Beberapa waktu lalu, saya terima pesan berantai dengan tema “Bela Ulama”. Seorang da’i yang populer dengan sebutan ustaz Akhir Zaman menjadi tersangka ujaran kebencian. Belakangan saya tahu, meski belum pernah bertemu, yang bersangkutan satu almamater dengan saya. Sedih dan miris rasanya.
Info yang saya dapat, dalam salah satu ceramahnya, beliau mengobarkan kebencian pada salah satu etnis. Cenderung provokatif.
Menurutnya, aliansi China-Komunis-Syiah (dari mana pula aliansi ini terbentuk?) sedang menyusun strategi untuk hancurkan Indonesia. Banyak KTP yang dicetak di China dan Paris, lantas diisi dengan warga asing-sipit yang dipersiapkan untuk menjadi WNI di masa yang akan datang. Dalam waktu dekat (masih menurutnya) 200 juta warga asing tersebut akan serbu Indonesia. WNI asli akan ditenggelamkan. Kita semua akan disembelih seperti saudara-saudara kita di Syria. “Apa persiapan kita, la haula wala quwwata illa billah?”, begitu katanya.
Menanggapi pesan berantai tadi, saya menyanggupi. Lagipula, beliau adalah senior saya, pasti saya bela dengan cara saya.
Jadi begini, satu penerbangan Boeing 777 penumpang maksimum adalah hampir 400 orang. Untuk bawa 200 juta orang China ke Indonesia, butuh sekitar 500 ribu penerbangan. Penerbangan dari Guanzhou ke Jakarta langsung makan waktu 5 jam. Jadi total membutuhkan waktu 2.600-an juta jam penerbangan. Waktu yang kurang lebih setara dengan 300 tahun!
Asumsi dengan menggunakan satu pesawat. Jika (katakanlah) menggunakan 300 pesawat sekaligus maka butuh waktu satu tahun. Tapi pertanyaanya, mampukah bandara kita? Jika gunakan kapal, berapa total waktu yang dibutuhkan? Lagipula, siapa pula yang bersedia tanggung biaya migrasi besar-besaran tersebut?
Maka muncul pertanyaan, masuk akalkah ujaran ustaz tersebut? Sama sekali tidak!
Kadang ada dalih, “lho itu kan untuk mengingatkan kewaspadaan, mengapa malah melanggar hukum?”
Bagini, jika Anda berada di tengah pasar dan melihat bungkus plastik yang sebenarnya berisi sayuran. Rasa takut berlebih Anda menuntun Anda untuk menduga itu adalah bom. Apa yang Anda lakukan? teriak “ada bom” dan membuat seisi pasar kalang kabut, evakuasi dengan rasa panik, saling dorong, dan saling injak? Atau Anda memilih untuk lapor yang berwenang?
Selain hal di atas, banyak sekali materi ceramah yang tidak masuk akal. Masih ingat sawala logo BI di lembaran uang baru yang dianggap lambang palu arit? Partai yang sudah puluhan tahun terlarang, kadernya dibunuh, dipenjara, dan terusir dari tanah air. Karya-karyanya diberangus, ajarannya dilarang, dan tidak mungkin lagi lakukan recruitment selama tiga dekade. Bagaimana mungkin sekonyong-konyong menguasai bank sentral negeri ini? Tidak masuk akal!
Seseorang bisa saja ahli dalam satu bidang, tapi mustahil miliki kepakaran di semua bidang. Hal yang tidak kita mengerti, tanyakan kepada pihak yang kompeten. Tidak semuanya mesti dibawa dan diputuskan oleh seorang ustaz.
Terhadap komentar di luar kompetensi dai, jama’ah masih terkesan memasabodohkan. Mungkin ada satu-dua yang sadar, tapi tidak cukup berani untuk menyanggah. Untuk itu, cara kita bela ulama adalah dengan sampaikan bahwa ada kemungkinan materi yang perlu ditinjau ulang. Mungkin saja selama ini yang disampaikan ke jama’ah adalah salah, bahkan tidak masuk akal. Ingatkan dengan ajak berpikir logis seperti di atas.
Penceramah mendapat challenge dari jamaahnya sendiri. Ruang diskusi akan terbuka. Kabar hoax akan tereliminir dengan sendirinya. Jamaah lain juga tidak manggut-manggut saja dengar cerita yang janggal.
Ada kalimat mutiara yang sering saya dengar berbunyi, “Teman yang baik bukanlah yang selalu setuju padamu, tapi yang berkenan mengingatkanmu saat salah”. Saya kira berlaku pula untuk ustaz.
Dengan cara seperti itulah mestinya kita bela ulama. Bukan malah mendorongnya terjerumus dalam kesalahan. Mudah-mudahan ada hikmah di balik kejidian ini untuk kita semua.