Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas, berpesan tentang pentingnya melakukan upaya rekontekstualisasi Islam melalui wahana-wahana akademis dan intelektual. Pesan ini beliau sampaikan saat membuka kegiatan Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS) 2022 di Mataram, pada Kamis (20/10).
Upaya rekontekstualisasi Islam, menurut Menag, menjadi penting untuk mendobrak hegemoni cara pandang yang menempatkan non-muslim sebagai musuh, atau sekurang-kurangnya sebagai pihak yang harus dicurigai dan diwaspadai. Cara pandang seperti itu masih mendominasi wawasan Islam klasik. Padahal, wawasan Islam klasik itulah yang dijadikan otoritas oleh sebagian besar umat Islam, bahkan dijadikan sebagai standar ortodoksi Islam.
Hal ini, lanjut Menag, menjadi tantangan tersendiri bagi para akademisi. Tidak hanya pada aspek pandangan keagamaan saja, tapi juga otoritas pandangan tersebut yang nyata berpengaruh secara luas dan membentuk cara berpikir dan mentalitas umat Islam seluruh dunia. Proses-proses sosial politik sangat menentukan terwujudnya otoritas tersebut, sehingga diperlukan bangunan strategi yang menggabungkan tiga elemen utama.
“Pertama, mendorong berkembangnya wacana rekontekstualisasi Islam melalui wahana-wahana akademis dan intelektual,” terang menteri yang akrab disapa Gus Men ini.
Elemen kedua, adalah medorong terbentuknya konsensus-konsensus di antara kekuatan-kekuatan politik global untuk mendukung upaya rekontekstualisasi Islam dan melegitimasi pandangan Islam yang sesuai konteks kekinian dan nilai-nilai kemanusiaan.
Beliau mencontohkan upaya yang dilakukan oleh ulama Indonesia. Di tengah ragam keyakinan dan budaya di Indonesia, para ulama berhasil meminggirkan cara pandang yang meletakkan non-muslim sebagai musuh. Mereka berhasil memberikan legitimasi keagamaan terhadap keberadaan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila, UUD 1945, dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Meski Indonesia merupakan negara mayoritas muslim, tetapi tidak menerapkan sistem negara yang berdasarkan ajaran agama. Sehingga, seluruh warga negara dari beragam keyakinan, ras, suku dan budaya tetap menempati kedudukan yang setara.
Selanjutnya, elemen ketiga atau terakhir adalah mendorong tumbuhnya gerakan sosial di tingkat akar rumput untuk menerima nilai-nilai kemanusiaan sebagai nilai universal yang mempersatukan seluruh umat manusia serta mengoperasionalkannya dalam kehidupan sosial-budaya yang nyata.
Namun, Menag menyadari bahwa upaya untuk mewujudkan rekontekstualisasi Islam tidaklah mudah. Khususnya karena upaya ini akan dilakukan dalam skala global, sehingga langkah dan strategi yang harus ditempuh juga harus berskala global.
“Kita berharap, AICIS menghasilkan peta jalan yang dapat dieksekusi dengan melibatkan para pemimpin dunia, bukan hanya pemimpin agama dan bukan hanya agama Islam saja, tapi seluruhnya secara inklusif, termasuk para pemimpin politik, pemimpin organisasi-organisasi sosial dan pusat-pusat pendidikan, selebriti, dan sebagainya. Kalau perlu, tunjuk duta (emiserries) untuk penugasan menjalankan strategi ini. Artinya, ikhtiar ini memerlukan effort (usaha) yang serius,” ujarnya.
Menag menambahkan, upaya ini menuntut dibangunnya argumentasi yang kokoh secara akademis dan dukungan legitimasi yang kuat secara global. Jika ini berhasil, maka pandangan yang menentang upaya rekontekstualisasi Islam dengan sendirinya akan terpinggirkan.
“Inilah kenapa saya memberi dukungan penuh kepada AICIS ini,” tegasnya.
Sebagaimana diketahui, pada tahun ini, Kementerian Agama kembali menggelar Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS). Perhelatan ke-21 ini berlangsung di Mataram, 20–22 Oktober 2022. Kegiatan tahun ini mengangkat tema “Future Religion in G-20, Digital Transformation, Knowledge Management and Social Resilience”. [NH]