Insiden pembakaran bendera Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) saat acara memperingati Hari Santri Nasional (HSN) yang lalu, hingga kini terus digunakan oleh kelompok islamis untuk diframing bahwa Banser, Ansor dan sekaligus NU sebagai organisasi keislaman yang anti Islam dan menistakan ajaran Islam. Tuduhan yang seperti itu sangatlah menyudutkan dan tidak adil bagi kaum nahdliyin. Tuduhan tersebut juga sangat aneh dan janggal, karena NU sendiri adalah ormas Islam. Tidak mungkin ia bisa anti terhadap keyakinan agamanya sendiri. Dengan demikian, tuduhan tersebut sangatlah aneh bukan?
Tuduhan kaum islamis yang aneh tersebut sebenarnya bukanlah hal yang sama sekali baru. Selama ini kaum islamis memang menjadi sponsor utama upaya sikap yang main mutlak-mutlakan dan menuduh kelompok Islam yang berbeda sebagai sebuah kesesatan. Momentum pembakaran bendera HTI tersebut oleh mereka dijadikan bahan untuk meraih simpati publik tanah air untuk mendukung gerakan perjuangan Islam mereka. Yang pada dasarnya, hal itu hanyalah kamuflase saja. Bendera dan Islam hanya jadi bahan legitimasi nafsu politik mereka belaka.
Dalam kasus pembakaran bendera HTI tersebut, sayangnya ada yang luput untuk dimengerti oleh publik tanah air tentang gerakan mereka yang menjadikan Islam sebagai kamuflase kepentingan politik. Keluputan pemahaman ini yang membuat banyak publik muslim tanah air mempercayai begitu saja propaganda dan narasi yang dibikin-bikin oleh para islamis ini.
Keluputan pemahaman publik tanah air tentang motif utama dibalik propaganda yang mengajak kaum muslim tanah air untuk membela kalimat tauhid tersebut disebabkan karena minimnya kaum muslim di Indonesia yang memahamai sejarah aliran kelompok Islam klasik dan peta dunia Islam global kontemporer.
Banyak kalangan muslim hanya memiliki pemahaman bahwa apapun yang mempunyai simbol yang bernuansa kearab-araban adalah manifestasi dari ajaran Islam. Minimnya pemahaman akan sejarah peradaban Islam klasik yang penuh gejolak dan peta dunia Islam kontemporer tersebutlah yang kemudian membikin mereka percaya begitu saja atas narasi kaum islamis yang mempropagandakan bahwa bendera tersebut adalah bendera tauhid.
Perlu dipahami oleh kaum muslim di tanah air bahwa Islam saat ini sudah sangat banyak perkembangan dan perubahannya sejak pertama kali diajarkan oleh kanjeng nabi Muhammad Saw pada abad ke 7 masehi yang lalu. Bahkan dinamika perubahan-perubahan dalam Islam itu sudah terjadi tidak lama setelah nabi Muhammad Saw wafat. Setelah nabi wafat, ada peristiwa yang bernama Perang Shiffin. Perang tersebut adalah perang antara sahabat Ali bin Abi Thalib dengan Mu’awiyah bin Abi Sufyan.
Peristiwa perang tersebut memiliki implikasi besar bagi dinamika awal mula terjadi pertentangan-pertentangan antar umat Islam. Pasca peristiwa perang tersebut, kemudian memunculkan berbagai golongan-golongan Islam yang mempunyai tafsir atas ajaran Islam yang berbeda-beda. Bahkan, dari berbagai kelompok aliran Islam yang lahir dari perpecahan itu melahirkan aliran Islam yang mempunyai tafsir atas ajaran Islam yang sangat kaku dan sempit. Kelompok tersebut bernama Khawarij dengan karakteristik yang mudah sekali mengkafir-kafirkan kelompok Islam yang memiliki pemahaman keislaman yang berbeda dengannya.
