Memeriksa Ulang Makna Kafir dari Film Muhammadiyah dan Teologis

Memeriksa Ulang Makna Kafir dari Film Muhammadiyah dan Teologis

Makna kafir diperbebatkan, padahal ya tidak gitu amat

Memeriksa Ulang Makna Kafir dari Film Muhammadiyah dan Teologis

Salah satu kosa kata dalam film Sang Pencerah (2010) lalu dan  enjadi pemicu konflik adalah kata kafir. Betapa label ini telah dengan mudah menyulut kekerasan.

Setidak-tidaknya, penanda kafir terhadap upaya pembaruan Ahmad Dahlan telah mendorong pengikut Kiai Penghulu membakar Langgar Kidul. Betapa mengenaskan, sebuah tempat ibadah yang suci dibakar oleh sekelompok Muslim sendiri.

Lalu, bagaimana kita memahami kata kafir agar ia tidak dengan mudah dijadikan tameng untuk menyerang lawan dan menggampangkan persoalan yang kompleks terkait hubungan kemanusiaan? Ada dua rujukan yang perlu dilihat agar siapa pun tak dengan lancang dan lancung mengecap orang lain kafir untuk membenarkan penyerangan, yaitu kitab suci dan sejarah Nabi.

Yang pertama adalah sumber mutlak yang tidak bisa diganggu gugat keabsahannya, namun pada waktu yang sama ia juga mengandaikan pelbagai penafsiran. Sementara yang kedua adalah praktik Nabi dalam menyemai nilai-nilai kitab suci, yang kadang tak disebutkan secara tersurat dalam Alquran. Dengan demikian, tidak ada kata-kata dalam kitab suci yang berfungsi sebagai sumbu pendek, sekali disulut langsung meledak.

Menurut Rudi Paret dalam “Mohammed und der Koran: Geschichte und Verkuindigung des Arabischen Propheten” sebagaimana dikutip oleh Marylin Robinson Waldman dalam “The Development of the Concept of Kufr in The Qur’an” (1968), kata terkait dengan kata kafir, yang berasal dari k-f-r, berjumlah 500 kata turunan. Betapa konsep kafir dengan sendirinya tidak bisa dengan mudah diletakkan pada kening seseorang mengingat kata dasar ini mengandaikan hubungan medan semantik yang luas. Anehnya, banyak orang dengan ringan telah meringkus kafir adalah orang bukan Islam yang layak diperangi.

Hakikatnya, pengertian ini adalah sebagian dari konsep k-f-r yang lebih luas dan mengandaikan konteks tertentu. Oleh karena itu, kita tidak bisa hanya meringkus k-f-r ke dalam pengertian tidak beriman, namun ia secara relasional berkait dengan kata kunci lain dalam kitab suci seperti fasiq, fajr, zulm, i’tida, dan israf. Dengan kata lain, pengingkaran itu tidak saja pada Tuhan, tetapi perilaku manusia itu sendiri yang melawan perintah Tuhan. Misalnya, pengertian kafir yang dikaitkan perilaku boros atau mubazir dalam hal makan minum (al-A’raf: 31) mengetuk kepala banyak orang yang berbuka puasa di hotel bintang dengan makanan berlimpah. Meskipun mereka tidak mengasup semua menu di meja, tetapi tak ada orang yang mengusik prilaku `kafir ini’ dengan lantang.

Dengan pendekatan semantik Izutsu seperti ini, kafir itu bermakna lebih luas dan mengandaikan pandangan dunia (weltanschaaung) tersendiri. Ia bisa dilekatkan pada Muslim, bukan pelabelan secara serampangan seperti yang dilakukan oleh Kiai Penghulu terhadap Dahlan, tetapi mengandaikan pandangan menyeluruh.

Bagaimanapun, kita menyadari bahwa penyematan ini mempunyai beban trauma sejarah, di mana mereka yang dianggap kafir dengan sendirinya adalah musuh yang harus dibasmi. Kata kape di Aceh mengingatkan perjuangan Teuku Umar dan Cut Nyak Dhien yang menggelorakan perlawanan terhadap penjajah Belanda.

Namun, mengingat Nabi Muhammad tidak memerangi kafir Quraish dalam penaklukan Makkah, dengan alasan perang itu sebenarnya bukan karena sekelompok masyarakat itu mengingkari Tuhan, tetapi pertahanan diri dari serangan lawan. Dalam keadaan damai, justru Nabi telah mematerai perjanjian untuk memberi hak dan kewajiban yang sama terhadap setiap komunitas masyarakat yang berbeda, baik agama maupun suku.

Dari penjelasan di atas, kita seharusnya kembali pada misi nubuat Nabi yaitu penyempurnaan perilaku (akhlak) umat. Keluasan dari pengertian kafir seharusnya mendorong kita untuk melihat secara langsung bagaimana Nabi berhadapan dengan orang-orang yang berbeda agama dalam urusan ibadah dan sosial. Sebagai wujud yang paling nyata dari Alquran, betapa Nabi dengan tanpa kikuk turut memanggul keranda jenazah Yahudi yang melintas di depannya. Sementara, sekarang begitu banyak orang berprilaku sebaliknya dengan meng- anggap Yahudi adalah musuh yang nyata.

Dengan ringan orang ramai menganggap Gus Dur sebagai agen Yahudi, yang setelah ditelisik cercaan ini lahir dari pertikaian politik karena tokoh yang bersangkutan mendukung calon tertentu. Sebenarnya film Sang Pencerah telah mengajarkan kita bahwa penyerangan terhadap Langgar Kidul itu karena Masjid Kiai Penghulu telah ditinggalkan oleh jamaah. Belum lagi, sang kiai sendiri pun mengakui bahwa ia merasa terganggu oleh kewibawaannya yang makin melorot. Dengan kata kafir, sang kiai telah berhasil memantik amarah kaum santri untuk bertindak kasar.

Fenomena seperti ini akan terus terulang. Untuk itu, kita harus memeriksa ulang makna semantik kafir yang serampangan. Tak pelak, Jurgen Habermas mengaitkan pengetahuan dan kepentingan, karena sejatinya yang terakhir kadang menuntun manusia untuk mengelola wacana. ●