Mempertanyakan dan Merefleksikan Keberislaman Kita Lewat Isu Palestina-Israel

Mempertanyakan dan Merefleksikan Keberislaman Kita Lewat Isu Palestina-Israel

Mengapa di antara kita ada yang berpikir bahwa Gaza mengalami kehancuran karena Muslimnya radikal atau tidak moderat? Mengapa sampai punya kekhawatiran bahwa menyuarakan tentang Palestina akan disebut radikal atau mendukung kelompok “sebelah”?

Mempertanyakan dan Merefleksikan Keberislaman Kita Lewat Isu Palestina-Israel
Warga Palestina mengibarkan bendera di protes di Gaza. Foto ini diambil tahun 2012 lalu. (AP Photo/Majdi Mohammed)

Sejak Israel melemparkan serangan brutal ke Gaza segera setelah 7 Oktober 2023, saya dibuat bertanya-tanya oleh fenomena dalam grup-grup Whatsapp (WA). Grup-grup WA saya yang berbasis di Amerika Serikat (AS), khususnya di Universitas Chicago, tempat saya menjalani studi doktoral saat ini, tidak pernah berhenti membahas ini.

Selain pesan yang membagi kabar terkini, ada undangan untuk melakukan protes dalam berbagai bentuknya: aksi turun ke jalan, penandatanganan petisi, audiensi, dan kemping (encampment). Banyak juga yang berbagi sumber belajar entah dalam bentuk desain grafis, artikel, buku, atau video. Jaringan akademisi internasional yang ahli topik ini, misalnya, mengorganisir diri dan membuat diskusi daring secara berseri bertajuk teach-ins (bisa diakses di sini).

Intinya, banyak orang (mahasiswa, dosen, staf kampus, dan publik luas) ingin terlibat dan mencari cara untuk mengedukasi diri dan melakukan sesuatu. Ini bukan berarti tanpa risiko. Terkadang mereka harus berhadapan dengan kekerasan polisi, penyensoran, penangkapan, penangguhan ijazah, bahkan pengeluaran.

Apa yang saya lihat di beberapa grup WA ini kontras sekali dengan atmosfer dalam grup-grup WA saya yang berbasis di tanah air, baik grup kampus, asosiasi program studi, organisasi sosial keagamaan, alumni, dan lainnya. Grup-grup ini terlihat adem ayem saja. Hanya sesekali anggota grup mengirim berita mengenai genosida ini. Memang, ada segelintir kegiatan diskusi yang diorganisir beberapa kampus. Namun, secara umum, genosida ini belum menggerakkan energi anggota grup untuk terlibat dan berbuat sesuatu.

Saya menyadari, kontras yang saya rasakan ini sangat mungkin dipengaruhi oleh bias lingkar pertemanan saya–sebenarnya menarik melihat peta netizen yang aktif bersuara tentang Palestina lewat analisis unggahan sosial media. Namun demikian, saya tidak bisa mengelak dari pertanyaan yang terlanjur mengganggu pikiran saya. 

Mengapa netizen Indonesia, termasuk umat Islamnya, secara khusus para akademisinya, kurang ramai membincang tentang Palestina, atau kurang bersemangat dalam mengedukasi diri tentang ini?

Saya mendaftar empat kemungkinan alasan. Pertama, perbedaan posisi Indonesia dan AS dalam isu Palestina. Kedua, masyarakat Indonesia yang punya kecenderungan melihat ke dalam (inward-looking). Ketiga, jarak pengetahuan. Terakhir, kelekatan isu Palestina dengan kelompok Muslim tertentu, yang membuat enggan atau khawatir dicap tertentu ketika bersuara tentang ini. Di bagian akhir, saya akan menawarkan refleksi terkait mengapa pengetahuan atas penjajahan Palestina memiliki arti penting untuk keberislaman di tanah air.

Perbedaan posisi Warga(net) Indonesia dan AS dalam isu Palestina 

Publik Amerika Serikat merasa punya hubungan yang lebih langsung dengan genosida di Gaza ketimbang publik Indonesia. Bukan rahasia lagi kalau AS dan sekutunya adalah pendukung utama Israel. Bukan hanya dukungan secara diplomatik, AS menyokong dana dalam jumlah milyaran dolar ke Israel. Uangnya dari mana? Tentu saja dari pajak rakyat.

Netizen AS yang berkesadaran merasa punya tanggung jawab besar untuk bersuara dan bergerak, bukan hanya karena uang pajak mereka ikut membiayai genosida, tetapi juga karena mereka melihat peran penting dalam perjuangan kemanusiaan dan keadilan ini. 

