Membingkai Spiritualisme: Ego atau Pengalaman Religi?

Membingkai Spiritualisme: Ego atau Pengalaman Religi?

Membingkai Spiritualisme: Ego atau Pengalaman Religi?

“Berangkat haji itu sama dengan berangkat menuju kematian,” berikut ucap seorang kakek kepada cucunya saat menanyakan kabar bapaknya yang sedang menuju tanah suci. Ucapan tersebut dimaksudkan untuk menggambarkan bagaimana sulitnya medan yang dihadapi dan sulitnya memberi kabar kepada sanak family di tanah air

Ada seorang bapak-bapak bercerita kepada saya bagaimana sulitnya berkomunikasi dengan sanak famili saat berada di tanah suci pada masa beliau berangkat sekitar tahun 90an. Menelpon pun susah, karena belum ada handphone masa itu pungkas bapak tersebut. Memang pada masa itu menelpon ke tanah air masih mengharapkan telpon umum yang antrinya luar biasa panjangnya.

Setelah handphone mulai mewabah, komunikasi dari jemaah ke sanak family pun menjadi lancar. Tak hanya telpon tapi juga pesan singkat menjadi pilihan yang murah dan ringan di kantong. Pada masa awal handphone, pengurus masjidil Haram mulai memasang papan pengumuman melarang mengambil foto yang seperti biasanya diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa.

Hingga tahun 2000an, handphone adalah barang haram di sekitar masjidil haram baik mekkah ataupun madinah. papan peringatanpun masih terpapang sampai sekarang. namun seiring perjalanan waktu, peraturan yang terpampang di beberapa rambu hanyalah menjdi penghias saja lagi, sejarah pemboikotan kepada orang-orang muslim di masa lalu pun yang konon tergantung di dinding ka’bah pun lapuk dan dilupakan, sehingga hilang ditelan masa.

Namun setelah handphone yang semakin canggih dan kamera menjadi salah satu fasilitas yang dikedepankan, sehingga peraturan yang pasang di hampir seluruh sudut masjidil Haram ini tak diindahkan lagi. Semua orang sekarang seakan-akan bebas melakukan foto di seluruh sudut masjid dan tak ketinggalan foto dan bahkan video sekitar lapangan tawaf.

Saya pernah mendengar seorang anak mengirimkan sebuah tulisan di media kertas, kemudian dititipkan kepada ibunya yang mau menjalankan ibadah umrah, kemudian sang ibu berfoto dengan tulisan tersebut di depan masjid nabawi di Madinah dan masjidil haram di Mekkah. Foto tersebut dikirimkan via media sosial kepada sang anak yang berada di Indonesia. Kemudian sang anak  memajang foto tersebut di media sosial, dan seterusnya saling lempar komentar memuji sang ibu yang selalu ingat dan mendoakan sang anak di tanah suci.

Inilah fenomena sekarang, dengan teori yang biasanya dimunculkan “No Photo, Hoax” (Tidak ada bukti foto, maka itu berita bohong) maka memancing kebanyakan dari kita untuk selalu berfoto dan memajangnya di akun media sosial kita. Eksistensi kita pun menjadi sorotan, dan kadang berlanjut untuk dengan doa semoga bisa diberikan juga kesempatan untuk berkunjung ke sana.

Fenomena memfoto dan menbagikannya di akun media sosial sudah menjalar ke mana-mana, bukan hanya pada saat liburan, jalan-jalan ke suatu tempat, menonton konser musik, berolahraga di gym kesayangan dan lain sebagainya, fenomena ini juga menjalar ke sektor-sektor ibadah. Kita cek saja setiap pengajian atau majelis ta’lim tak sedikit orang yang mengakses akun media sosialnya, sambil mendengarkan sang guru menyampaikan tausiyah di depan minimal untuk mengupload atau menandakan dia berada di pengajian tersebut.

Berdebunya Realitas Spiritual

Jika dulu orang berduyun-duyun bertandang ke rumah orang yang baru datang haji atau umrah, sekedar mendengarkan pengalaman-pengalaman mereka di tanah suci. Sekarang mungkin sudah digantikan dengan foto-foto dan video-video yang mereka simpan di telepon gengam mereka. Tak ubahnya jika ada yang baru saja menghadiri sebuah pengajian atau majelis ta’lim, kita sering meminta rekaman video atau suara pada saat pengajian tersebut berlangsung.

Sekarang dengan fasilitas yang disediakan berupa siaran langsung oleh beberapa media sosial, kita yang tidak sempat hadir atau berhalangan karena jarak atau dengan alasan lainnya. Bisa mendapatkan kesempatan yang sama dengan orang yang berkesempatan hadir disana. Bermodal dengan pasokan kouta yang cukup besar atau mengandalkan wifi gratis maka kita pun bisa mengulang-ulang ceramah yang disampaikan beberapa waktu lalu.

