Menafsir Cuitan Jokowi Soal “Yang Lalu Biarlah Berlalu”

Menafsir Cuitan Jokowi Soal “Yang Lalu Biarlah Berlalu”

Menafsir Cuitan Jokowi Soal “Yang Lalu Biarlah Berlalu”
liustrasi: akun twitter Presiden Jokowi

Isu perombakan (reshuffle) Kabinet Indonesia Maju sempat kencang dibicarakan sepekan (atau malah lebih) sebelumnya. Berbagai spekulasi muncul. Ontran-ontran itu akhirnya terbungkam sejak Presiden Jokowi mengenalkan menteri-menteri barunya, menggantikan pembantu lama yang dinilai kurang performatif (22/12/2020).

Najwa Shihab mungkin boleh lega, karena orang yang paling dicari selama pandemi akhirnya hengkang juga. Artinya, kursi kosong yang sempat menyita perhatian publik boleh jadi tidak sehoror bangku kosong.

Di sini saya tidak berurusan dengan drama end game Jokowi vs Prabowo yang, ekhm, keduanya justru berakhir mesra di bawah nawaitu pengabdian untuk bangsa Indonesia. Debat Pilpres 2019 yang sempat mengguncang iman sebagian umat Islam itu ternyata tak ubahnya Focus Group Discussion. Lha gimana, Sandiaga Uno pun tetap saja tak berkutik di depan altar “amanah rakyat”.

Menjelang detik-detik pengumuman, Jokowi mencuitkan lewat akun twitter @jokowi, begini:

yang lalu biarlah berlalu, menjadi kenangan, juga pelajaran. Kita menatap hari esok dengan tekad, semangat, dan memancang harapan yang baru.

Bagi saya tweet tersebut adalah cukup menarik. Tidak saja menggunakan diksi kawula muda yang seolah barusan move on dari nestapa masa lalu, tetapi cuitan Jokowi itu juga mengajak kita untuk bertanya, siapa/apa yang sedang dibicarakan lewat teks tersebut? Kalaupun menjadi kenangan dan pelajaran, itu bagi siapa?

Pertama-tama marilah bersepakat bahwa teks dalam tweet itu ditujukan sebagai sebuah salvo sebelum Jokowi benar-benar memberi pengumuman resmi sehubungan dengan reshuffle menteri.

Kedua, yang namanya kenangan itu biasanya identik dengan sesuatu yang sifatnya membekas, atau melekat, atau menghujam. Apalagi kenangan tersebut diharapkan menjadi pelajaran, maka cukup jelas di sini bahwa teks itu ingin menggambarkan sebuah ironi yang terjadi di masa lalu.

Jika melihat konteks politik yang menyertainya, ironi terdekat adalah ditangkapnya dua menteri Presiden Jokowi oleh KPK. Kebetulan salah satu di antaranya adalah satu bendera, PDI-P. Lebih dari itu, ada menteri lain yang tidak sekali-dua kali kena semprot oleh Jokowi gara-gara dinilai lamban dalam urusan penanganan pandemi Covid-19.

Selanjutnya, cuitan Jokowi itu dibubuhi dengan gambar yang tidak kalah indie.

Terus terang, pertama kali melihat gambar itu, fokus saya langsung mendarat pada dua hal. Pertama, rel kereta api; kedua, cahaya matahari. Dengan kata lain, kita sebetulnya bisa mengajukan pertanyaan, kenapa gambar yang dipilih adalah rel kereta api? Lalu, cahaya apakah yang menyapu keseluruhan ruang dalam gambar tersebut? Apakah pancaran cahaya itu adalah senja, atau jangan-jangan ia adalah mentari pagi?

Bila melihat senarai teks yang ada di dalam gambar tersebut, maka sulit membayangkan jika cahaya itu adalah senja. Soalnya, tidak ada hablumnya antara senja dengan ungkapan “yang baru…”. Namanya senja, pastilah menunjukkan waktu surup, atau menjelang petang.

Sebaliknya, yang namanya harapan, biasanya menyumbul di pagi hari. Karena itulah frasa “yang baru…” itu lalu dipungkasi dengan kalimat seru: “harus lebih baik!”

Dan, ya, di sana terdapat rel kereta api. Ini barangkali mengingatkan kita pada moda transportasi cepat dan efisien. Iya, saya tahu, kalau masih lebih cepat pesawat. Tapi kita sedang bicara moda darat.

Apapun itu, teknologi transportasi yang menjadi semakin canggih senyatanya telah dibawa masuk ke dalam sebuah ruang yang dapat bergerak sangat cepat. Paul Virilio (1932-2018) menyebutnya sebagai dromospheric space, ruang kecepatan. Ini erat kaitannya dengan gaya hidup masyarakat (pasca)modern yang, konon, cenderung serba cepat. Rupanya, Jokowi cukup peka terhadap hal ini.

Hari ini, umpamanya, kecepatan telah menjadi determinan dalam laku sosial kita. Kalau kamu tidak cepat atau bergegas, berarti kamu akan ditinggal. Itulah kenapa Presiden Jokowi tampaknya menggeber terus proyek pembangunan infrastruktur yang menghubungkan kota-kota setrategis. Buat apa? Tentu saja untuk membuka akses agar orang saling terhubung. Kalau sudah terhubung, berarti logika kecepatan dapat diniscayakan.

Meski begitu, jangan dilupakan juga kalau kemajuan teknologi lewat logika percepatan itu ternyata tidak selamanya menjanjikan. Ya, aspek positif dari sebuah kemajuan senyatanya telah menjelma menjadi semacam propaganda. Lebih dari itu, Virilio juga mencatat bahwa dalam setiap inovasi teknologi, pastilah selalu ada cacat sejak dalam DNA-nya yang pada derajat tertentu menyebabkan “kecelakaan”.

Maksudnya begini. Setiap kemajuan teknologi memang menjanjikan percepatan. Hanya saja, di tataran teknis hampir semua orang dalam masyarakat pascamodern ini telah menjadi korban dari propaganda kemajuan teknologi yang sembunyi di balik topeng akselerasi.

Akibatnya, ruang kecepatan pun menjelma sebagai dirinya yang totaliter. Laksana teknologi yang menjadi penanda kemajuan sekaligus pendengung ruang akslerasi, kita seolah tidak punya pilihan lain kecuali tunduk pada arus perubahan yang serba cepat itu.

Bayangkan saja jika ada orang yang jalan kaki dari Jogja ke Jakarta, pastilah kemungkinannya cuma ada dua: pertama karena yang bersangkutan memang punya nazar sehingga menjadi heroik lalu diliput media-media; atau kedua, orang yang sama sekali tidak mengenal kendaraan bermotor, baik roda dua, empat, atau roda besi seperti kereta. Tapi ini pun sungguh tidak mungkin. Jadi, pada dasarnya ruang kecepatan itu telah merangsek dalam setiap lini kehidupan kita, di jalan-jalan besar, di rel kereta api, bahkan dalam genggaman tangan kebanyakan orang.

Oiya, ternyata masih tersisa satu lagi soal kemungkinan orang jalan kaki dari jogja ke jakarta, yaitu orang yang kalah taruhan jika Jokowi menang, seperti diperagakan Lord yang tidak boleh disebut namanya itu.