Membunuh

Membunuh

Membunuh

Oleh: Rusdi Mathari

“Oleh sebab itu Kami tuliskan atas Bani Israil bahwa barang siapa membunuh satu jiwa bukan lantaran jiwa atau pengrusakan di muka bumi, [mereka] seakan membunuh manusia kesemuanya. Dan barang siapa menghidupi satu jiwa, [mereka] seakan menghidupi manusia kesemuanya.”

Ayat ke-32 Surah Al Maidah itu, sebetulnya adalah penjelasan mengenai kisah dua anak Adam: Qabil dan Habil. Nama keduanya tidak disebutkan di Al Quran kecuali lewat beberapa hadis. Qabil adalah kakak, dan Habil adalah adik. Injil menyebutnya sebagai Kain dan Abel.

Syahdan mereka mempersembahkan kurban tapi hanya kurban Habil yang diterima. Nafsu mendorong Qabil untuk membunuh adiknya tapi sesudahnya, pada saat mengubur adiknya, penyesalan luar bisa membekap Qabil.

Dari cerita tersebut lalu muncul kesimpulan moral “Barang siapa membunuh satu jiwa…” Maksudnya adalah pembunuhan yang “bukan lantaran satu jiwa” alias vonis kisas, bukan pula lantaran perompakan atau pembajakan yang disertai pembunuhan. Tapi mengapa pesan moral dari ayat itu dikaitkan dengan Bani Israil?

Dalam “Tafsir Ayat-ayat Sosial Politik”, Syu’bah Asa menjelaskan ada dua jawaban. Pertama, berupa pengelakan. Mengutip Al Hasan, kisah itu sebetulnya tidak mengenai para anak Adam melainkan terjadi di kalangan Bani Israil sendiri. Dengan demikian, “anak Adam” hanya sinonim “manusia”, dan memang nama Qabil dan Habil tidaklah mutlak.

Kedua, Al Fakhrur Razi menjelaskan, ayat itu memang menyangkut Qabil dan Habil. Bahwa ada ungkapan “oleh sebab itu” di awal ayat, bukan berarti isyarat kepada perbuatan di antara mereka melainkan kepada segala akibat buruk dari pembunuhan: sesal, kesedihan mendalam, dan seluruh kerugian yang terbayarkan. Disebutnya Bani Israil, masih menurut Razi, tidak lain karena berhubungan dengan penekanan hukum moral di dalamnya. Dalam kalimat langsung, Razi menulis, “Bani Israil tahu maksud superlatif yang agung itu karena mereka bahkan sudah membunuh nabi-nabi dan rasul-rasul.”

Razi memang berbicara tentang kekejaman manusia, dan kekejaman manusia seringkali melebihi batas. Banyak kisah tentang itu. Salah satunya kisah dari masa ketika kebengisan dan kebencian yang menimpa kelompok manusia semisal pada zaman samurai di Jepang, ketika seorang petani dengan ketakutan menghampiri seorang samurai yang memanggilnya. Dia membungkuk di hadapan samurai itu, dan tepat pada saat itulah, sang samurai mengayunkan pedang di tangannya yang sudah terhunus ke leher si petani. Kepala si petani menggelinding. Tubuhnya rubuh. Lalu samurai itu berkata kepada kawannya, “Tajam juga pedangmu ini.”

Sudah barang tentu samurai itu tidak mengenal larangan membunuh seperti yang disebutkan oleh redaksi Al Maidah itu. Namrudz, Raja Babilonia yang kepada Nabi Ibrahim a.s. mendaku bisa menghidupkan dan mematikan, juga tidak mengenalnya. Dia menyuruh kepada tentaranya agar membawa dua kawula, lalu memerintahkan algojo untuk membunuh salah seorang dan membiarkan yang seorang lagi. Kepada Ibrahim, Namruds kemudian berkata, “Aku juga [seperti Tuhan], menghidupkan dan mematikan.”

Kekejaman orang berkuasa kepada yang dikuasai, akan tetapi tidak pernah selesai. Ia menjulur sampai pada zaman-zaman sekarang dan mungkin sampai waktu yang tidak terbatas. Manusia lalu hanya bisa menyaksikan, sekian juta terbunuh di tangan Stalin. Orang-orang Yahudi mati digas di kamp-kamp Hitler. Sekian warga lenyap setelah melewati kamar-kamar interogasi tentara dan aparat intelijen di Cina dan juga di era Uni Soviet.

Di Kamboja, Pol Pot dari Kmer Merah membantai dua juta orang lalu menumpuk tengkoraknya. Rezim Pinoche di Chili menculik anak-anak muda yang dituding “kiri” dan mereka tak pernah kembali kepada orang tua mereka. Ibu-ibu di Argentina terus-menerus mengacung-ngacungkan gambar potret anak-anak mereka yang dituduh oposan tapi kemudian dihilangkan oleh rezim Videla.

Di sini, di negeri ini, kisah-kisah kekejaman semacam itu juga tidak kalah mengerikan. Orang-orang di Langkat dibunuh karena tak mau ikut republik pada awal revolusi 1946. Mereka yang dituding PKI ditangkap dan dihabisi menyusul kisruh politik 1965. Demi ketertiban dan pembersihan, orang-orang yang dicap sebagai preman atau pencoleng didor begitu saja dalam operasi Petrus.

Para pemuda tidak pernah kembali lagi ke rumah-rumah mereka, setelah diguyur peluru oleh tentara dan diangkut entah ke mana dalam peristiwa Tanjung Priok. Anak-anak remaja di Timor Timur dibantai dalam bentrokan di Dili 1992. Sejumlah orang mati ketika perebutan kantor PDI yang dibekingi aparat pada 27 Juli 1997, dan para pemuda diculik, disiksa dan sebagian mungkin dibunuh, di hari-hari menjelang reformasi Mei 1998.

Lalu di Aceh dan kemudian di Papua, para perempuan diringkus, dihilangkan kehormatan dan nyawanya. Lihatlah Munir dan para wartawan yang juga dibunuh, tapi negara tak pernah berpihak sama sekali bahkan untuk mengungkap dalang dari pembunuhan mereka.

Daftar itu akan semakin panjang bila ditarik hingga pada zaman yang disebut sebagai perang melawan teror dewasa ini. Ketika orang-orang yang bahkan baru diduga sebagai teroris dibantai, tanpa didahului dengan pengadilan, tak perlu diributkan dan dibela tapi bahkan disoraki, persis seperti pembantaian yang menyusul kisruh politik 1965. Kejahatan mereka kemudian hanyalah sebuah kesimpulan dari satu-dua petugas intel, atau sekompi pasukan, atau sebatatilon tentara dan mereka mengatasnamakan sebagai bakti pada negara.

Tentu konsep mengenai nyawa pada para pembunuh tidak pernah sama dengan yang disebutkan oleh redaksi Al Maidah, “Oleh sebab itu, Kami tuliskan atas Bani Israil bahwa barang siapa membunuh satu jiwa…” Pada mereka, masalahnya selalu sama: nyawa siapa. Nyawa “kita” atau nyawa “mereka”. Dan kata Syu’bah Asa, para pembunuh memang tidak pernah mengenal nyawa manusia, seperti mereka sendiri bukan manusia.

Wallahu’alam.

#khotbahjumat