Pada perjalanan sejarah Islam, teori politik yang pertama kali muncul adalah tentang jabatan kepala negara atau pemimpin. Dalam memilih kepala negara, hal yang menjadi penting adalah persyaratan yang harus dimiliki oleh calon kepala negara. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad Saw:
إذا ضيعت الأمانة فانتظر الساعة، قال: كيف إضاعتها؟ قال: إذا وسد الأمر إلى غير أهله فانتظر الساعة
“Apabila amanat itu disia-siakan, maka tunggulah datangnya hari kiamat. Dikatakan kepada beliau, Wahai Rasulullah, apakah maksud menyia-nyiakan amanat itu? Rasulullah Saw bersabda, apabila perkara itu diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah datangnya kiamat.”
Hadis tersebut dapat dipahami bahwa menyerahkan suatu perkara harus kepada ahlinya. Dalam hal kepala negara, tugas kenegeraan harus dilimpahkan kepada orang yang (dianggap) paling kompeten dan mampu menyandang tugas tersebut. Itulah pentingnya menetapkan barometer persyaratan bagi calon kepala negara.
Di antara syarat yang harus dipenuhi oleh seorang calon kepala negara adalah mengenai persyaratan kesehatan. Al-Mawardi mengenai persyaratan kesehatan dalam kitabnya Al-Ahkam As-Sulthoniyah mengklasifikasikan penyakit yang mungkin diderita seorang kandidat kepala negara ke dalam tiga jenis penyakit sebagai berikut:
Pertama, cacat panca indra. Cacat panca indra terbagi lagi menjadi tiga bagian, yaitu cacat yang dapat menghalangi seseorang untuk diangkat sebagai pemimpin, cacat yang tidak menghalangi seseorang untuk diangkat sebagai pemimpin dan cacat yang masih dipeselisihkan oleh ulama.
Cacat yang dapat menghalangi seseorang untuk diangkat menjadi pemimpin adalah hilang ingatan dan hilang penglihatan. Hilang ingatan yang memiliki kemungkinan untuk sembuh seperti pingsan tidak menghalangi seseorang untuk diangkat menjadi pemimpin dan ia tidak harus mengundurkan diri dari kepemimpinannya sebab cacat jenis ini tergolong penyakit ringan dan dapat pulih dalam waktu dekat. Sedangkan hilang ingatan yang berkepanjangan dan tidak bisa diharapkan kesembuhannya dapat menghalangi keberlangsungan kepemimpinannya.
Adapun seorang pemimpin yang mengalami kebutaan, kepemimpinannya tidak dapat dilanjutkan. Alasannya karena jika kebutaan dapat menghalangi seorang hakim untuk melanjutkan tugasnya dan memberikan kesaksian, tentunya hal tersebut lebih menghalangi seseorang untuk diangkat sebagai pemimpin. Jika yang terjadi hanya rabun malam maka hal itu tidak menghalanginya untuk diangkat sebagai pemimpin.
Pasalnya, penyakit tersebut hanya terjadi pada waktu istirahat saja dan memungkinkan untuk sembuh. Adapun penglihatan yang lemah jika masih mengenali orang hal itu tidak menghalinganya, berbeda jika sudah tidak bisa mengenali orang maka keadaan tersebut menghalanginya untuk diangkat sebagai pemimpin dan melanjutkan kepemimpinannya.
Sedangkan cacat yang tidak menghalangi seseorang untuk diangkat sebagai pemimpin terbagi menjadi dua, yaitu cacat penciuman yang menyebabkan tidak bisa mencium bau sesuatu dan hilangnya alat perasa yang menyebabkannya tidak bisa membedakan jenis-jenis rasa makanan. Kedua jenis cacat tersebut tidak memengaruhi kepemimpinan seseorang. Sebab keduanya hanya berpengaruh terhadap urusan kenikmatan dan tidak berpengaruh terhadap cara berpikir dan bertindak.
