Membincang Nama Islami

Membincang Nama Islami

Membincang Nama Islami

Pukul enam tadi pagi, saya di-WA teman. Dia bertanya, bagaimana memberi nama anak yang “Islami”? Saya jawab, dari sisi siapa pemberi nama, pengalaman saya, ada tiga: orangtuanya sendiri, orang terdekat semisal kakek atau nenek si bayi, dan orang yang kita nilai sholeh.

Dari sisi makna nama, kita bisa memilih nama-nama Tuhan, nama yg memiliki makna harapan, peristiwa yg ingin dikenang, nama alam atau mengambil nama orang Sholeh/panutan. Semuanya ada doa dan harapan.

Dari sisi bahasa, silakan memilih, bahasa Ibu, bahasa Arab, bahasa spanyol, dan lain-lain. Dari sisi bahasa, tidak ada yang paling istimewa, tidak ada pula yang paling rendah.

Pengalaman keluarga, bapak saya kasih nama yang simpel, bahkan satu kata: Mubarok, Nihayah, Rihanah, Yahya, Abdullah, Muiz, dan Hamzah. Bapak saya juga namanya satu saja: Hamzah. Kakek saya juga hanya satu: Irsyad. Mungkin jaman itu, trennya pakai satu kata, kecuali orang keraton, namanya panjang.

Hari ini nama anak panjang-panjang. Nama anak kami yg pertama 3 kata: Nata Nawa Chaerany. Yang kedua 2 kata: Naafi’ Ali. Keduanya belum punya akta kelahiran. Nama atau ejaan masih mungkin berubah. Tapi tidak akan mengubah pokoknya. Yang jelas, nama orangtua atau kakeknya tidak akan saya masukkan. Biar mereka yang menentukan.

Dari sisi bahasa, kedua nama anak kami itu, perkiraan kami, tidak terlalu “asing” di zaman sekarang atau saat nanti mereka besar. Tapi saya belum tahu, ketika sudah menyandang posisi, pekerjaan, hobi, nama itu masih pantas gak, atau akan terdengar “asing”.

Namun jangan takut juga dgn “asing”. Jangan minder kalau orang Jawa mau kasih nama Bambang, atau orang Sunda mau kasih nama Dadang. Sekarang saya heran, nama-nama berbahasa Arab untuk anak perempuan begitu semarak, termasuk nama-nama tokohnya seperti Aisyah, Fatimah. Namun nama untuk anak laki-laki tidak menunjukkan kesemarakan. Malah saya lihat dari jarang orang bernama Abu Bakar, Umar, Usman, Mu’adz, Abbas, apalagi Muawiyah. Ali adalah kekecualian.

Tidak bisa ditampik, pemilihan nama juga bias “perasaan”. Saya berkeyakinan, seseorang kebanyakan memilih nama Ali, bukan Abu Bakar atau Mu’adz atau Amr, bukan, antara lain, karena tidak menokohkan sahabat Abu Bakar. Bukan pula karena pengikut Syiah. Tapi nama Ali terdengar lebih “ganteng”. Begitu pula mengapa lebih banyak orang memilih nama Aisyah atau Fatimah, dan bukan Khodizah. Aisyah atau Fatimah lebih terdengar cantik. Tidak keliru. Mengapa?

Sebab, ini pilihan. Hanya saja perlu kita sadari, bahwa pilihan ini bias. Bias makin sempurna dengan mengutak-atik huruf. misalnya, Aisyah dengan membuang huruf “H”. Jadi “Aisya”. Oleh karena itu, dari awal saya tidak membahas nama nama Islami, untuk meminimalisir bias keislaman kita.⁠⁠⁠⁠