sosial dan tanah suci. Beberapa waktu lalu, saya sempat tercengang kala menonton salah satu konten terkait tanah suci Mekah, di mana seorang influencermelakukan tawaf sembari menggunakan tongsis Insta 360 sampai selesai. Hasil konten yang diunggah sang influencer tidak diragukan lagi keindahannya.
Namun, penggunaan tongsis Insta 360 tersebut masih terbilang baru, bahkan sempat terlintas dalam pikiran saya akan keberanian sang influencer dalam Masjidil Haram. Sang influencer menegaskan bahwa aksinya tersebut sekedar membagikan pengalaman sakral yang dia alami di sana kepada followers-nya.
Kita boleh saja tidak sepakat atas klaim influencer tersebut. Akan tetapi, aksi dan klaim influencer tersebut memberikan penjelasan kepada kita, bahwa pengalaman sakral di era digital diasumsikan dapat dibagikan lewat bantuan media sosial.
Jadi, hari ini kita sebenarnya mengalami apa yang saya sebut dengan menghadirkan atau mengkonstruksi ulang sakralitas lewat media sosial. Terus apa hubungannya dengan kedua bakal calon Presiden di atas?
Menghadirkan atau Mengkonstruksi Ulang Makna (Baru) Sakralitas di Era Digital, Mungkinkah?
Entah kita suka atau tidak, tanah suci Mekah dan Madinah telah mengalami perjumpaan massif dengan media sosial. Dulu ada larangan membawa kamera ke dalam wilayah Masjidil Haram, bahkan plang larangan tersebut masih terpasang hingga sekarang. Namun, larangan tersebut seakan “menguap” begitu saja karena kehadiran gawai yang semakin canggih dan dilengkapi dengan kamera yang tak kalah canggih.
Selain keluarga Halilintar, saya pernah mendapati influencer cum mahasiswa di salah satu perguruan tinggi Islam terkenal di Timur Tengah, yang sering membagikan beragam ajaran agama kepada pengikutnya juga sempat membikin konten di dalam Masjidil Haram. Hal ini tidak mungkin terjadi jika tak ada TikTok dan kamera canggih yang tertanam di gawai.
Dulu kita masih memandang Mekah dan Madinah seperti ruang atau tempat sakral lainnya, mengalami penggerusan sakralitas karena kehadiran media sosial. Hingga hari ini, banyak kita mengamini asumsi ini. Kita pun tidak pernah mempertanyakan ulang, apakah sakralitas di ruang atau tempat suci tersebut benar-benar hilang?
Namun, jika kita mengulik lebih dalam sakralitas di media sosial telah mengalami perubahan atau dihadirkan dalam bentuk yang berbeda. Jeff Zalenski dalam buku Spiritualitas Cyberspace menyebutkan kehadiran internet dengan segala fasilitas di dalamnya, telah memaksa kita melihat agama atau spiritualitas dalam bentuk yang berbeda dari yang selama ini kita rasakan.
Bahkan, jika kita hubungkan dengan fenomena-fenomena di atas, termasuk kedua bakal calon Presiden RI, sakralitas tanah suci sengaja dipinjam hingga dikonstruksi ulang oleh warganet, baik pribadi atau kelompok. Tidak memposting kegiatan di tanah suci pun dapat dimasukkan dalam usaha mengkonstruksi ulang sakralitas sebagai aksi politis.
Sebelum kehadiran media sosial, kita sebagai masyarakat biasa pun sering meminjam sakralitas tanah suci yang dihadirkan dalam beragam bentuk tradisi hingga di sekitar kita. Media sosial dan internet “meminjam” atau membawa sakralitas tanah suci ke ruang visual dan digital yang masih dianggap terpisah dari ruang kehidupan manusia.
Tanah suci tidak lagi hadir dalam kisah-kisah jemaah haji. Hari ini juga hadir dalam konten media sosial, tayangan televisi, hingga konten siniar politik. Masihkah kita akan bertanya, “Masih sakralkah tanah suci?
Fatahallahu alaina futuh al-arifin