Adapun cacat pancaindra yang masih diperselisihkan oleh ulama ada dua, yaitu tuli dan bisu. Terjadi silang pendapat di kalangan ulama mengenai penunjukan seorang pemimpin yang menderita kedua cacat tersebut. Ada yang berpendapat bahwa kedua cacat tersebut dapat menghalangi penunjukan kepemimpinan karena keduanya dapat menyebabkan seorang pemimpin tidak dapat menjalankan tugasnya dengan baik. Sementara itu, ulama lain berpendapat bahwa kedua cacat tersebut tidak dapat menghalangi penunjukan kepemimpinan.
Kedua, cacat anggota tubuh. Cacat anggota tubuh terbagi menjadi empat bagian. Bagian pertama adalah yang tidak menghalangi seseorang untuk diangkat sebagai pemimpin dan melanjutkan kepemimpinannya.
Cacat anggota tubuh yang dimaksud di sini adalah cacatnya anggota tubuh yang tidak menghambat pikiran, tindakan, gerakan, dan kejernihan pandangan, seperti terpotongnya kelamin dan dua testis. Karena hilangnya dua anggota tubuh tersebut hanya menghambat alat reproduksi, tidak menghambat pikiran dan kecerdasan.
Bagian kedua yaitu yang dapat menghalangi seseorang untuk diangkat sebagai pemimpin dan melanjutkan kepemimpinannya. Yang dimaksud disini adalah cacatnya anggota tubuh yang dapat menghambat kinerja, seperti tidak memiliki kedua tangan atau yang dapat menghambat gerakan, seperti tidak memiliki kedua kaki. Hal itu dikarenakan dalam kondisi seperti itu ia tidak akan mampu menunaikan hak-hak rakyat, baik dalam hal optimalisasi kerja maupun progresnya.
Sedangkan yang ketiga adalah yang dapat menghalangi seseorang untuk diangkat menjadi pemimpin dan masih diperdebatkan mengenai keabsahannya dalam melanjutkan kepemimpinannya.
Cacat anggota tubuh yang dimaksud di sini adalah cacatnya anggota tubuh yang menjadikan seseorang hanya mampu melaksanakan sebagian dari tugas dan kinerjanya, seperti halnya memiliki satu tangan atau satu kaki.
Keempat adalah yang dapat menghalangi seseorang untuk melanjutkan kepemimpinannya dan masih diperdebatkan mengenai keabsahannya untuk diangkat sebagai pemimpin.
Cacat anggota tubuh yang dimaksud di sini adalah cacat ringan yang tidak sampai menghambat optimalisasi kerja dan progresnya, seperti terpotongnya hidung, atau rabunnya salah satu mata.
Ketiga, cacat perbuatan. Adapun cacatnya kecakapan dalam bergerak terbagi menjadi dua, yaitu: Hajr (dikuasai), adalah seorang pemimpin dikuasai oleh bawahannya dalam menunaikan tugas-tugas kepemimpinannya, tetapi mereka tidak memperlihatkan sikap membangkang dan menyulitkan rakyat.
Hal itu tidak menggugurkan jabatan kepemimpinannya dan tidak merusak legalitas jabatannya. Walaupun demikian, mereka tetap harus dipantau dalam menunaikan tugas-tugas kepemimpinan.
Jika tindakannya sesuai dengan hukum agama dan prinsip keadilan, ia boleh diakui sebagai pelaksana kebijakan dan penegak hukum, dan Qahr (ditawan), adalah seorang pemimpin jatuh dalam tawanan musuh dan tidak mampu untuk membebaskan diri dari penawanan itu.
Dalam kondisi seperti itu, ia harus diberhentikan dari jabatannya karena tidak mungkin memikirkan urusan kaum muslimin, baik musuh yang menawannya itu adalah orang-orang musyrik maupun kaum muslimin yang berontak.
Beberapa prasyarat di atas adalah ikhtiar para ulama agar seorang pemimpin bisa menjalankan tugasnya dengan baik. Namun prasyarat di atas bukanlah kewajiban, melainkan hanya anjuran sebagai salah satu bentuk tindakan preventif agar seorang pemimpin bisa menjalankan tugasnya dengan baik.
Wallahu A’lam.