Membincang Lafal Ijab Kabul ala Presiden Jokowi

Membincang Lafal Ijab Kabul ala Presiden Jokowi

Pilihan bahasa Jokowi dalam menikahkan putrinya begitu menarik, bagaimana melihatnya dari segi semantik dan agama?

Membincang Lafal Ijab Kabul ala Presiden Jokowi

“..Saya nikahkan dan saya jodohkan anak kandung perempuan saya Kahiyan Ayu dengan Engkau, Muhamad Bobby Afif Nasution bin insinyur Erwin Nasution almarhum, dengan maskawin seperangkat alat salat dan emas seberat 80 gram dibayar tunai.” 

Kalimah di atas dilafalkan Presiden Joko Widodo sebagai tanda ijab (menyerahkan) putrinya kepada Bobby Nasution. Bobby Nasution menerima atau mengabulkan (kabul) penyerahan (ijab) tersebut, dengan lafal:

“Saya terima nikahnya dan jodohnya Kahiyang Ayu binti Joko Wododo dengan maskawin seperangkat alat salat dan emas seberat 80 gram dibayar tunai.”

Saya ingin sedikit membahas kata “Jodoh” yang pilih dalam lafal ijab dan kabul “perkawinan istana” ini. Saya menganggap ini penting kita bahas, bukan “dibahaslah”, tapi kita “diobrolkan”. Mungkin tidak terlalu penting juga sih,  namun setidaknya saya lebih mikir sedikit, ketimbang komentar di Twitter oleh Fadli Zon, wakil ketua DPR yang saya rasa akhlaknya kurang itu.

Sekilas, saya membayangkan seandainya Wapres Jusuf Kalla, sebagai saksi mengatakan, “Maaf Pak Presiden, mohon diganti kata ‘jodoh’ dengan ‘kawin’”. Pak JK punya wibawa untuk interupsi. Beliau, secara kultural menurut saya sudah seperti sudara tuanya, meski secara struktural adalah bawahannya. Lebih dari itu, beliau diidentikan politisi yang muncul dari kalangan santri, sehingga mengertilah tata cara akad nikah yang lebih pas.

Ups, tentu saja “istana” sudah minta pertimbangan para ulama dan ahli bahasa terkait lafal ijab dan kabul, tersebut. Oleh karena itu, sudan pasti sah.

Ini “pernikahan istana”, tidak main-main soal hukum (agama). Masa lafal ijab dan kabul yang inti tidak diperhatikan? Tidak mungkin. Sound system, karpet, bunga, warna baju, buku tamu, tenda, makanan, kursi, hingga tempat parkir, pasti dipikirkan dengan cermat.

Mengapa saya “iseng” membayangkan Pak JK mengatakan “tidak sah”?

Pertama jika Pak JK “disetting”, bersandiwara “menginterupsi” pelafalan ijab dan kabul, akad nikah akan lebih segar dan diskursif. Tidak, tidak mengganggu wibawa upacara sakral tersebut. Di kalangan pesantren, pelafalan ijab dan kabul akad nikah biasa sekali diulang-ulang, karena dinilai tidak tepat, dan oleh karena itu tidak sah. Wajib diulang lagi, hingga tepat.

Mengapa memilih “jodoh”, bukan “kawin”?

Yang jamak saya dengar kalimah ijab adalah “saya nikahkan engkau dan saya kawinkan engkau” (sebagai terjemahan dari bahasa Arab “ankahtuka wa zawwajtuka“) daripada “saya nikah nikahkan engkah dan saya jodohkan engkau”. Tapi sekali lagi tidak masalah dengan kata “jodoh” tersebut, akad nikah sah. Saya menduga Presiden Jokowi menghindari kata “kawin” dan menggantikannya dengan jodoh. Mengapa kata kawin dihindari?

Karena punya makna “adegan ranjang”. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata kawin memang punya beberapa makna: (1) membentuk keluarga dengan lawan jenis; bersuami atau beristri; menikah. (2) melakukan hubungan kelamin; berkelamin (untuk hewan) (3) bersetubuh. Sementara kata nikah dalam KBBI maknanya hanya satu, yakni ikatan perkawinan yang dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum dan ajaran agama.

Dapatlah dipahami mengapa Presiden Jokowi memilih kata jodoh dan menghindari kata kawin. Beberapa teman menilai pemilihan kata “jodoh” ini terkesan jumawa. Penilaian ini muncul dari frasa “jodoh di tangan Tuhan”. Sebagian teman lagi mengatakan biasa saja. Kata jodoh dipakai juga dalam percakapan sehari-hari, seperti frasa “biro jodoh”. Presiden memilih kata “jodoh”, yang berarti (dalam KBBI) pasangan hidup, dinilai lebih lembut dan tidak konotatif.

*Selengkapnya bisa dibaca di situs sindikasi kami ini, klik Alif.id