Memberi Bantuan ketika Pandemi, Mari Belajar dari Kisah Imam Ja’far al-Shadiq

Memberi Bantuan ketika Pandemi, Mari Belajar dari Kisah Imam Ja’far al-Shadiq

Memberi Bantuan ketika Pandemi, Mari Belajar dari Kisah Imam Ja’far al-Shadiq
Paket bantuan di masjid-masjid di Iran

Alkisah, ada seorang pemuda tertidur di salah satu tempat di Madinah. Ketika bangun, tas miliknya hilang. Ia lantas berpikir, bahwa jangan-jangan telah ada orang yang mencurinya. Lalu, ia bergegas mencari orang-orang di sekitarnya dan akhirnya bertemu dengan Imam Ja’far al-Shadiq. Terjadilah dialog di antara keduanya.

“Apakah engkau yang mengambil tasku?,” tanya si pemuda itu “agak menuduh”.

“Memangnya, ada barang apa di dalam tasmu itu?,” tanya Imam Ja’far al-Shadiq

“Uang seribu dinar ,” jawab si pemuda.

Selepas itu, Ja’far al-Shadiq mengajak si pemuda ke rumahnya (Ja’far al-Shadiq). Di sana, Ja’far al-Shadiq memberinya uang sebanyak nominal yang sama dengan isi tas milik si pemuda itu (seribu dinar). Si pemuda pun kembali ke rumahnya dengan membawa uang pemberian itu.

Tanpa disangka sebelumnya, ternyata tasnya berada di rumahnya. Ia kemudian menemui Ja’far al-Shadiq dan hendak mengembalikan lagi uang pemberian darinya itu. Namun, Ja’far al-Shadiq menolaknya. Dia mengatakan bahwa sesuatu yang telah keluar darinya tak boleh kembali lagi kepadanya.

Ada banyak hikmah yang bisa kita petik dari kisah yang terdapat dalam kitab al-Risalah al-Qusyairiyyah di atas, di antaranya adalah sebagai berikut:

#1 Memberi kepada yang membutuhkan

Pemberian yang kita berikan harusnya tepat sasaran. Ini bisa kita lihat dari apa yang dilakukan Imam Ja’far al-Shadiq kepada pemuda yang “kehilangan” tasnya itu. Meski, sebenarnya tak masalah juga jika kita memberi kepada siapa saja, tanpa melihat apakah yang kita beri itu membutuhkan atau tidak.

Dalam buku la berjudul Panduan Puasa Bersama Qurasih Shihab, Prof Quraish Shihab menjelaskan bahwa seorang pemberi akan tetap mendapat pahala atas pemberiannya itu meski yang diberi ternyata pura-pura miskin (pengemis abal-abal). Namun dengan catatan, pemberian itu harus dilandasi rasa ikhlas.

Namun, jika barang yang diberikan terbatas, seperti sekarang ini, maka pemberian hendaknya dialokasi dengan bijaksana dan kehatian-hatian agar benar-benar tepat sasaran. Jangan sampai yang membutuhkan tak mendapat bantuan, namun yang tak membutuhkan justru mendapatkannya. Donatur atau penyalur bantuan harus benar-benar menjalankan skala prioritas.

#2 Jangan latah menerima bantuan

Pemuda dalam kisah di atas, dengan kedewsaannya, tak merasa keberatan untuk mengembalikan apa yang sudah ia terima karena ia memang tak membutuhkannya lagi.

Ini menjadi pelajaran bagi kita bahwa bagi siapa saja yang tak layak mendapatkan bantuan (karena sudah mampu) harusnya berbesar hati untuk tidak menerima (apalagi meminta) bantuan. Biarlah yang benar-benar membutuhkan saja yang mendapatkannya.

#3 Keikhlasan tanpa pamrih

Sebenarnya tak masalah kita menerima kembali apa yang telah kita berikan kepada orang lain, selama kita tidak memintanya. Yang dilarang agama adalah meminta kembali apa yang telah diberikan. Nabi bersabda:

“Permisalan seseorang yang memberikan pemberian kemudian mengambil kembali hal itu darinya maka ia seperti seekor anjing yang memakan makanan hingga kenyang lalu memuntahkan makanan itu, maka kemudian ia memakan muntahannya kembali.” (HR.Tirmidzi)

Apa yang dilakukan Imam Ja’far al-Shadiq dengan tidak mau menerima kembali barang yang sudah diberikannya itu menjadi bukti bahwa ia benar-benar ingin dan ikhlas dalam memberi.