Alur logikanya begini. Perubahan situasi di Palestina turut ditentukan oleh perubahan posisi AS. Perubahan posisi AS akan terwujud kalau ada desakan warga yang signifikan. Tentu saja, perubahan kebijakan ini belum kita lihat. 

Lobi Israel masih kuat dalam memakai tangan negara, korporasi sosial media, maupun kampus-kampus untuk melakukan represi dan penyensoran. Namun demikian, meski belum berhasil melahirkan perubahan secara institusional, gerakan belakangan ini telah berhasil membuka mata banyak masyarakat dunia. Kita hanya berharap gerakan ini semakin besar sehingga perubahan menjadi tidak terbendung lagi.

Berbalik dengan posisi AS yang mendukung Israel tanpa syarat, Indonesia konsisten mendukung Palestina dan tidak mengakui keberadaan Israel. Negara kita juga mengirim bantuan ke sana. 

Dengan posisi negara yang demikian, tidak ada dorongan khusus bagi warga untuk bergerak. Meskipun diskusi tentang genosida di ruang akademik jarang terjadi, perbicangan tentang ini bisa ditemui di media sosial maupun ruang publik lainnya–kendatipun tetap tidak semassif itu. 

Atau, cara masyarakat Indonesia menunjukkan solidaritas kepada Gaza mamang tidak mesti ditunjukkan dengan membincangkannya, tetapi dengan menyalurkan donasi. Dengan kata lain, warga Indonesia mendukung Palestina dalam derajatnya yang berbeda-beda.

Teralih dengan Isu Domestik 

Alasan kedua adalah masyarakat Indonesia yang punya kecenderungan melihat ke dalam (inward looking)–dan saya tidak sedang mengatakan bahwa Indonesia unik sama sekali dalam hal ini. Fokus perhatian kita adalah isu-isu dalam negeri dan kurang terlalu menyimak atau mengaitkan diri dengan isu-isu global. 

Akibatnya, perbincangan tentang genosida semakin tenggelam karena ia terjadi berbarengan dengan, umpamanya, pendaftaran paslon, geger putusan Mahkamah Konstitusi, dan pemilu. Saat ini, ia tenggelam di tengah berita tentang UKT, Tapera, isu agraria, maupun konsesi tambang

Selain karena letak geografis Indonesia, saya juga sempat berpikir, apakah kecenderungan melihat ke dalam ini dipengaruhi oleh jarak bahasa. Informasi dan konten edukasi yang tersebar di berbagai sosial media tentang Palestina disampaikan dalam bahasa Inggris, sedangkan ini bukan bahasa yang sebagian besar netizen tanah air kuasai, terutama warganet di daerah-daerah. 

Jarak Pengetahuan

Jarak bahasa ini terkait erat dengan jarak pengetahuan, poin saya berikutnya. Kalau kita tidak betul-betul paham apa yang terjadi, bagaimana kita bisa merasakan arti penting untuk bersuara dan bergerak? 

Bahkan, masih kerap ditemui narasi keliru tentang penjajahan Palestina oleh Israel. Misalnya, yang terjadi adalah konflik. Ini adalah konflik antar-agama, khususnya Yahudi dan Islam. Atau, yang terjadi adalah bentuk kebencian umat Yahudi kepada umat Islam, dan saling dendam antara keduanya.

Misalnya, Gus Muwafiq dalam ceramahnya, menjelaskan bahwa apa yang terjadi di Palestina adalah kelanjutan dari sejarah panjang perebutan tanah nenek moyang antara tiga agama: Yahudi, Kristen, dan Islam. Yang menguasai saat ini adalah Yahudi karena, memang, mereka adalah yang paling pintar hari ini. Selanjutnya, ia mendorong umat Islam Indonesia untuk maju. Caranya adalah dengan berpikir melampaui perdebatan urusan celana cingkrang, jenggot, atau apakah orang yang masuk gereja sebagai kafir. Yang terakhir ini akan melahirkan kemunduran. 

Pemahaman yang misleading semacam ini bukan hanya membuat orang tidak berbuat apa-apa. Seperti kasus ceramah Gus Muwafiq, ia tanpa disadari telah mengaburkan masalah yang sebenarnya, yakni penjajahan dan genosida. 

Di sisi lain, pemahaman yang tidak tepat juga bisa mendorong orang untuk bergerak, hanya saja dalam bentuk aksi yang  terjebak kepada politik identitas yang kontra-produktif (Islam versus Yahudi).

Mengingat jarak bahasa dan pengetahuan ini, kita perlu mengapresiasi upaya yang dilakukan akun Instagram Iqbal Himawan dengan menerjemahkan konten edukasi dalam bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia, maupun kerja Santri CendekiaIslam BergerakDeduktifIndoProgres dan Islami.co yang menerbitkan esai-esai tentang topik ini. 