Roland Barthes, seorang pemikir asal Perancis mengemukakan sebuah teori yang dia sebut dengan “Simbolik”. Sebuah objek menjadi sebuah simbol tatkala simbol itu berdasarkan konversi dan penggunaan, maknanya mampu menunjukkan sesuatu yang lain. (John Fiske, 2007:126)

Sebuah contoh yang dikemukakan oleh Roland Barthes, seorang Tsar muda dalam Ivan the Terrible yang dibaptis dengan koin mas sebagai adegan simbolik yang menunjukkan emas sebagai simbol kemakmuran, kekuasaan, dan status. (John Fiske, 2007:126). Coba diingat lagi berapa kali kita berfoto di depan rumah yang bagus, mobil mewah, dan di sebuah Mall, simbol apa yang ingin kita tampilkan?

Selain teori tentang simbol yang kurang digarap secara serius oleh Roland Barthes, ada satu lagi teori soal tanda yaitu Metomini. Metomini merupakan teori yang berjalan melalui sifat-sifat transposisi dari satu bidang realitas ke bidang realitas yang lain, maka metomini bekerja dengan mengasosiasikan makna ke dalam bidang yang sama. (John Fiske, 2007:132).

Teori ini mencoba menangkap sebuah realitas yang ingin ditampilkan, misalnnya sebuah foto yang menampilkan seorang pemuda memakai gamis salah satu merek terkenal dengan latar sebuah masjid terkenal di daerah ini. Maka metomini yang ditangkap adalah baju dan masjid tersebut yang sangat berkaitan, akan sangatlah bagus jika memakai merek ini bukan merek yang lain kalau mau ke masjid. Padahal jika kita mengamati gesturnya yang teduh maka metomini yang ditangkap seorang pemuda yang sedang bergembira karena mendapat baju yang bagus yang mau menghadiri majelis ta’lim. Inilah yang disebut dengan pergesaran makna bisa terjadi walau kita cuma mengalihkan focus perhatian.

“Satu foto beribu makna” adalah ungkapan biasa beredar di kalangan fotografer atau pecinta fotografi. Satu foto kita dan dibungkus dengan kata komentar akan foto tersebut akan melengkapi pemaknaan dalam sebuah foto yang siap beredar di dunia maya. Tak lama kemudian pun berapa simbol jempol atau hati yang datang menghiasi foto tersebut. Namun ada istilah yang sebenarnya lebih cocok, satu foto beribu simbol dan metomini yang bisa diambil.

Sekitar tahun 1990, ada sebuah istilah yang mulai terkenal yaitu konvergensi. Istilah ini bermakna sebuah kemampuan memaksimalkan teknologi berbasis komputer untuk mengemukakan dalam bentuk digital segala jenis informasi, dan untuk memproses, menyiarkan, meringkas dan menyimpannya, cenderung untuk mengubah perhatian publik dari jenis informasi yang sedang disampaikan -kandungannya- (Asa Bringgs & Peter Burke,2006; 329)

Teori konvergensi, simbol dan metomini sebenarnya sebuah instrumen yang sangatlah tepat jika kita ingin melihat bagaiman sebuah gambar, video atau informasi yang sekarang banyak beredar di dunia maya sekarang ini. Jika kita mencoba untuk jeli, betapa banyaknya berita yang bersileweran saat aksi-aksi yang berjilid-jilid ini, untuk menghiasi berita ini, dari jumlah yang dibesarkan, awan yang berbentuk, hujan yang bisa dimaknai berbeda jika aksinya dilakukan oleh lawan politik dan lain sebagainyalah.

Berita-berita itu sebenarnya bersifat sama dengan foto-foto atau status kita yang sering menghiasi akun media sosial kita, pada saat kita berada di masjid sedang mengikuti majelis ta’lim. Simbol apakah yang ingin kita tampilkan, atau metomini apa yang ingin kita sampaikan, atau kita mencoba memainkan konvergensi dalam akun media sosial kita. Mungkin ini cuma prasangka saya? Tapi ini bisa menambah debu dalam realitas spiritual kita.

Mungkin kita perlu melihat sesuatu yang berbeda, misalnya sebuah tempat ibadah yang memasang pengacau sinyal telepon gengam di tempat ibadah, agar para pengikut ibadah di tempat ibadah itu tidak lagi sibuk dengan telepon gengamnya. Ah, mungkin itu bisa saat kesadaran kita akan kesakralan di tempat ibadah kita sudah sangat rendah.