Salah satu keberhasilan terbesar Jokowi alias Mulyono adalah politisasi politik identitas. Terutama sejak kegagalan aksi 212, Jokowi berhasil membuat framing bahwa seolah-olah ancaman terbesar bangsa Indonesia adalah politik identitas. Framing ini bukan lagi teori-teori yang abstrak, melainkan menyasar target yang amat sangat kongkret: Anies Baswedan. Para buzzer dan influencer baik yang bayaran maupun non-bayaran mereproduksi framing Jokowi dengan menyiarkan kesan yang terus menerus mengenai Anies sebagai bapak politik identitas.
Sementara itu, Anies tidak secanggih Jokowi dalam merespons framing terhadap dirinya. Bahkan terkesan dia membiarkannya tanpa counter yang berarti. Seperti pikiran orang yang sekolah tinggi-tinggi (kontras dengan Jokowi), mungkin dia pikir publik bisa menangkalnya secara mandiri melalui akal sehatnya.
Kenyataannya publik kita tidak sekritis seperti dibayangkan oleh Anies. Mereka mudah sekali diperdaya oleh jargon, misalnya, Anies adalah ahli tata kata, bukan ahli tata kota. Bahkan klarifikasi Ahok di Mata Najwa yang mengatakan bahwa yang membuatnya masuk penjara bukanlah Anies tetapi Jokowi tidak mampu menetralisir jargon yang penuh muatan framing itu.
Maka, ketika kelas menengah mulai terbuka pikirannya bahwa Jokowi alias Mulyono memang raja Jawa, bukan presiden sebuah republik negara-bangsa modern, mereka tetap menolak Anies. Mereka marah dan benci Jokowi (figur yang dulu didukung sepenuh hati itu), tetapi tidak bisa menerima Anies sebagai alternatif. Anies tetap dianggap bapak politik identitas yang berbahaya.
Framing Jokowi terhadap Anies menancap sempurna di sanubari kelas menengah sekuler dan Muslim tradisionalis. Kelompok pertama alergi dengan Islam politik yang dilekatkan kepada Anies, sedangkan kelompok kedua melihat Anies adalah sosok yang dekat dengan Wahabi. Secara cerdik pasukan perang digital Jokowi memanfaatkan sentimen klasik ini. Lagi-lagi dalam hal ini Anies tidak berdaya, bahkan tidak melakukan sesuatu untuk membalasnya. Sebagai politisi dia payah!
Akibatnya kelas menengah yang sudah mulai kritis terhadap Jokowi tidak mempunyai orientasi yang jelas, khususnya mengenai figur alternatif. Dalam pilpres kemarin mereka mungkin mencoblos Ganjar, tetapi jelas dia tidak sepopuler Anies (dan Ahok). Lagi pula Ganjar adalah bagian dari PDIP yang suka tak suka telah membesarkan Jokowi hingga menjadi Raja Jawa seperti sekarang.
Keberhasilan politisasi politik identitas yang dilakukan oleh Jokowi alias Mulyono bisa terjadi karena keberhasilannya dalam menghancurkan kekuatan Islam politik pasca-212. Keberhasilan yang dielu-elukan oleh sejumlah aktivis HAM dan demokrasi, termasuk saya pada saat itu, adalah awal bagi pemantapan refeodalisasi ruang publik yang semakin intensif dan ekstensif setelah sang raja memasuki pemerintahan pada periode kedua. Sejak itu Jokowi semakin bablas, apalagi adanya masa pandemi yang memungkinkan negara melakukan intervensi luar biasa terhadap sumber daya politik dan ekonomi bangsa. Kontroversi soal nasab Ba’alawi akhir-akhir ini tidak terlepas baik langsung maupun tidak langsung dari skema-skema kekuasan seperti ini. King Mulyono konon amat sangat marah dengan Rizieq Shihab yang menuduhnya anak PKI.
Bertolak dari kepingan-kepingan realitas itu, saya melihat Jokowi atau Mulyono masih akan tetap relevan hingga tahun-tahun mendatang karena keberhasilannya menancapkan kekhawatiran yang luar biasa terhadap politik identitas (yang secara lebih spesifik mengacu pada Islam politik). Warisan politik ingatan ini tampaknya akan diteruskan oleh presiden terpilih Prabowo dan bahkan penerusnya lagi. Apa yang ditinggalkan oleh Jokowi sudah seperti keberhasilan Soeharto yang meninggalkan kekhawatiran luar biasa mengenai bangkitnya PKI.
Selama kelas menengah kita tidak mampu merefleksikan secara kritis warisan-warisan raja-raja Jawa tersebut, selama itu pula mereka akan kebingungan dalam menentukan mau dibawa kemana arah bangsa dan negara ini.
Berat negeri ini!