Mereka berperan penting dalam menjembatani jarak ini lewat karya mereka. Sumber-sumber ini mencoba menjelaskan bahwa ini bukan konflik tetapi penjajahan terstruktur dan sistematis.

Takut Dianggap Tidak Moderat?

Terakhir, dalam hemat saya, mengapa isu Palestina ini tidak terlalu ramai dibincangkan adalah karena ia telah disempitkan sebagai isu agama atau isu kelompok Muslim tertentu. Alhasil, orang tidak bersuara karena enggan atau khawatir dianggap sebagai bagian dari kelompok tersebut. 

Saya tidak punya data persis terkait signifikansi jumlah mereka yang memiliki kecenderungan ini. Yang pasti, mereka ada. Misalnya, beberapa kawan bertutur kepada saya. Mereka khawatir dilabeli sebagai pendukung kelompok radikal, “lain”, atau “sebelah” jika bersuara tentang Palestina. 

Salah satu kawan ini bercerita:

“Mbak, bahkan kami mau posting tentang itu saja takut, takut kalau kami dikira pendukung kelompok Islam “lain”. Padahal maksudnya hanya untuk kemanusiaan yang terjadi di sana. Ini bimbang yang sedang aku alami. Jujur, aku sangat takut sekali untuk nge-post tentang Palestina karena lingkup yang kental dengan moderasi, khawatir dicap sebagai kelompok sebelah… Akhirnya ada pertanyaan menggelitik, semoderat apa sih kita ini sebenarnya memandang kelompok lain”. 

Saya bahkan mendengar pernyataan bahwa Gaza mengalami demikian karena Muslimnya tidak moderat. Asumsi ini, diakui atau tidak, seringkali kita dengar di ruang publik kita. Misalnya juga narasi setamsil “Timur Tengah hancur karena umat Islamnya tidak moderat, radikal.” 

Dalam hemat saya, hal itu semata menjelaskan keberhasilan narasi kolonial yang ingin mengaburkan penjajahan militer, politik, maupun ekonomi di wilayah tersebut lewat narasi seperti anti-terorisme, demokrasi, dan moderasi (butuh tulisan lain untuk mendiskusikan hal ini).

Menyalahkan orang Palestina karena tidak moderat hanya menunjukkan bahwa mereka sebenarnya tidak punya pilihan. Kalau melawan, mereka dilabeli radikal dan teroris. Kalau mau disebut tidak radikal atau moderat, itu artinya mereka harus diam, manut, dan menerima begitu saja ketika tanahnya disita, rumahnya diambil, dibunuh, diperlakukan tidak adil lewat sistem apartheid yang dibangun Israel, ditangkap dan dipenjara tanpa pengadilan, disiksa, diambil organnya, dan bentuk-bentuk kekerasan sistemik lain, sejak sebelum Israel berdiri pada tahun 1948 hingga sekarang. 

Pemahaman ini, betapapun, akan sulit dicapai kalau kita masih mengimajinasikan bahwa apa yang terjadi antara Palestina dan Israel adalah konflik, seakan keduanya adalah dua entitas yang setara, bukan penjajahan. 

Juga, pemahaman itu akan berat diresapi kalau kita masih menganggap bahwa Israel adalah pihak yang dalam sejarahnya punya itikad yang baik dan mulia dalam setiap usaha negosiasi dan diplomasi. Saya mendorong pembaca untuk menonton film dokumenter berjudul Where Olive Trees Weep untuk mengedukasi diri. 

Persis karena beberapa contoh di atas inilah, menurut saya, membincangkan Palestina di tanah air menemukan arti pentingnya. Kita perlu menjadikan gelombang kesadaran publik dunia atas apa yang terjadi di Palestina ini sebagai kesempatan untuk belajar, termasuk belajar mempertanyakan asumsi-asumsi dalam keberagamaan kita. 

Mengapa di antara kita ada yang berpikir bahwa Gaza mengalami kehancuran karena Muslimnya radikal atau tidak moderat? Mengapa sampai punya kekhawatiran bahwa menyuarakan tentang Palestina akan disebut radikal atau mendukung kelompok “sebelah”? 

Problem seperti apa yang dibayangkan ada di Palestina sehingga muncul pikiran bahwa moderasi adalah solusinya? Adakah hubungan antara Moderasi Beragama sebagai diskursus di tanah air dengan konteks global? 

Wa ba’du, masih banyak yang masih bisa kita pelajari. Masih banyak yang masih bisa kita pertanyakan dan refleksikan dari keberisalaman kita.