Sejak akhir bulan Dzulqaidah 1442 H. kemarin, linimasa Facebook dan Instagram saya disesaki dua narasi utama, yakni amalan dan ritual terkait bulan Dzulhijjah dan peringatan Haul Syekh Samman Al-Madani. Wacana terakhir ini semakin menggelora bahkan bisa dibilang mengalahkan postingan terkait amalan tersebut.
Di tengah persiapan Idul Adha atau hari raya kurban yang baru saja kita rayakan, postingan terkait peringatan haul Syekh Samman di masyarakat Banjar makin mendekati puncak. Sebagaimana kita ketahui, Syekh Samman adalah pendiri tarikat Sammaniyah yang telah dikenal oleh masyarakat muslim di Indonesia, terutama di tanah Banjar. Nahdlatul Ulama (NU) memasukan atau mengakui keabsahan tarikat Sammaniyah sebagai salah satu tarekat mu’tabaroh (masyhur).
Banyak yang menyebut bahwa nama Syekh Samman semakin kondang dan mendapatkan tempat di masyarakat Banjar, adalah peran dari salah satu ulama kondang, yakni KH. Zaini Ghani atau lebih populer dengan panggilan Guru Sekumpul. Lewat ceramah, pembacaan manaqib (Hagiografi), hingga pelaksanaan haul yang dilakukan oleh Guru Sekumpul, Syekh Samman menjadi bagian dari masyarakat Banjar.
Akibatnya, banyak dari masyarakat Banjar yang rutin melaksanakan peringatan haul dan pembacaan hagiografi dari Syekh Samman hingga sekarang. Walau ada perbedaan pendapat soal relasi Guru Sekumpul dengan tarikat Sammaniyah, namun pemuliaan atas sosok Syekh Samman tidak terpengaruh sama sekali. Sebagian masyarakat Banjar percaya bahwa sosok bernama lengkap Syekh Muhammad bin Abdul Karim as-Samman al-Madani, adalah seorang wali.
Kemudian, sepeninggal Guru Sekumpul, memori masyarakat Banjar atas sosok syekh Samman dirawat lewat pembacaan manaqib dan peringatan haul yang semakin massif diperingati akhir-akhir ini. Peringatan haul Syekh Samman tidak saja diperingati setiap tanggal 2 Dzulhijjah, namun gegap gempita haul tersebut sudah ditunggu oleh kebanyakan masyarakat Banjar sejak akhir Dzulqaidah hingga akhir bulan Dzulhijjah.
Para ulama yang memiliki relasi atau mentasbihkan dirinya sebagai murid Guru Sekumpul menjadi garda depan merawat tradisi haul dan pembacaan manaqib tersebut. Adapun pasca kehadiran media sosial, memori kolektif masyarakat Banjar tersebut dirawat lewat berbagai konten terkait Syekh Samman, mulai dari amalan, ritual, hingga peringatan haul yang disiarkan secara langsung lewat media sosial.
Kegiatan tersebut dilakukan baik oleh seseorang secara mandiri, beberapa kelompok anak muda, hingga penggerak majelis taklim yang sangat aktif menyiarkan dan memproduksi konten-konten tersebut. Akibatnya, setiap bulan Dzulhijjah dalam peringatan haul Syekh Samman tidak saja dirasakan fisik, namun juga terasa meriah hingga ke ruang digital.
Di ranah digital, narasi terkait Syekh Samman termasuk amalan-amalan tarikat Sammaniyah menjadi sangat cair dan populer. Artinya, siapa saja berhak menjadi konsumen dan tidak terikat pada apapun. Namun, di sisi lain, terutama dalam tradisi peringatan haul, terdapat dimensi pertarungan ingatan dan identitas secara bersamaan, terutama di media sosial.
Jadi, pemuliaan atas sosok Syekh Samman tidak saja menjadi identitas tarikat Sammaniyah yang juga lekat dengan tradisi Islam Sunni, di mana kedua entitas tersebut adalah bagian dari identitas keislaman mayoritas masyarakat Banjar. Walau kini banyak mengalami banyak distorsi, pergeseran, dan perubahan.
Sebagaimana dijelaskan di atas, kehadiran peringatan haul Syekh Samman memiliki dimensi pertarungan ingatan dan identitas secara bersamaan. Jadi, haul atau berbagai hal terkait Syekh Samman di media sosial di satu sisi mengubah banyak hal, seperti relasi mursyid-murid, ijazah-sanad, hingga ikatan dalam sebuah ordo tarikat.
Sebaliknya, di sisi lain, maraknya konten terkait haul Syekh Samman di masyarakat Banjar malah dapat dimaknai sebagai bagian dari usaha merawat ingatan atau sebagai penghubung antar generasi. Mungkin kita bisa berdebat panjang soal ini, namun yang pasti dinamika Syekh Samman ini kita belajar bahwa pemaknaan atas peringatan haul seorang ulama jadi semakin kompleks dan rumit.
Hal ini pernah dijelaskan oleh Nur Syam dalam buku Islam Pesisir. Menurut Guru Besar pada Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Sunan Ampel bahwa haul orang suci dewasa ini telah memasuki dimensi baru, sebagai penghubung bagi generasi penerus dengan generasi pendiri. Nur Syam melihat haul sebagai tradisi dari ordo keagamaan, seperti tarekat atau pesantren. Kita boleh saja tidak setuju pandangan Nur Syam tersebut, tapi konsepnya tentang koneksi antar jemaah dalam peringatan haul justru sangat membantu melihat relasi lebih besar dalam media sosial.
Kita sebagai masyarakat digital tentu merasakan hal yang sama dalam berbagai aktivitas media sosial sehari-hari. Oleh sebab itu, apakah kita masih bisa berdebat batas-batas tradisional beragam ideologi atau identitas tertentu, sebagaimana pertanyaan di atas, atau jangan-jangan kita sebaliknya bisa mempertanyakan balik apakah identitas tersebut masih bisa dipertahankan?
Fatahallahu alaina futuh al-arifin