Netijen mungkin merasa aneh, terkejut dan terheran-heran, mengapa legitimasi kemenangan begitu penting dideklarasikan meskipun tampak prematur? Jawabannya ada di dalam ibarat ini:
والعقل السياسي يقوم، كما هو معروف منذ ارسطو، على الاعتقاد وليس على البرهان، وهو ليس عقل فرد بل عقل جماعة، انه المنطق الذي يحركها كجماعة. ومعروف ان منطق الجماعة يتاسس لا على مقاييس معرفية بل على رموز مخيالية تؤسس الاعتقاد والايمان…
“Politik itu dibangun di atas galian pondasi yang tidak menggunakan batu data dan ilmu pengetahuan, tapi batu-batu akidah dan ayat-ayat keimanan yang memang ditujukan untuk melahirkan “dogmatisme politik”, fanatisme dan militansi kegilaan terhadap person atau partai.”
Keyakinan akan “kebenaran” politis tidak dikonstruk layaknya keyakinan kita pada ukuran-ukuran koginitif-ilmiah kalau 1 + 1 = 2 atau jumlah total besaran sudut dalam segitiga itu 180 derajat. Tidak! Keyakinan politik dikonstruk mirip seperti keyakinan dalam beragama. Manusia tidak diperkenankan bertanya terlalu rinci dalam politik. Mereka hanya didorong untuk “ikut saja lah” kehendak partai dan pimpinannya.
Maka maklum biasanya yang dijual adalah imajinasi, bayang-bayang situasional dan angan-angan terhadap tatanan nilai yang selama ini selalu diimpikan.
Manusia mayoritas mengisi shalatnya dengan kesadaran bahwa hal itu adalah perintah Tuhan. Ia melakukan amal shalih dan menjauhi maksiat karena tahu itu termaktub dalam kitab suci dan difirmankan langsung oleh Tuhan. Ada juga manusia yang hanya mengisi shalatnya dengan ketakutan pada neraka dan keberharapan masuk surga. Level iman menentukan kualitas ibadah. Semakin kuat imannya, semakin hilang tata ukur rasionalitas dalam setiap amal yang dikerjakannya, semakin hilang pertimbangan-pertimbangan logika karena tujuan utamanya semakin jelas: Tuhan… Dzat Yang tak bisa direngkuh logika.
Dalam politik, semakin kuat level imannya, biasanya semakin gila dan banyak bohongnya. Jangan salah, di dalam partai-partai yang ada, mayoritasnya adalah orang-orang yang terdidik dan punya ijazah. Ada profesor, doktor/PhD, Magister dan seterusnya. Tapi lihat ketika tampil di TV; kebohongan, kegilaan dan kebodohan justru yang tampak. Mengapa? Lah wong lagi bela “agama” dan “tuhannya” kok. Jadi gak penting itu rasionalitas dan argumentasi berbasis data dan logika. Yang penting fanatik, militan dan dogmatis.
Nah legitimasi kemenangan pasca pemilu — sampe sujud dan takbiran segala — adalah hal yang biasa kalau kita ikuti bagaimana alur dogmatisme politik terbentuk. Jadi gak usah lah mereka itu dicaci bodoh, goblok dan dungu karena gak mau menerima kriteria kebenaran dalam metodologi survey sampai mereka harus membuat versinya sendiri, karena memang politik tidak menghendaki orang pintar menggunakan kepintaran dan potensi otaknya. Itu epistemenya.
Apa yang mereka lakukan adalah upaya menjaga dan merawat “imajinasi kolektif” yang dibekap pendukungnya. Itu memang tugas nabi dalam sebuah agama… Tugas tuhan! Artinya itulah memang tugas petugas partai apalagi ketum sekaligus capresnya. Sekerat imajinasi yang dibangun berdasarkan “ketidaksadaran kolektif” yang membentuk akidah politik dan keimanan elektoral.
Sudah? Sudah? Kalau sudah, yuk susun lagi jadwal ngopi dan keluarkan lagi kitab buat ngaji.