Selain kita perlu memahami sejarah klasik aliran dalam Islam, kaum muslim tanah air juga perlu memahami peta konstelasi dunia Islam global saat ini. Dunia Islam saat ini sangat tidak bisa dibaca secara hitam putih. Perpecahan yang terjadi juga semakin banyak dan dinamikanya semakin rumit.
Dalam dunia Islam saat ini, ada istilah yang bernama Islam transnasional. Islam transnasional ini merupakan ajaran Islam yang lahir dari kelompok-kelompok Islam di Timur Tengah pada kisaran satu abad yang lalu. Para kelompok Islam transnasional tersebut mulai berinteraksi dan masuk di Indonesia sejak tahun 1970 an ketika banyak alumni Masyumi yang dilarang orde baru menjalin kerjasama dengan gerakan salafi wahabi dari Arab Saudi.
Kelompok salafi wahabi ini memiliki karakteristik yang sangat leterlijk dalam memahami dan menafsirkan ajaran Islam. Dalam buku Ilusi Negara Islam (2009) yang dieditori Gus Dur dkk menyebutkan bahwa ada kemiripan antara ajaran wahabi dengan kelompok khawarij dalam sejarah Islam klasik. Kesamaan mereka terletak pada kecenderungan mereka yang mudah sekali menyesat-sesatkan kelompok yang berbeda dengannya.
Titik yang paling berbahaya salafi wahabi adalah ketika ia berkolaborasi dengan kelompok Islam garis keras lainnya yang berasal dari Mesir yang bernama Ikhwanul Muslimin (IM). Persilangan keduanya kemudian melahirkan kelompok teroris dalam Islam yang bernama al-Qaeda. Al-Qaeda inilah dalam pimpinan Osama bin Laden pada tahun 2001 melakukan aksi teror paling banyak menewaskan manusia di gedung WTC, Amerika Serikat.
Kelompok Islam transnasional lain yang masuk di Indonesia adalah Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). HTI ini didirikan oleh Taqiudin Al-Nabhani pada tahun 1952 di Yerusalem Timur, Yordania. Gerakan HTI ini memiliki motif utama untuk meraih kekuasaan politik di setiap negara. Di Indonesia sendiri sebenarnya kelompok ini sudah dibubarkan. Akan tetapi, eksponen pengurus dan anggota kelompok ini masih banyak melakukan propaganda politik dengan menggunakan legitimasi simbol Islam.
Kelompok Islam yang menggunakan motif politik untuk legitimasi kepentingan politiknya tersebut sangat berbeda dengan ajaran Islam yang dibawa oleh kelompok Islam moderat yang sudah lebih lama masuk di Indonesia. Ajaran Islam moderat menjadikan spirit Islam untuk membangun bangsa.
Berbeda dengan kelompok Islam moderat yang menjadikan Islam untuk membangun bangsa, kelompok Islam transnasional malah menggunakan legitimasi Islam untuk merongrong kekuasaan negara. Dengan demikian, ketika Islam hanya berfungsi sebagai alat stempel nafsu politik, sebagaimana yang dilakukan oleh kaum Islam transnasional. Hal ini malah membuat Islam kehilangan substansi ajarannya.
Dari sekian bentuk gerakan Islam transnasional kontemporer, mulai wahabi, ikhwanul muslimin, hingga HTI, semuanya memiliki agenda politik kekuasaan dengan menggunakan ajaran Islam sebagai legitimasinya. Dengan demikian, penting bagi kita sebagai kaum muslim di Indonesia untuk memahami peta gerakan Islam transnasional ini, supaya kita tidak mudah dikelabui oleh nafsu-nafsu politik yang menggunakan Islam sebagai legitimasi dan simbolnya. Sebagaimana propaganda politik yang menggunakan insiden pembakaran bendera HTI yang terjadi saat ini. Wallahu a’lam.
M. Fakhru Riza, Penulis adalah pegiat aktif di Islami Institute Jogja.